a person who threatens to hurt someone, often forcing that person to do something:
Teachers usually know who the bullies are in a class.
Sejauh ini, saya masih belum menemukan leksikon yang mewakili konsep bully dalam bahasa Indonesia. Dalam konsep bully, terkandung makna pembodohan dan kekerasan secara sekaligus.
[caption caption="PAB Hima Bahasa Inggris UPI 2001, upaya mengakrabkan Senior-Junior"]
Saya paham bahwa persoalan bully dalam masa orientasi siswa dan mahasiswa merupakan perhatian kita semua. Akan tetapi, fakta bahwa akar etimologis kedua kata tersebut berbeda seharusnya menjadikan kita semua lebih teliti dalam berbahasa. Konsep pelonco, sebagaimana tampak dari makna leksikalnya merupakan konsep yang positif, selain fakta bahwa ada makna ‘menggunduli kepala’ di situ. Oleh karena itu, saya menolak menganggap ‘pelonco’ sama dengan bully.
Di sisi lain, kenyataan bahwa konsep bully tidak terwakili oleh leksikon manapun dalam bahasa Indonesia adalah fakta bahwa sebenarnya bully bukanlah kultur Indonesia, tanpa menafikkan bahwa memang selalu ada pembodohan dan kekerasan dalam masa orientasi prasekolah dan prakuliah.
Dewasa ini, kesadaran akan bully tampaknya mulai menjadi tren seiring masa-masa awal tahun ajaran baru. Tren positif saat ini adalah memupus bully dari ruang pendidikan. Sayangnya, tren memupus bully kadang dilakukan dengan cara-cara yang represif (hakikatnya bully juga). Sebagai contoh, saya mendengar ada sebuah kampus yang melarang para senior untuk sama sekali ‘tidak menyentuh’ mahasiswa baru dalam masa orientasi. Saya tidak tahu bagaimana dampak pelarangan ini secara psikologis (saya bukan ahlinya), hanya sekurangnya tindakan menjauhkan senior dari juniornya itu tidak dapat saya terima sebagai tindakan pencegah yang efektif. Masalah yang mungkin dapat menghambat penyelesaian bullying mungkin selalu terpaku kepada masalahnya itu sendiri, tanpa menyadari penyebab yang menjadi akar masalah. Padahal, mengetahui dan menyelesaikan akar suatu masalah, merupakan salah satu teknik problem solving yang jitu. Penyelesaian suatu kasus tanpa menyelesaikan akar masalahnya akan sia-sia belaka. Kalaupun berhasil, sifatnya hanya sementara. Setelah itu, tidak lama kemudian akan muncul lagi.
[caption caption="Suasana Masa Prakuliah di Kampus UPI pada awal tahun ajaran 2012: Senior & Junior berjalan bersama."]
Kalau menurut saya, menyelesaikan masalah bullying sesungguhnya bisa dimulai dengan cara membangun komunikasi yang terbuka di antara semua stakeholder (guru/dosen, orang tua/wali, dan siswa/mahasiswa). Selama ini, komunikasi di antara semua stakeholder seringkali tidak berjalan dengan baik dan efektif. Orang tua, misalnya, jarang memberi perhatian terhadap anaknya, baik di rumah atau di sekolah. Mereka, mungkin terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan, sehingga tidak sempat (atau tidak mau menyempatkan diri) berkomunikasi dengan anak dan pihak sekolah. Sementara itu, di sekolah/kampus, guru/dosen cenderung hanya ingin didengarkan oleh mahasiswa, tanpa mau mendengarkan harapan dan keinginan siswa/mahasiswa, baik senior maupun junior. Komunikasi yang dibangun, semuanya hanya satu arah. Tidak banyak guru/dosen yang memposisikan dirinya sebagai fasilitator atau mitra berbagi tugas dengan siswa/mahasiswa. Sedangkan siswa/mahasiswa lebih suka mengambil jalan sendiri, dan tidak tahu kepada siapa dia harus berkomunikasi.
Intinya, mari kita lihat persoalan ini secara objektif. Masa orientasi, bukan sesuatu yang harus dilarang-larang atau ditakuti. Itu hanya masa yang berumur sepekan, atau bahkan kurang. Mahasiswa/siswa punya 51 pekan lainnya dalam setahun untuk memformulasikan pembangunan diri dan melanjutkan input positif yang diperolehnya dalam masa orientasi. Lagi pula, kalau kita kembalikan kepada landasan etimologis, ontologis, dan epistemologis dari nama dan konsep orientasi prakuliah/prasekolah (misalnya: Ospek), kita akan melihat ada kebaikan di situ. Tugas semua stakeholder (guru/dosen, orang tua/wali, dan siswa/mahasiswa senior) di situ sebenarnya hanya ada dua: (1) memastikan acaranya berjalan lancar dan sejalan dengan tujuannya (mendidik) secara menarik dan berbobot; dan (2) menghindarkan adanya bully dalam kegiatan tersebut.