Mahar membeku. Darahnya tiba-tiba bagai mengental, berhenti mengaliri setiap inci tubuhnya. Bibirnya yang berpulas lipstik merah muda perlahan berubah warna menjadi pucat. Nampan berisi tumpukan roti yang baru saja ia keluarkan dari oven terlepas dari tangannya, berserakan dilantai.
"Kak Mahar... kak Mahar..!!!" Aya mengguncang bahu Mahar, mencoba menyadarkan Mahar dari kekakuan yang menyelimuti kakaknya itu. Mahar tersadar, menatap Aya yang masih mencengkeram bahunya dengan kuat.
"Sekarang Firman dimana Aya?!" pertanyaan pertama setelah Mahar mulai mampu menguasai diri. Ada genangan airmata yang tertahan dimata itu. Mahar berusaha sekuat tenaga menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Aya paham betul, kekhawatiran yang jelas terlihat mengartikan perasaan Mahar yang paling jujur.
"Dirumah Sakit Jantung Propinsi kak. Pak Yayok dan mas Hans yang membawanya dengan Ambulan."
"Kamu dapat berita ini dari siapa?" Mahar masih berharap Aya menyebut nama Bocing. Sebab jika Bocing yang menyampaikan berita, bisa dipastikan berita ini hanya gosip.
"Mommy kak... mas Firman pingsan dihalaman rumah Mommy pagi tadi, tapi Bocing juga ikut membantu mengangkat mas Firman ke ambulan." Luluhlah pertahanan Mahar demi mendengar nama Mommy di sebut Aya. Tak ada kebohongan, tak ada yang perlu diragukan lagi. Berita ini sudah pasti benar adanya. Hatinya tiba-tiba bergores perih. Firman, apa yang terjadi dengan mu? Setelah Aya pergi Mahar tak mampu menahan lebih lama, akhirnya airmata itu jatuh juga. Isak tertahan terdengar lirih di bibirnya. Kalut, bingung entah harus bagaimana. Akhirnya Mahar memutuskan untuk menutup tokonya, bergegas berangkat ke propinsi menjenguk Firman. Biarlah orang berkata apa, saat ini tak perlu memikirkannya. Mungkin saja disana Asih sudah merawat Firman, tapi Mahar merasa harus tetap memastikan hal itu. Saat memikirkan ini hatinya kembali perih. Sudahlah, jangan pikirkan dirimu saja. Bagaimana jika Asih tak ada di sana? Firman hidup sendiri di desa ini. Sedangkan mereka sudah cukup dekat satu sama lain. tak ada salahnya aku menjenguk, demi kepentingan Firman. Mahar mantap, menutup pintu toko dan berangkat dengan bis menuju rumah sakit propinsi.
*****
Sepanjang perjalanan di bis menuju propinsi ingatan Mahar kembali pada saat Firman kemarin datang membeli roti ke toko. Cukup banyak roti yang dibeli, namun tak banyak kata yang diucapakannya. Entah untuk siapa roti itu, jujur saja ada sedikit rasa cemburu yang dirasakan Mahar. Hanya ucapan Firman yang terngiang kembali di telinga Mahar. Saat Firman meminta agar Mahar segera membungkuskan roti2 pesanannya dengan cepat. "sebelum waktunya habis Mahar, bergegaslah." begitu tergesanya Firman, berlomba dengan waktu. Â Apakah karena ingin bertemu Asih, atau pertanda ....... cepat Mahar membuang pikiran itu.
*****
Firman tergolek tak berdaya. Selang infus, oksigen dan kabel mesin pendeteksi jantung melekat disekujur tubuhnya. Tak ada lagi sosok Firman yang gagah, Mahar semakin sedih melihat pemandangan yang ada didepan matanya saat berada di kamar tempat Firman dirawat. Kondisinya masih dalam keadaan sangat mengkhawatirkan. Aritmia Jantung, debaran jantung yang tak beraturan, itu kata dokter yang sempat ditemui Mahar.
"Penyebabnya bermacam-macam bu. Salah satunya stress yang berlebihan." Jelas dokter pada Mahar yang terkejut mendengarnya.
Asih tak ada di rumah sakit, kata Acik belum pulang dari tugas keluar daerah. Tadi Mahar sempat berpapasan dengan Acik di gerbang rumah sakit. Kebetulan sekali, Acik sudah harus segera pulang mempersiapkan segala keperluan untuk pendataan eKTP yang dimulai esok pagi. Acik berjanji akan mendata Mahar nanti setelah ada pengganti menjaga Firman.
"Titip mas Firman ya Jeng Mahar. Besok saya usahakan mengatur jadwal jaga, biar semua warga ikut membantu berjaga disini." Pesan Acik sebelum berlalu. Sekarang hanya ada Mahar dan Firman yang masih tak sadarkan diri. Perlahan Mahar mendekati ranjang tempat Firman terbaring. tanpa mampu menahan, Mahar menyentuh helai rambut Firman. Tak ada reaksi.
"Mas Firman, ini aku Mahar. Kamu pasti mendengarku kan. Kamu baik-baik saja?' Mahar berucap lirih. Sekuat tenaga tidak menangis, malah mengukir senyum dibibirnya. Dulu, saat ibunya menjaga ayah ketika sedang koma ibu tak menagis. Kata Ibu saat menjaga orang sakit sebaiknya kita tidak menangis. Karena tangisan hanya akan menambah lemah orang yang sedang sakit. Mahar percaya itu.
"Kamu istirahat yang tenang ya, aku akan menjagamu disini. Jangan takut, kamu tak sendirian." Mahar berbisik ditelinga Firman, yakin bahwa pria ini mendengar ucapannya. Mahar merapikan selimut di badan Firman. Memastikan semua dalam kondisi baik. Sekarang sudah jam setengah delapan, sudah masuk waktu Isya, Mahar bergegas berwudhu'. Dari rumah ia memang sudah mempersiapkan segalanya. Siap jika ternyata memang tak ada yang menjaga Firman, Mahar akan menginap di sini. Mukena dan beberapa potong baju dibawa serta. Syukurlah Mahar berfikir seperti itu. Terbukti apa yang dikawatirkannya terjadi.
Jam dua malam perawat jaga masuk ke kamar. Memeriksa kondisi Firman dan menyuntikkan obat ke selang infus. Mahar masih terjaga, berkawan kitab 'Riyadhus Shalihin' sebagai pengusir sepi. berulang kali melirik Firman, takut sesuatu terlewat dari pengawasannya. Firman masih diam tak bergeming. Gelisah makin besar tumbuh dihati Mahar. Sepanjang malam ini tak ada kemajuan yang ditunjukkan Firman. Mesin pendeteksi detak jantungnya masih sama, layar monitor menunjukkan grafik yang sepertinya kurang baik. Mahar memang tak mengerti apa arti grafik itu, firasatnya saja yang berkata. Ditepisnya perasaan itu, kembali tertatih membangun harapan dihatinya yang sedari siang sudah tak berdaya.
*****
Pukul tujuh pagi. Dokter datang mengunjungi Firman. Memeriksa semua peralatan, mencek kondisi jantung dan mencatat hasilnya di lembar diagnosa Firman. Sesekali mereka berdiskusi, tak jarang Mahar melihat kerutan di dahi dokter saat membaca kembali hasil diagnosa itu. Mahar tambah kawatir, Â tak tahu harus bagaimana.
"Maaf ibu istrinya pak Firman?" Dokter menyapa Mahar yang langsung gelagapan.
"Oh... eh... anu.. bukan dok, saya...saya... kerabatnya. Ya, kerabat Firman." untunglah Mahar mampu mencari 'status' yang lebih aman.
"Ada masalah dok? kondisi Firman apa sudah ada kemajuan. Semalam ini saya berjaga, tak sekalipun melihat ada pergerakan dari Firman."
Dokter menghela nafas berat. Hati Mahar tambah perih.
"Kita sama-sama berdo'a ya bu. Seganas apapun penyakit itu, tak bisa menentukan umur seseorang kecuali atas keinginanNya. Do'a adalah obat yang paling mujarab." Dokter berkata bijak, batin Mahar terisak. Sesuatu telah terjadi padamu, mas. Dan aku tak tahu apa gerangan yang tengah menimpamu. Mahar menatap Firman, perlahan mengahampiri pria yang belakangan ini mencuri perhatiannya.
"Bersabar ya mas. Kata dokter kamu tak apa-apa. Hanya sedikit cobaan saja, tenanglah." Mahar berbisik ditelinga Firman. Menggenggam jemari Firman seakan ingin mengalirkan kekuatan padanya. Padahal hatinya tercabik. padahal jiwanya melayang tak berpegangan. Mahar merasa terbang ke alam yang sama sekali tak ia kenal. Membuatnya terdiam, kaku dan bisu. Waktu seakan berhenti bergerak.
*****
Mahar mencoba menelepon Asih. Hanya nada tak tersambung yang terdengar. Mungkin Asih terlalu jauh bertugas, belum ada signal barangkali. Mahar berusaha berfikir positip. Bagaimanapun juga Asih harus tahu kondisi Firman. Mungkin saja kehadiran Asih bisa membuat kondisi Firman menjadi lebih baik. Mereka saling mencinta, pasti ada kekuatan batin yang erat, dalam hati Mahar berbisik sendu. Ada rasa bersalah menyesap hatinya. Ah sudahlah, jika Asih pulang nanti aku akan minta maaf. Sudah lancang menjaga kekasihnya, batin Mahar pedih. Kenapa hati ini tak juga ikhlas???
*****bersambung*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H