Sepekan yang lalu sebuah tulisan muncul di linimasa media sosialku. "Kasus Sum Kuning dan Bukti Integritas Jenderal Hoegeng." Judul yang berderet itu berhasil menarik penuh perhatianku. Tangan ini tak berhenti menggulir laman hingga titik terakhir.
Di tengah kasus pemerkosaan yang menggegerkan masyarakat Yogyakarta, Jenderal Hoegeng berdiri dengan gagahnya. Sebagai Kapolri, ia menaruh perhatian besar pada kasus tersebut dan segera membentuk tim khusus yang diberi nama Tim Pemeriksa Sum Kuning. Tanpa ragu, kasus tersebut ia usut secara mendalam meski diduga melibatkan anak wong gedhe (baca: pejabat).Â
Bahkan, dengan mantap ia berujar, "Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapapun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak." Keprihatinan dan integritasnya hampir mampu menembus batasan yang tercipta akibat kekuasaan. Langkah yang tak tebang pilih menjadikannya anomali pejabat pada masa itu.
Tulisan menarik ini tak segera kututup. Kutelaah lagi sesaat, lalu teringat kelakar Gus Dur tentang polisi yang jujur, "Cuma ada tiga polisi jujur di negara ini: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng." Kelakar yang agaknya masih relevan meski tidak sepenuhnya benar. Menarik maju dari kasus Sum Kuning, publik kembali dikejutkan dengan kasus korupsi simulator SIM pada tahun 2011. Skandal yang merugikan negara sebanyak Rp 121 miliar ini melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas), Irjen Djoko Susilo.Â
Selain kasus korupsi, sejumlah oknum polisi dari satuan kerja yang sama juga tersandung kasus pungutan liar (pungli). Teranyar, seorang perwira pertama dan dua orang personel Satlantas Polresta Bandar Lampung menjadi pelaku pungutan liar dalam pembuatan SIM. Pada kasus ini, masyarakat harus merasa kecewa dan bangga secara bersamaan.Â
Sebab, pengungkapannya melibatkan partisipasi mereka melalui aduan pada aplikasi Dumas Presisi yang kemudian ditindaklanjuti oleh Divisi Propam Mabes Polri, Itwasda dan Bidang Propam Polresta Bandar Lampung melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT). Kasus ini membuktikan bahwa Polri mulai bangkit melawan oknum yang menggerogoti institusi tidak ubahnya sebuah penyakit.
Menanti Hoegeng Bereinkarnasi
Jika sebuah survei publik diadakan untuk memeringkat sosok role model bagi personel kepolisian, saya yakin sebagian besar masyarakat akan mengajukan nama Jenderal Hoegeng Iman Santoso untuk menempati posisi pertama. Bagaimana tidak, kiprah dan kejujurannya telah melekat kuat di benak masyarakat. Keengganannya untuk "dibuang" dengan dalih diangkat sebagai duta besar dan malah memilih mundur dari institusi kepolisian, cukup membuktikan bahwa ia adalah sosok pemimpin institusi Polri yang berintegritas.
Tak hanya dicontohkan oleh Kapolri ke-5 itu, pentingnya kejujuran juga ditekankan dalam Tribrata khususnya pada klausa "menjunjung tinggi kebenaran, keadilan,... ." Prinsip Tribrata tersebut dan dua prinsip lainnya merupakan pedoman moral sekaligus penuntun nurani bagi setiap anggota Polri. Sehingga, sikap dan prinsip yang Jenderal Hoegeng anut semasa hidup sudah sepatutnya dijadikan sebagai teladan.
Kejujuran dan integritas dalam tubuh Polri menjadi salah satu harapan bagi sebagian besar masyarakat. Kedua hal tersebut dapat menjadi dasar dan pemicu efek domino positif pada kinerja kepolisian. Jika setiap personel kepolisian mampu memegang teguh kejujuran, bukan tidak mungkin potensi "ladang basah" akan mengering bahkan hilang. Kasus pungli pada pelayanan publik misalnya. Tindakan penyimpangan ini tak jarang diabaikan karena nilainya yang dianggap "kecil." Padahal, tindakan pungli sangat merugikan masyarakat sekaligus mencederai semangat Tribrata Polri.Â
Selain kasus pungli, kasus suap di kepolisian juga cukup lazim didengar oleh masyarakat. Seperti pemberian "uang damai" maupun "pelicin" agar urusan penyuap cepat terselesaikan. Kegiatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga turut ambil bagian. Namun, ketiga jenis pelanggaran tersebut—dan potensi pelanggaran lain—dapat diminimalisir bahkan dihilangkan jika setiap personel kepolisian bersikap jujur dan tidak mau berkompromi dengan masyarakat yang menggemari "jalur belakang." Lantas, apakah personel polisi yang mereplikasi sikap jujur Jenderal Hoegeng sudah pantas menyandang titel "polisi idaman"?
Menurut saya belum, kejujuran dan integritas hanya salah satu sikap dari personel polisi yang baik. Gelar "polisi idaman" merupakan capaian tersulit layaknya sebuah misi tingkat S—dalam anime Naruto: Shippuden. Setidaknya terdapat beberapa kriteria yang masih harus dipenuhi untuk mendapatkannya. Kriteria tersebut diringkas dalam HARAP. HARAP merupakan akronim dari Humanis, Antirepresi, Responsif, Amanah, dan Profesional. Kolaborasi antara kejujuran, integritas, dan HARAP akan mewujudkan harapan masyarakat yang menantikan kehadiran "polisi idaman" dan institusi Polri yang terpercaya.
Jadi, sosok "polisi idaman" merupakan personel kepolisian yang jujur, berintegritas, humanis, antirepresi, responsif, amanah, dan profesional. Saya berharap sosok Hoegeng akan bereinkarnasi, lahir kembali, pada setiap nurani personel Polri dari struktur komando terendah hingga tertinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H