Anda kenal dengan Felix Arvid Ulf Kjellberg? Umh... atau mungkin dengan PewDiePie?
Kalau tidak, jangan berkecil hati. Barangkali usia Anda tak jauh berbeda dengan aku, yang suatu ketika pernah disebut sebagai Gen-X. Nah, nama yang aku sebutkan tadi adalah seorang Gen-Y, yaitu mereka yang kelahiran tahun 1980-an kemari. Ini adalah generasi yang tidak lagi, atau hanya mengenal sisa-sisa dari dunia analog. Mereka lahir dan besar di dunia digital.
Mereka tidak paham bagaimana sulitnya menggandakan lagu pada pita kaset seperti yang dulu sering aku lakukan zaman kuliah. Mereka juga pasti tidak paham mengapa harus bangga mengetahui informasi tentang satu band metal walau hanya secuil dari majalah Hai dan mengomongkannya berulang-ulang seakan-akan kita yang paling kenal dengan band metal tersebut.
Yup, Blabbermouth belum ada. Kita pasti dengan tekun memekuri setiap nama yang tercantum pada cover sleeve sebuah kaset dan mengira-ngira, kira-kira seperti apa musik dari band bernama Sick Of It All, S.O.D., M.O.D, dan gerombolannya. Kalau sekarang, ya tinggal cari di Youtube aja.
Oke, nggak usah berpanjang-lebar tentang masa lalu. Kembali pada PewDiePie. Sudah sejak setidaknya sebulan silam Jeremy ribut minta dibelikan buku si Pewd ini. Padahal, bukunya belum terbit. Kalau mau, masih pre-order. Dan, nggak jelas juga, apakah masuk Indonesia apa tidak.
Felix Arvid Ulf Kjellberg, begitu nama aslinya, merupakan seorang Swedia kelahiran 1989. Mestinya dia anak yang pintar. Bokap-nyokapnya orang pintar dan petinggi perusahaan di Swedia sana. Pewd sendiri sebenarnya diterima di Jurusan Ekonomi Industri di Chalmers University of Technology, salah satu perguruan tinggi terbaik di Swedia. Tentang ini, Pewd berujar, “Loe harus punya straight A’s untuk keterima di Chalmers.”
Tapi, alih-alih belajar sungguh-sungguh, Pewd malah drop out untuk meneruskan hobinya membuat video Youtube. Keruan saja ortunya mencak-mencak dan menolak membiayainya. Dasar sudah kadung tergila-gila Youtube, Pewd rela menjadi penjaja hotdog untuk dapat membuat video Youtube.
Video apa yang dibuatnya? Percaya-tidak, Pewd “hanya” membuat video tentang bagaimana ia memainkan bermacam games. Awalnya, dia banyak memainkan game-game horor, tapi belakangan, ia juga mendukung game-game indie. Berbeda dengan Youtuber game lain yang bersifat tutorial atau tips dan trik memainkan game, Pewd justru menekankan pada reaksinya. Dalam bahasanya, ia menyebutkan bahwa ia sedang “sharing gaming moments on Youtube with my bros.” Banyak tingkah konyol yang diperagakan Pewd, misalnya kalo jagoannya keok. Jangan tanya soal umpatan dan makian. Bahasa-bahasa profan yang vulgar pun betebaran.
Jeremy kelihatannya mengenal Pewd ketika mencari-cari tutorial untuk memainkan Minecraft, sebuah game yang bagus untuk melatih kecerdasan spasial. Semula, aku rada khawatir juga, kok ini bocah tiba-tiba fasih dengan ungkapan-ungkapan vulgar. Alih-alih melarang, aku coba mendampingi dan melihat lebih jauh. Yup, memang bukan pelajaran yang baik “bergaul” dengan Pewd, apalagi untuk bocah yang masih duduk di bangku kelas V SD. Tapi, aku sadar, melarangnya justru tidak menyelesaikan masalah. Lebih repot kalau nanti dia malah belajar di belakang.
Aku mencoba menempatkan diri menjadi teman. Apa sih yang menarik dari Pewd yang membuat Jeremy dan semua orang tergila-gila. FYI, channel Youtube si Pewd ini termasuk salah satu yang paling banyak subscribernya di dunia. Ia memulai channelnya pada 2010. Setahun kemudian, subscribernya sudah mencapai 60 ribuan. Pada pertengahan 2012, sudah tembus sejuta dan berkembang dua kali lipat hanya dalam waktu sekitar 3 bulan. Tahun berikutnya, subscribernya terus berkembang secara eksponensial. Mencapai 5 juta pada Februari 2013, tembus 6 juta pada April 2014 yang membuatnya diwawancarai New York Times, bulan Juli 2013 tembus 10 juta dan mengalahkan seleb Youtube Jenny Marbles sehingga menjadi channel Youtube kedua terbanyak subscribernya. Agustus 2013, Pewd akhirnya mengalahkan Smosh dan menjadi channel Youtube yang paling banyak subscribernya.
Per hari ini, jumlah subscriber Pewd mencapai 39,9 juta. Selain menjadi seleb, Pewd juga mendadak tajir. Bahkan, sudah menjadi norma kalau game kamu dimainkan oleh Pewd, peminatnya akan melonjak. Tentang hal ini, Jeremy berujar, “Kalau gitu, ngapain sekolah tinggi-tinggi. Mending bikin channel Youtube, nanti bisa kaya kayak PewDiePie...” Alamak.
Meski banyak sisi negatif, tapi menurutku banyak semangat positif yang bisa digali dari Pewd. Dan, aku mencoba konsisten untuk tidak melarang, tapi mendampingi terus Jeremy agar dia tidak salah arah. Tidak gampang memang, tapi setidaknya masih dalam kendali. Di era internet seperti sekarang, dengan satu dan lain cara, toh nanti dia akan terpapar juga dengan orang-orang seperti Pewd. Pilihannya, kamu pengen anakmu kuper sama sekali, atau kau harus menemaninya menerobos belantara digital yang masih tak keruan ini. Aku memilih yang kedua.
Overall, buku bertajuk This Book Loves You ini berisi random quotes dari Pewd, plus foto-fotonya yang konyol. Oleh Google Books, buku ini dikategorikan sebagai buku anak. Padahal, ada banyak kata-kata profan betebaran. Belum lagi logika dan pemahaman konyol yang mungkin oleh bapak-bapak pejabat penentu standar budaya Indonesia akan dianggap sebagai “bukan budaya kita”.
Apakah buku ini mendidik? Terus terang hampir dengan mudah aku katakan tidak.Tapi, seperti yang terjadi sepagi ini dalam perjalanan aku mengantar Jeremy ke sekolah, banyak quotes yang justru memicu diskusi dan aku harus menjelaskan sejumlah konteks sosial untuk memahami ungkapan-ungkapan yang kurang lazim dalam alam pikir Indonesia.
Dalam banyak hal, Pewd bicara tentang bagaimana dia menghadapi kehidupan. Mungkin terkesan cuek dan nyinyir. Tapi, semua orang yang sudah merasakan suka-duka kehidupan pasti setuju, begitulah kita hidup. Kitalah yang harus menafsirkan kehidupan dan “memberikan pemahaman” kepada diri sendiri agar tidak gila. Bukannya mengubahnya (hehehe, kebalikan dari Karl Marx ya). Dengan itulah kita survive, seperti halnya Pewd.
Sampai tingkat tertentu, aku malah berpikir, ini adalah buku filsafat. Hanya saja, disajikan dalam bentuk yang paling konyol. Love it or hate it. Jadi, di posisi mana Anda berada?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H