Mohon tunggu...
Mahansa Sinulingga
Mahansa Sinulingga Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta.

Ikuti saya di blog mahansa.wordpress.com dan Twitter @mahansa.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Prometheus, Klasik Metal atau Metal Klasik

29 Agustus 2015   01:13 Diperbarui: 29 Agustus 2015   01:13 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang dinanti-nantikan akhirnya muncul, album baru Luca Turilli cs akhirnya keluar juga. Didahului single “Prometheus”, yang videonya beredar di Youtube akhir Mei lalu, pada 19 Juni album bertajuk Prometheus, Symphonia Ignis Divinus ini resmi dirilis.

Setelah lewat dua bulan, akhirnya aku baru menyempatkan diri menulis resensi ini.

Sedikit mengulang cerita, album ini adalah kelanjutan dari album sebelumnya Ascending to Infinity (ATI), album pertama Turilli setelah “pisah baik-baik” dengan Staropoli. Kayaknya mereka punya visi yang berbeda. Nah, melalui ATI, Turilli pengen mengembangkan yang dia sebut “cinematic metal”.

Sebenarnya, aku pun nggak ngerti-ngerti amat apa yang dimaksud Turilli dengan cinematic metal itu. Tapi, ATI cukup renyah di kuping. Pertama kali dengar, langsung nyangkut. Maka, aku termasuk yang sangat menanti-nantikan kelanjutannya. Begitu ada kabar Turilli dan teman-temannya rekaman, aku terus memantau. Begitu tanggal rilis album diumumkan, aku juga ikutan pre-order di iTunes. Aku sangat berharap, Prometheus, Symphonia Ignis Divinus—begitu katanya judul album baru tersebut—paling nggak bisa menyamai ATI. Lalu, bagaimana hasilnya?

Sejujurnya, ketika menyimak video single “Prometheus” yang menjadi teaser, aku rada was-was. Kok nggak asyik ya. Rasanya kurang greget. Tidak ada yang bisa bikin wow, dan cenderung boring. Lagu mid tempo yang so-so.

Yang jelas, album baru ini semakin menegaskan arah musik Turilli dengan cinematic metalnya. Dan, ketika akhirnya bisa mendownload album utuh, barulah kelihatan apa yang dimaksud Turilli. Gimana rasanya? Mantap!

Mari kita bedah satu per satu.

Turilli pernah bilang, cinematic metal yang dia maksud adalah jenis musik yang diciptakan untuk menjadi soundtrack film. Sederhananya begitu. Mendengar Prometheus, menjadi jelas, ini adalah beragam musik yang cocok menjadi latar berbagai macam film.

Yang sangat khas adalah begitu dominannya komposisi-komposisi klasik dalam setiap lagu. Makanya, aku sempat berpikir, ini sebenarnya lagu-lagu klasik yang diberi sentuhan metal, atau metal yang diberi sentuhan klasik. Mestinya sih yang kedua, tapi kok kayaknya sebaliknya.

Hapuskan distorsi gitar dan drum, voila, Prometheus menjelma menjadi album klasik. Jangan salah, ini tidak berarti buruk. Banyak musik metal juga terinspirasi musik klasik. Tengok saja Yngwie. Atau, komposisi-komposisi Metallica juga dapat bersanding harmonis dengan musik klasik. Makanya, eksperimen membawakan lagu-lagu Metallica dengan iringan orkes simfoninya Michael Kamen bisa berhasil.

Bagi aku pribadi, tidak ada masalah sama sekali. Karena, ada periode di mana aku menziarahi karya-karya klasik, terutama nama-nama besar seperti Mozart, Beethoven, Vivaldi. Jadi, ya woles aja. Yang penting renyah dan nyangkut di kuping. Cuma, bagi metalheads garis keras, boleh jadi Prometheus dianggap sudah lari dari akarnya.

