“Mas Tio… kamu tahu Aku dan Awan tak pernah baik-baik saja setelah kau tinggal… Awan sering menanyakanmu, Aku tak tahu harus bilang apa.”
Lalu kurasakan wajahku semakin basah oleh air hangat itu, perlahan suara Ibu berubah menjadi isakan tangis yang memilukan. Aku belum pernah melihat Ibu menangis seperti ini. Ibu megusap wajahku dengan lembut, Aku tetap memejamkan mata. Aku merasa terbang di langit, melayang di bawah hujan. Lamat Aku mendengar Ibu berkata “Mas Tio, Aku belum siap mengatakan pada Awan….”
Lalu Aku kembali terbang, kali ini tak disertai hujan, langit cerah, Aku melihat Ayah terbang bersama burung-burung jauh di depanku. Aku melihat Ayah tersenyum sambil melambaikan tangan.
Pagi harinya, ketika mau makan Aku melihat sebuah surat di atas meja makan. Lalu Aku tanyakan pada Ibu apakah ini surat dari Ayah. Ibuku tersenyum sambil mengangguk.
“Makanlah dulu lalu setelah itu Ibu akan bacakan surat dari Ayah.”
Aku senang sekali mendengarnya, Aku makan dengan lahap dan cepat. Setelah itu Aku mencuci tangan dan mengambil surat dari Ayah sambil menunggu Ibu selesai makan.
Selesai makan, Ibu membacakan surat dari Ayah. Dalam surat itu dikatakan bahwa Ayah juga kangen Awan. Aku senang sekali mendengarnya. Lalu Ibu melanjutkan, katanya Awan tak perlu mengirim surat lagi untuk Ayah karena Ayah bisa melihat Awan dari langit. Ayah selalu melihat Awan sambil bertugas katanya. Aku sedih karena tak boleh lagi mengirim surat, tapi tidak mengapa karena Ayah selalu melihatku dari langit.
“Awan tidak boleh sedih, hari ini kita akan jalan-jalan ke bandara. Disana kita bisa melihat langit yang luas. Di sana nanti Ayah akan lebih mudah melihat Awan.” Aku senang sekali mendengar Ibu berkata begitu.
Sesampainya di bandara, Aku berlarian ke tepi landasan. Aku terus berlari sambil menegadah. Barangkali Aku bisa melihat Ayah di langit, kalaupun tidak pasti Ayah bisa melihat wajahku lebih jelas karena Aku menengadah.
Setelah lelah berlarian Aku menghampiri Ibu.
“Kenapa Ibu tidak menengadah? Pasti Ayah senang bisa melihat kita.”