Pada tahun ini, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) genap berusia 10 tahun. Usia yang tergolong muda bagi sebuah lembaga negara. Melewati dua periode kepengurusan, LPSK masih berjuang untuk mengoptimalkan perannya dalam penegakan hukum di Indonesia.
Sampai saat tulisan ini ditulis, 21 nama calon pimpinan baru LPSK untuk periode 2018-2023 masih berada di tangan Presiden Joko Widodo. Di antaranya ada beberapa nama lama yang menjabat sebagai pimpinan periode 2013-2018, tetapi juga banyak tokoh baru dari pelbagai latar belakang.
Daftar nama tersebut menanti untuk diseleksi lagi sesuai pertimbangan beliau guna menghasilkan 14 nama yang akan diproses oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hasil akhirnya adalah 7 nama yang akan memimpin LPSK selama lima tahun mendatang atau periode kepengurusan LPSK yang ketiga.
Mengamati kesibukan menjelang tahun politik, harapan banyak pihak agar pimpinan baru LPSK dapat dipilih pada akhir Oktober 2018 jelas batal terlaksana. Namun demikian, kita harus tetap berpikiran positif agar lamanya proses pemilihan ini benar-benar berkorelasi positif dengan tokoh-tokoh terbaik yang menjadi pimpinan LPSK untuk periode berikutnya.
Dengan kata lain, berlarutnya penyederhanaan daftar tersebut murni karena Presiden mempertimbangkan berbagai masukan dari banyak pihak mengenai rekam jejak calon pimpinan LPSK, bukan semata karena hal ini tidak menjadi prioritas beliau atau bahkan berandai-andai kuatnya lobi dan kompromi politik di belakang layar.
Harus diakui, kiprah LPSK selama ini masih belum populer dan belum optimal. Kendati komitmen LPSKmelayani perlindungan saksi dan korban senantiasa digaungkan, masyarakat secara umum kurang tahu peran dan posisi LPSK dalam penegakan hukum di Indonesia. Di sisi lain, beberapa pihak yang meminta bantuan agar LPSKmelayani mereka yang membutuhkan perlindungan keamanan merasa dukungan yang diberikan kurang optimal.
Menurut opini Penulis, ada beberapa faktor yang memengaruhi hal tersebut. Pertama, keterbatasan informasi atau sosialisasi yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia tentang kehadiran dan peranan LPSK. Kedua, keengganan korban dan saksi untuk meminta bantuan LPSK, baik karena tidak tahu prosedurnya maupun lantaran memang tidak mampu memiliki akses untuk menjangkau LPSK.
Ketiga, kerentanan saksi dan korban (bahkan saat dalam perlindungan LPSK sekalipun) sehingga tetap menerima ancaman dan tekanan terkait kasus hukum yang dihadapi. Dalam hal ini, kasus-kasus hukum yang beririsan dengan dunia politik, melibatkan pelaku dari kalangan pejabat atau terkait kebijakan pemerintah, maupun pelaku yang sangat dekat dengan saksi dan korban sama-sama berisiko.
Untuk para calon pimpinan baru LPSK, berikut 4 harapan yang disampaikan agar kehadiran LPSK semakin berarti dan peranannya semakin berharga dalam perlindungan saksi dan korban.
(1)LUWES. Sebagai pimpinan lembaga yang tergolong masih muda di bidang hukum/peradilan, diharapkan agar pimpinan baru LPSK bersikap luwes dalam membangun jejaring dengan para pihak lain, seperti LSM, media massa, aparat hukum, akademisi, tokoh masyarakat, rohaniawan, dan sebagainya. Dengan keluwesan tersebut seyogianya LPSK mampu mengikis pandangan awam yang kesulitan mengakses layanan LPSK lantaran prosedur yang berbelit-belit.
Pihak-pihak tersebut, khususnya yang terdekat dengan saksi dan korban, bisa melakukan pendampingan dalam mengajukan permohonan bantuan perlindungan kepada LPSK. Keluwesan dan keluasan jejaring tersebut akan sangat bermanfaat bagi para saksi dan korban yang masih di bawah umur, berasal dari kaum marginal, maupun memiliki keterbatasan fisik/mental.
(2)PROAKTIF. Sebagai pimpinan lembaga pemegang amanah untuk melindungi para saksi dan korban, diharapkan agar pimpinan baru LPSK lebih proaktif dalam meyakinkan, memastikan, dan menjamin keamanan para korban/saksi yang mengajukan bantuan dan perlindungan. Termasuk juga proaktif mengimbau rekan-rekan media untuk merahasiakan identitas saksi dan korban. Semakin awal pendampingan LPSK terhadap para saksi/korban, semakin kecil pula potensi tekanan atau ancaman terhadap mereka dari pihak-pihak lain yang terkait kasus tersebut.
(3)SERIUS. Sebagai pimpinan lembaga profesional, diharapkan agar pimpinan baru LPSK serius dalam menjalankan tugasnya. Dalam artian, kehadiran LPSK tidak hanya di awal kasus saja, melainkan terus melakukan pendampingan dan perlindungan bagi para saksi/korban hingga kasusnya selesai. Apalagi, pihak-pihak yang merasa terganggu dengan kiprah LPSK memiliki banyak amunisi untuk melakukan serangan balik terhadap para saksi dan korban, misalnya praperadilan, gugatan balik, hingga kriminalisasi.
(4)KREDIBEL. Sebagai pimpinan lembaga yang berkapasitas dalam proses peradilan, diharapkan agar pimpinan baru LPSK menunjukkan kredibilitas dalam kinerjanya. Jangan sampai komentar dan perilaku mereka hanya merupakan pencitraan semata. Kecenderungan saling lapor dalam masyarakat yang masih terpolarisasi juga harus disikapi dengan komprehensif dan tidak gegabah, tidak responsif apalagi berat sebelah. Lebih lanjut, pimpinan LPSK akan diuji sewaktu menangani korban kebijakan pemerintah yang dirasakan merugikan sebgaian kalangan masyarakat, sejauh mana LPSK mampu bersikap independen, berdiri membentengi mereka dari tekanan dan intimidasi dari pihak penguasa.
Semoga pimpinan baru LPSK tetap memegang komitmen LPSKmelayani dan meningkatkan kiprahnya dalam perlindungan hukum di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H