Mohon tunggu...
Mahardhika Setyawan
Mahardhika Setyawan Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika SMAIT Al Huda Wonogiri

Mari belajar bersama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kartini, Sang Pendobrak Tradisi

22 April 2013   20:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:46 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

bu kita Kartini, putri sejati

putri Indonesia, harum namanya

ibu kita Kartini, pendekar bangsa

pendekar kaumnya, untuk merdeka

wahai ibu kita Kartini, putri yang mulia

sungguh besar cita-citanya, bagi Indonesia.

Lagu di atas, saya yakin, sudah sering kita dengar dan hafalkan semenjak kita masih duduk di Sekolah Dasar. Apalagi setiap memasuki bulan April, kita akan melihat peringatan hari Kartini setiap tanggal 21 April. Akan diadakan lomba-lomba yang pesertanya ibu-ibu, biasanya berupa lomba memakai kebaya atau lomba memasak. Lalu apakah perlombaan dan peringatan itu sesuai dengan apa yang diperjuangkan oleh Kartini?

RA Kartini adalah seorang wanita yang cerdas yang haus akan ilmu. Kegelisahan yang dia rasakan akibat penindasan terhadap kaumnya, membuat dia merasa harus memperjaungkan derajat kaumnya agar mempunyai hak yang sama dengan kaum laki-laki.

Habis gelap terbitlah terang

Suatu ketika Kartini pernah berkirim surat dengan sahabatnya dari Belanda Ny. Stella. Berikut salah satu penggalan surat yang beliau kirimpada tanggal 6 November 1899;

“Mengenai agamaku Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agama ku Islam karena, nenek moyangku Islam…. tidak jadi orang soleh pun tak apa-apa, asalakan jadi orang baik hati, bukankah begitu Stella”

Kepada EE Abendanon beliau juga berkirim surat pada tanggal 15 Agustus 1902;

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi belajar Al-Quran… Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.”

Dari penggalan surat di ata kita akan melihat bahwa RA Kartini mengalami kekecewaan karena  dia harus mengerjakan amalan-amalan yang beliau tidak tahu maknanya. Beliau mengalami kehausan pengetahun, bahkan sampai berkesimpulan bahwa cukup jadi orang baik, tidak soleh pun tak apa. Hal yang akan kita jumpai pada doktrin Islam Liberal masa sekarang ini.

Untuk ukuran zamannya waktu itu, bahkan untuk zaman sekarang ini, pendapat Kartini terhitung sangat kritis dan berani. Bagaimana beliau mengungkapkan kegelisahannya itu memang terhitung berani. Suatu sikap yang seharusnya dicontoh.

Takdir sejarah membawa Kartini bertemu dengan seorang ulama bernama Kyai Haji Muhammad Sholeh din Umar atau dikenal sebagai Kyai Sholeh Darat. Beliau mengikuti pengajian dari sang Kyai yang waktu itu membahas tentang Surat Al Fatihah. Tentu saja beliau sangat tertarik, karena akhirnya beliau mendapat penjelasan tentang makna surat Al Fatihah  yang selama ini beliau hanya mempelajari Arabnya tanpa tahu maknanya.

Setelah selesai pengajian beliau meminta pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat bupati Demak, untuk mengantarkan beliau untuk menemui KH Sholeh Darat. Dalam percakapan yang ditulis oleh Ny. Fadhila Sholeh, cucu KH Sholeh Darat, beliau meminta sang Kyai untuk menuliskan terjemahan Al Quran dalam bahasa Jawa. Beliau juga mengungkapkan bahwa bukankan Al Quran itu kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia.

Ketertarikan RA Kartini untuk belajar Al Quran lebih mendalam ini juga karena beliau takjub dan terkesima dengan arti dan makna surat Al Fatihah yang disampaikan Kyai Sholeh Darat.

Pada pernikahan RA Kartini, KH Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya Al Quran terjemahan dalam bahasa Jawa berjudul Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari Al Fatihah sampai Ibrahim. Sayangnya setelah itu KH Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga belumsempat diselesaikanlah penerjemahan itu.