Indah

Sebenarnya, satu kata yang tepat untuk menggambarkan lagu-lagu di album Prometheus: indah. Yup. Luca Turilli emang jago. Dan, para anggota band campuran dari tiga negara (Italia, Perancis, Jerman) ini semua memiliki kemampuan yang mumpuni. Waktu 7 bulan menyusun komposisi, 3 bulan produksi, dan 50 hari mixing benar-benar optimal. Belum lagi, kehadiran dua choir serta sejumlah bintang tamu, termasuk Ralf Scheepers (Primal Fear), Dan Lucas (KARO), dan David Readman (PINK CREAM 69), benar-benar membuat album ini sangat kaya rasa.

Kekuatan bisa jadi kelemahan. Turilli boleh jadi menyusun komposisi-komposisi di album Prometheus dengan brilian. Begitu indah, rapi, dan merdu di telinga. Tapi, juga jadi terlalu steril, halus, cenderung lembek, dan kurang agresi. Prometheus jelas tidak bisa dibandingkan dengan Power of the Dragonflame atau Dawn of Victory pada era kejayaan duet Turilli dan Staropoli. Dibandingkan dengan ATI saja, Prometheus kalah sangar. Tapi, jika kau pengen musik metal yang indah, album ini bisa jadi salah satu rekomendasi.

Di album ini, virtuositas gitar Turilli tidak banyak diumbar. Jangankan lick-lick yang meliuk-liuk, riff-riff yang menggetarkan pun langka. Di beberapa lagu, Turilli sempat memperdengarkan solo. Simak misalnya “Il Tempo Degli Dei”. Kelihatan banget Turilli membatasi diri, lebih mengutamakan harmoni, dan tidak mau berlebihan. Malah, porsi piano—yang dia juga sih yang mainin—tampil lebih dominan.

Kebanyakan lagu-lagu di Prometheus bermain di mid tempo dengan aura positif. Pokoknya metal baik-baik deh. Nggak ada kesan kelam dan sangar. Nyaris tidak ada lagu yang ngebut seperti lagu-lagu di Dawn of Victory. Bahkan, sekaliber “Dark Fate of Atlantis” dari ATI aja nggak ada. Yang paling ngebut barangkali cuma “One Ring to Rule Them All”, yang jelas nggak ada apa-apanya dibandingkan, misalnya “When Demons Awake” atau “Holy Thunderforce”.

Jangan lupakan juga faktor vokal Alessandro Conti yang berbeda dengan Fabio Lione. Gaya opera Conti lebih dekat pada Michael Kiske eks Helloween, sementara Lione yang tongkrongannya mirip Francesco Totti-nya AS Roma karakternya lebih gagah dan garang.

Lagi-lagi, hal ini tidak berarti Prometheus buruk. Cuma, tampaknya, inilah karakter cinematic metal versi Turilli. Memang tampak meninggalkan akar symphonic dan power metal dari Rhapsody versi sebelumnya. Untungnya, dia punya sesuatu lain yang ditawarkan.

Andalan

Kalau sebelumnya aku katakan, sempat was-was mendengar single “Prometheus”, ternyata setelah mendengar lagu-lagu lainnya, kekhawatiran itu sirna. Yang ada malah puas dan nikmat. Memang tidak ada nomor-nomor yang agresif dan bertenaga, tapi siapa yang tidak terbuai mendengarkan “Anahata”, atau klimaks mendengar kejar-kejaran orkestra dan choir pada bagian finale “Il Tempo Degli Dei”. Maknyusss...

Yang layak jadi hits menurutku “Rosenkreuz”. Simple dan catchy. Pasti nyangkut di kuping. Tapi, favoritku adalah “One Ring to Rule Them All”. Selain paling bertenaga, semua tersaji komplet di lagu ini, mulai dari choir, orkestra, sentuhan musik rakyat Eropa, hingga variasi gebukan Landenburg.

Oya, sedikit komentar tentang Landenburg. Sebagai mantan drummer, wajar jika aku cukup memperhatikan seksi rhythm. Nggak tahu apakah dia dibatasi oleh Turilli, tapi menurutku dalam banyak lagu permainan Landenburg sangat datar, tidak ada entakannya. Mestinya, dia nggak kalah kelas dari Alex Holzwarth. Tapi, ya itu, nyaris tidak ada lagu yang menonjolkan permainannya. Apakah komposisinya yang menuntut demikian? Entahlah.

“Il Cigno Nero” sebagai pembuka benar-benar manis. Intro denting piano yang kemudian ditingkahi choir bersemangat seakan-akan menjadi isyarat untuk memulai penjelajahan musikal yang menyenangkan. Top markotob...

Nomor lain yang sangat kuat menurutku adalah “Yggdrasil”. Ini juga—lagi-lagi—dimulai dengan intro dentingan piano, orkestrasi simfoni, lalu liukan gitar Turilli, sebelum Conti angkat suara. Selain “Rosenkreuz”, “Yggdrasil” juga layak jadi hits.

Di album ini, muncul lagi "Of Michael The Archangel And Lucifer’s Fall Part II: Codex Nemesis” Jika yang part I di ATI panjangnya “cuma" 16 menit lebih sedikit, yang part II ini tembus 18 menit. Terbagi dalam 5 movement yang—sayangnya—menurutku tidak sesolid part I. Intro/movement I menurutku sangat menjanjikan. Kombinasi gitar distorsi dan denting piano misterius benar-benar membangun suasana magis—cocok untuk film-film misteri. Tapi, masuk ke movement II kok kayak kehilangan kesinambungan. Ibarat di film, ini dua adegan berbeda yang tidak ada hubungannya. Meski seakan terputus, movement II ini masih tetap kuat. Vokal Conti masuk di sini. Sayangnya—menurutku sayang sih—movement-movement berikutnya seakan kehilangan momentum sehingga jadi nggak klimaks mendengar epik ini dari awal sampai habis. Mungkin ini masalah selera, tapi aku lebih memilih part I.

Oiya, masih ada "King Solomon And The 72 Names Of God"  yang muncul sebelum “Yggdrasil”. Nomor bernuansa Timur Tengah ini so-so-lah, kayak nomor yang menjadi judul album.

Selain 11 lagu tersebut, masih ada bonus track “Thundersteel”, lagu dari band power metal AS, Riot, yang diaransemen ulang menjadi cinematic metal. Ini nomor standar power metal yang cepat dan bertenaga. Tuntaslah sudah kita menguliti Prometheus, Symphonia Ignis Divinus.

Jadi, bagaimana vonisnya?

Imho, ini adalah rilisan lain yang keren dari Luca Turilli. Tidak bisa disamakan dengan rendisi-rendisi lainnya, tapi album ini tetap memiliki kekuatannya sendiri. So, jika pengen menikmati citarasa metal yang berbeda—yang segar dan menyehatkan—silakan dengar album ini. Yang jelas, selama dua bulan sejak album ini beredar, sudah bolak-balik dia mengisi playlist musik yang aku dengarkan. Hail....

 

Prometheus, Symphonia Ignis Divinus

  1. Nova Genesis (Ad Splendorem Angeli Triumphantis)
  2. Il Cigno Nero
  3. Rosenkreuz (The Rose and The Cross)
  4. Anahata
  5. Il Tempo Degli Dei
  6. One Ring To Rule Them All
  7. Notturno
  8. Prometheus
  9. King Solomon And The 72 Names Of God
  10. Yggdrasil
  11. Of Michael The Archangel And Lucifer’s Fall Part II: Codex Nemesis
  • Codex Nemesis Alpha Omega
  • Symphonia Ignis Divinus (The Quantum Gate Revealed)
  • The Astral Convergence
  • The Divine Fire Of The Archangel
  • Of Psyche And Archetypes (System Overloaded)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun