Per hari ini, jumlah subscriber Pewd mencapai 39,9 juta. Selain menjadi seleb, Pewd juga mendadak tajir. Bahkan, sudah menjadi norma kalau game kamu dimainkan oleh Pewd, peminatnya akan melonjak. Tentang hal ini, Jeremy berujar, “Kalau gitu, ngapain sekolah tinggi-tinggi. Mending bikin channel Youtube, nanti bisa kaya kayak PewDiePie...” Alamak.
Meski banyak sisi negatif, tapi menurutku banyak semangat positif yang bisa digali dari Pewd. Dan, aku mencoba konsisten untuk tidak melarang, tapi mendampingi terus Jeremy agar dia tidak salah arah. Tidak gampang memang, tapi setidaknya masih dalam kendali. Di era internet seperti sekarang, dengan satu dan lain cara, toh nanti dia akan terpapar juga dengan orang-orang seperti Pewd. Pilihannya, kamu pengen anakmu kuper sama sekali, atau kau harus menemaninya menerobos belantara digital yang masih tak keruan ini. Aku memilih yang kedua.
Overall, buku bertajuk This Book Loves You ini berisi random quotes dari Pewd, plus foto-fotonya yang konyol. Oleh Google Books, buku ini dikategorikan sebagai buku anak. Padahal, ada banyak kata-kata profan betebaran. Belum lagi logika dan pemahaman konyol yang mungkin oleh bapak-bapak pejabat penentu standar budaya Indonesia akan dianggap sebagai “bukan budaya kita”.
Apakah buku ini mendidik? Terus terang hampir dengan mudah aku katakan tidak.Tapi, seperti yang terjadi sepagi ini dalam perjalanan aku mengantar Jeremy ke sekolah, banyak quotes yang justru memicu diskusi dan aku harus menjelaskan sejumlah konteks sosial untuk memahami ungkapan-ungkapan yang kurang lazim dalam alam pikir Indonesia.
Dalam banyak hal, Pewd bicara tentang bagaimana dia menghadapi kehidupan. Mungkin terkesan cuek dan nyinyir. Tapi, semua orang yang sudah merasakan suka-duka kehidupan pasti setuju, begitulah kita hidup. Kitalah yang harus menafsirkan kehidupan dan “memberikan pemahaman” kepada diri sendiri agar tidak gila. Bukannya mengubahnya (hehehe, kebalikan dari Karl Marx ya). Dengan itulah kita survive, seperti halnya Pewd.
Sampai tingkat tertentu, aku malah berpikir, ini adalah buku filsafat. Hanya saja, disajikan dalam bentuk yang paling konyol. Love it or hate it. Jadi, di posisi mana Anda berada?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H