Setelah membaca bagian demi bagian, beliau menemukan dalam Al Baqarah ayat 257, bahwa Allah-lah yang membimbing orang-orang beriman dari gelap menuju cahaya. Kartini rupanya terkesah dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena Kartini sendiri merasakan proses perubahan dirinya, dari kegalauan dan kekacauan pemikiran kepada hidayah.

Kata-kata “dari gelap menuju cahaya” begitu sering beliau kutip dalam surat yang ditulisnya. Sayangnya kata-kata ini mengalami perubahan menjadi “habis gelap terbitlah terang” saat diterjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia.

Pejuang Islam1)

Dalam surat-surat yang beliau tulis selanjutnya, ternyata RA Kartini tidak hanya menentang adat, tetapi juga menentang politik kristenisasi dan westernisasi. Dari surat-surat RA Kartini terbaca tentang nilai Islam di mata rakyat terjajah saat itu.

Sikap RA Kartini yang istiqomah tersebut setelah memperoleh dan membaca Tafsir Al Quran. Nampaknya kitab tafsir yang KH Sholeh Darat berikan benar-benar menginspirasi dirinya. Al Quran telah menjadi titik balik pemikiran dan kehidupannya.

Rasa kekagumannya terhadap Al Quran dia tuturkan kepada Ny. Abendanon melalui surat yang belaiu tulis tanggal 15 Aguntus 1902 ;

“Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami”

RA Kartini menilai bahwa Al Quran adalah gunung kekayaan yang ada disampingnya. Akibat pendidikan barat, Al Quran terlupakan. Namun setelah tafsir Al Quran dibacanya, beliau melihat Al Quran sebagai gunung keagungan hakekat kehidupan.

RA Kartini benar-benar memperjuangkan anak bangsa agar memperoleh kesempatan mendapat pendidikan sekalipun bukandari suku Jawa. Lagi pula RA Kartini bukan dari kalangan Kedjawen. Kebangkitan juangnya sangat dipengaruhi oleh ajaran Al Quran.

Perjuangan Panjang

Dari perjalanan hidup RA Kartini, kita akan melihat fakta yang sangat menarik. Beliau merasakan kegelisahan dan kekeringan ilmu Islam saat masih berusia 20 tahun. Lalu keberaniannya dalam mengungkapkan kebenaran membawa suatu tradisi baru yang pada zaman itu masih dianggap tabu dan melanggar norma sosial yang berlaku.

Dan setelah masa pencarian yang melelahkan, akhirnya Kartini tercerahkan oleh cahaya Islam. Kalau saja tidak ada keberanian mengungkapkan kegelisahan hatinya kepada KH Sholeh Darat mungkin Kartini tidak akan menemukan cahaya Islam sampai akhir hayatnya. Dan Kartini tidak akan menyuarakan kesetaraan pendidikan bagi semua kalangan.

Kemauan untuk mendobrak tradisi harusnya juga dimiliki oleh semua putra putri bangsa yang merasa dirinya adalah penerus perjuangan Kartini. Apalagi mereka yang menisbatkan dirinya kepada Al Quran.

Proses perjuangan Kartini adalah proses perjaungan panjang. Walaupun dia belum sampai pada tujuannya, tetapi kemauan untuk mendobrak tradisi yang terinspirasi kebenaran dalam Al Quran, membuat kita pantas menghargai dirinya sebagai putri Indonesia yang namanya harum sepanjang kehidupan bangsa Indonesia.

1)diringkas dari buku Api Sejarah halaman 279-282

sumber tulisan

Suryanegara, Ahmad Mansur.2009. Api Sejarah.Bandung : Salamadani

http://mtamim.wordpress.com/2007/09/17/kartini-dan-islam/

http://hasdiputra.blogspot.com/2007/04/kartini-ingin-menjadi-muslimah-sejati.html

sumber gambar

http://tulisan-wacana.blogspot.com/2010/04/kartini-wanita-terpilih-bakal-tayang.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun