Mohon tunggu...
Mahardhika Zifana
Mahardhika Zifana Mohon Tunggu... Penulis - Just an ordinary man

I'm a Sundanese who love my people, culture, language, and religion.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bully(ing) vsPelonco

30 Juli 2015   13:37 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:34 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika kita buka KBBI, lalu kita ketikkan kata pelonco, kita akan menemukan dua lema. Lema pertama, diserap dari bahasa Jawa, artinya begini:

pe·lon·co [1] Jw 1 v pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan baru dng mengendapkan (mengikis) tata pikiran yg dimiliki sebelumnya; 2 a gundul tidak berambut (tt kepala);

me·me·lon·co v 1 menjadikan seseorang tabah dan terlatih serta mengenal dan menghayati situasi di lingkungan baru dng penggemblengan: para mahasiswa senior sedang ~ mahasiswa baru; 2 menggunduli (tt rambut di kepala);

 

Lema yang kedua artinya begini:

pe·lon·co [2] 1 n semangka muda; 2 a ki masih terlalu muda (bodoh, kurang pengalaman, dsb);

Coba bandingkan dengan kata Bully dalam kamus-kamus Inggris. Ambillah Cambridge American English, misalnya, beginilah definisi Bully:

 

to threaten to hurt someone, often frightening that person into doing something:

He managed to bully her into giving him her car.

 

a person who threatens to hurt someone, often forcing that person to do something:

Teachers usually know who the bullies are in a class.

Sejauh ini, saya masih belum menemukan leksikon yang mewakili konsep bully dalam bahasa Indonesia. Dalam konsep bully, terkandung makna pembodohan dan kekerasan secara sekaligus.

[caption caption="PAB Hima Bahasa Inggris UPI 2001, upaya mengakrabkan Senior-Junior"]

[/caption]

Saya paham bahwa persoalan bully dalam masa orientasi siswa dan mahasiswa merupakan perhatian kita semua. Akan tetapi, fakta bahwa akar etimologis kedua kata tersebut berbeda seharusnya menjadikan kita semua lebih teliti dalam berbahasa. Konsep pelonco, sebagaimana tampak dari makna leksikalnya merupakan konsep yang positif, selain fakta bahwa ada makna ‘menggunduli kepala’ di situ. Oleh karena itu, saya menolak menganggap ‘pelonco’ sama dengan bully.

Di sisi lain, kenyataan bahwa konsep bully tidak terwakili oleh leksikon manapun dalam bahasa Indonesia adalah fakta bahwa sebenarnya bully bukanlah kultur Indonesia, tanpa menafikkan bahwa memang selalu ada pembodohan dan kekerasan dalam masa orientasi prasekolah dan prakuliah.

Dewasa ini, kesadaran akan bully tampaknya mulai menjadi tren seiring masa-masa awal tahun ajaran baru. Tren positif saat ini adalah memupus bully dari ruang pendidikan. Sayangnya, tren memupus bully kadang dilakukan dengan cara-cara yang represif (hakikatnya bully juga). Sebagai contoh, saya mendengar ada sebuah kampus yang melarang para senior untuk sama sekali ‘tidak menyentuh’ mahasiswa baru dalam masa orientasi. Saya tidak tahu bagaimana dampak pelarangan ini secara psikologis (saya bukan ahlinya), hanya sekurangnya tindakan menjauhkan senior dari juniornya itu tidak dapat saya terima sebagai tindakan pencegah yang efektif. Masalah yang mungkin dapat menghambat penyelesaian bullying mungkin selalu terpaku kepada masalahnya itu sendiri, tanpa menyadari penyebab yang menjadi akar masalah. Padahal, mengetahui dan menyelesaikan akar suatu masalah, merupakan salah satu teknik problem solving yang jitu. Penyelesaian suatu kasus tanpa menyelesaikan akar masalahnya akan sia-sia belaka. Kalaupun berhasil, sifatnya hanya sementara. Setelah itu, tidak lama kemudian akan muncul lagi.

[caption caption="Suasana Masa Prakuliah di Kampus UPI pada awal tahun ajaran 2012: Senior & Junior berjalan bersama."]

[/caption]

Kalau menurut saya, menyelesaikan masalah bullying sesungguhnya bisa dimulai dengan cara membangun komunikasi yang terbuka di antara semua stakeholder (guru/dosen, orang tua/wali, dan siswa/mahasiswa). Selama ini, komunikasi di antara semua stakeholder seringkali tidak berjalan dengan baik dan efektif. Orang tua, misalnya, jarang memberi perhatian terhadap anaknya, baik di rumah atau di sekolah. Mereka, mungkin terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan, sehingga tidak sempat (atau tidak mau menyempatkan diri) berkomunikasi dengan anak dan pihak sekolah. Sementara itu, di sekolah/kampus, guru/dosen cenderung hanya ingin didengarkan oleh mahasiswa, tanpa mau mendengarkan harapan dan keinginan siswa/mahasiswa, baik senior maupun junior. Komunikasi yang dibangun, semuanya hanya satu arah. Tidak banyak guru/dosen yang memposisikan dirinya sebagai fasilitator atau mitra berbagi tugas dengan siswa/mahasiswa. Sedangkan siswa/mahasiswa lebih suka mengambil jalan sendiri, dan tidak tahu kepada siapa dia harus berkomunikasi.

Intinya, mari kita lihat persoalan ini secara objektif. Masa orientasi, bukan sesuatu yang harus dilarang-larang atau ditakuti. Itu hanya masa yang berumur sepekan, atau bahkan kurang. Mahasiswa/siswa punya 51 pekan lainnya dalam setahun untuk memformulasikan pembangunan diri dan melanjutkan input positif yang diperolehnya dalam masa orientasi. Lagi pula, kalau kita kembalikan kepada landasan etimologis, ontologis, dan epistemologis dari nama dan konsep orientasi prakuliah/prasekolah (misalnya: Ospek), kita akan melihat ada kebaikan di situ. Tugas semua stakeholder (guru/dosen, orang tua/wali, dan siswa/mahasiswa senior) di situ sebenarnya hanya ada dua: (1) memastikan acaranya berjalan lancar dan sejalan dengan tujuannya (mendidik) secara menarik dan berbobot; dan (2) menghindarkan adanya bully dalam kegiatan tersebut.

Itu saja.

Allaahua’lam.

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun