Mohon tunggu...
Mahansa Sinulingga
Mahansa Sinulingga Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta.

Ikuti saya di blog mahansa.wordpress.com dan Twitter @mahansa.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Terapi Oksigen Hiperbarik, untuk Kuping Budek sampai Kulit Mulus

23 Agustus 2015   17:54 Diperbarui: 23 Agustus 2015   18:16 2134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Icha dalam ruangan"][/caption]

Sabtu (22/8) kemarin, aku mengantar Icha untuk terapi hiperbarik di RS THT Proklamasi. Ini adalah terapi ke-10 atau yang terakhir dalam satu seri rangkaian terapi yang dianjurkan.

Kenapa Icha sampai harus diterapi hiperbarik?

Jadi, ceritanya, sejak pulang dari Jepang sampai Lebaran, kita punya proyek renovasi rumah kecil-kecilan. Dibilang kecil, tapi cukup menguras tenaga juga, paling tidak untuk memindah-mindahkan barang. Pada Lebaran kedua, kita juga seharian di luar rumah, berkunjung ke tempat saudara.

Makanya, pada Minggu (19/7), aku usul kita bersantai dulu. Santainya anak muda zaman sekarang apa lagi kalau bukan jalan-jalan ke mal. Ya nggak bisa dibilang santai juga, karena kalau sudah ke mal, Icha tidak bisa diam, pasti jalan kian-kemari.

Nah, Minggu pagi itu, Icha sebenarnya sudah mengeluh, ada yang tidak beres dengan pendengarannya. Berasanya seperti telinga tersumbat kalau lagi bindeng. Meski sudah mencoba menguap dan menggerak-gerakkan rahang, kuping yang kiri tetap berasa tersumbat. Cuma, karena habis itu ke mal, Icha tidak terlalu merasakannya.

Keesokan harinya, Senin (20/7), aku sudah masuk kerja. Siangnya, Icha telepon dan bilang kalo telinganya masih tersumbat dan kayak ada bunyi berdenging. Aku masih bergeming dan bilang, itu barangkali cuma karena mau flu dan kecapekan. Tapi, Icha ngotot minta diperiksa ke dokter. Ya sudah, kebetulan bisa kabur lebih cepat, Senin sore itu kita ke dokter di RS THT Ciranjang.

Kita sama sekali tidak menduga  macam-macam. Barangkali cuma flu atau kenapa gitu, lalu dikasih obat dan selesai. Waktu pertama kali ketemu dokter, ia memeriksa penampakan fisik dengan mikroskop yang dipampangkan di layar TV. Pertama, ia memeriksa telinga kanan. "Nah, kalo normal, warnanya keperakan begini, Bu," katanya. Ternyata, ketika yang kiri diperiksa, kondisinya juga sama. Di sini wajah dokter sudah rada berubah. Ia lalu menyuruh Icha untuk periksa audiometri.

Pemeriksaan audiometri menggunakan headphone di dalam sebuah ruang tertutup. Dokter audiometri memberikan instruksi tertentu dan kalau kita mendengarkannya, kita harus memencet tombol. Dengan itu, dokter tahu sampai di mana tingkat pendengaran kita.

Setelah tes audiometri, kita kembali ke dokter THT dengan hasilnya. Dan, dokter pun memberi vonis yang sama sekali tidak kita duga. "Ini emergency, Ibu kalau 2 x 24 jam tidak dirawat, saya tidak bisa jamin pendengarannya pulih kembali. Bisa permanen seperti itu," kata dokter.

Lha, harus dirawat? Aku masih antara percaya tidak percaya. Lho kok gangguan kuping aja harus dirawat? Ketika kami tanya penyakitnya apa, dokter menjawab namanya sudden deafness alias tuli mendadak. Nama susahnya sudden sensorineural hearing loss (SSHL) atau dikenal juga dengan ear stroke. Yup, you got it right, stroke. Stroke kuping. Alamak, apa pula ini? Saat itu, kami benar-benar tidak tahu harus bagaimana, cuma karena dibilang emergency, kami ikut saja apa kata dokter. Aku cuma memastikan bahwa tidak ada tindakan aneh-aneh, hanya dikasih obat.

Malam itu juga kami kembali ke rumah untuk mengambil pakaian seperlunya, menitipkan Jeremy di tempat eyangnya, dan langsung menuju RS THT Proklamasi yang ditunjuk oleh dokter. Sementara itu, kami sempat berkonsultasi via telepon dengan salah satu sepupu Icha yang dokter, dan dia menyarankan kami untuk mengikuti saja apa kata dokter. Aku juga sempat googling dan ketemu cerita orang yang mengalami gangguan yang sama dengan Icha. Jadi, Senin malam itu pun Icha resmi dirawat.

Keesokan harinya, Icha menjalani serangkaian pemeriksaan, yaitu cek darah dan jantung. Siangnya, dokter jantung berkunjung dan bilang bahwa tidak ada masalah dengan jantung Icha. Dia bilang, untuk pengobatan sudden deafness, ada obat-obatan tertentu yang mungkin berpengaruh pada jantung, sehingga harus dikonsultasikan dulu dengan dokter jantung. Dan, ia memastikan bahwa jantung tidak bermasalah sehingga pengobatan bisa diteruskan.

Selanjutnya, datang pula internis yang punya spesialisasi darah (hematolog). Nah, menurut dokter ini, berdasarkan cek darah, kolesterol Icha rada tinggi. Mungkin itu bisa berpengaruh, tetapi dia bilang, ada tes lanjutan yang harus dijalani Icha. Itulah yang terjadi sepanjang Selasa (21/7).

[caption caption="Pintu masuk ke ruang hiperbarik"]

[/caption]

[caption caption="Suster yang menjaga di luar ruang hiperbarik. Tampak panel kontrol tekanan."]

[/caption]

Hiperbarik

Pada Rabunya (22/7), kami berkenalan dengan terapi hiperbarik. Menurut dokter THT yang merawat, ini sebenarnya bukan pengobatan utama, melainkan terapi penunjang.

Kami bertemu dulu dengan dokter hiperbarik dan dijelaskan panjang lebar tentang terapi ini. Menurut dokter, terapi yang lengkapnya disebut terapi oksigen hiperbarik ini intinya adalah bernapas menghirup oksigen murni dalam ruangan bertekanan. Prinsip dasarnya, dalam tekanan, kelarutan akan meningkat dalam cairan sehingga konsentrasi oksigen yang dihirup dalam suasana hiperbarik akan meningkat dalam darah dan jaringan tubuh.

Ada banyak manfaat dan kegunaan terapi oksigen hiperbarik. Di antaranya penyembuhan luka bermasalah (luka diabetes, luka bakar, luka gangrene), penyembuhan patah tulang, masalah gangguan pendengaran (sudden deafness, tinitus, dan migrain), masalah gangguan saraf dan stroke, autisme dan cerebral palsy, hingga kebugaran dan kecantikan.

Terapi ini tidak diperbolehkan untuk mereka yang memiliki kelainan paru tertentu, infeksi saluran napas atas, serta sejumlah kondisi medis tertentu yang menyebabkan pasien kesulitan menyesuaikan diri dalam ruangan hiperbarik. Makanya, sebelum dilakukan terapi, pasien harus berkonsultasi dengan dokter dulu.

Menurut cerita Icha, masuk ke dalam ruangan hiperbarik seolah-olah masuk ke dalam kapal selam. Jadi, terapi yang dilakukan menyimulasikan kondisi tekanan tinggi di bawah air sampai kira-kira (untuk spek alat di RS THT Proklamasi) kedalaman 14 meter. Di dalam ruangan telah disiapkan permen, selimut (karena dingin), dan air putih. Kita tidak boleh membawa jam tangan, hp, serta cairan dalam wadah seperti botol air minum atau minyak angin. Icha pernah membawa masuk botol minum, eee... botolnya jadi kempot. Yang parah, suatu kali ada yang pernah bawa minyak angin dalam botol, ternyata botolnya tidak kuat dan meledak. Wuih, bahaya juga ya. Kalau botol plastik yang kempot cukup dibuka tutupnya, tapi kalo dari kaca kan bahaya.

Di RS THT Proklamasi, tiap hari ada 3 sesi, masing-masing berdurasi 2 jam, yaitu pukul 09.00-11.00, pukul 11.00-13.00, dan pukul 13.00-15.00. Ruangan di RS THT Proklamasi bisa menampung maksimal 6 orang, yaitu 5 pasien dan 1 suster yang menjaga di dalam. Tidak selalu full, biarpun cuma satu tetap jalan dengan satu pendamping. Oya, anak kecil tidak bisa digabung dengan orang dewasa karena tekanannya berbeda--anak kecil lebih rendah. Anak kecil juga harus didampingi orang tua dan pendampingnya harus bayar (ya iyalah).

Sebelum masuk, dianjurkan untuk makan dulu, tapi harus ada jeda sekitar 1 jam. Jangan lupa untuk buang air kecil dulu, karena kalau sudah masuk, pintu tidak bisa lagi dibuka selama 2 jam durasi terapi.

Selama ikut terapi, Icha berkenalan dengan sejumlah pasien lain. Karena ini RS THT, ya kebanyakan memang dalam rangka terapi kuping budek kayak Icha. Tetapi ada pula sepasang lansia yang ternyata tidak sedang menjalani pengobatan apa-apa. "Untuk kesehatan aja," katanya. Ya kalau tidak punya kendala biaya, asoy-asoy aja kali ya ikut hiperbarik. Mungkin pasangan lansia itu berpikir, siapa tahu bisa jadi lebih muda ;) Ada juga seorang bapak yang kakinya diperban. Ternyata ia penderita diabetes dan aku menduga ia mengalami gangren sehingga kakinya harus diamputasi sebagian. Dia bilang, dia ikut hiperbarik untuk mempercepat penyembuhan kakinya.

Kembali pada sudden deafness, ternyata ini bisa menyerang siapa saja. Tetapi memang utamanya mereka yang telah berusia di atas 40 tahun, pas banget dengan Icha. Beberapa pasien lain yang barengan terapi dengan Icha rata-rata 40-an akhir. Tetapi, ada juga seorang ibu yang sudah berusia 50-an dan seorang remaja yang baru berusia 15 tahun. Semua dengan gejala gangguan pendengaran tetapi dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Salah satu bapak yang aku sebut di atas baru ke dokter THT setelah lebih dari seminggu. Awalnya dia ke dokter umum dan hanya diberi pengobatan flu biasa. Setelah tidak ada perbaikan, baru dia datang ke dokter THT. Gejala yang dialaminya, kuping terasa mendengar suara berisik. Tapi parahnya, kadang-kadang ia merasa pusing hebat. Kalau sudah begitu, ia jalan harus dituntun. Menurut dokter yang merawat Icha, kemungkinan keseimbangannya terganggu. Ingat, salah satu pusat keseimbangan manusia memang di kuping. Wah, berbahaya juga ternyata.

Menurut dokter hiperbarik, terapi ini baru kelihatan hasilnya setelah 5 kali. Untuk pengobatan, idealnya minimal dilakukan satu seri yaitu 10 kali. Habis itu, kalau masih diperlukan, bisa dilanjutkan lagi. Kami memutuskan untuk mengambil satu seri. Tapi, dari yang terapi barengan Icha, ada juga yang dianjurkan untuk 15 kali. Mungkin tergantung tingkat keparahannya kali ya.

Oya, setiap kali mau terapi, pasien harus ditensi dulu. Selain itu, kalau lagi flu, tidak boleh ikut terapi. Sekali waktu kami lupa, pada pagi sebelum terapi Icha kebetulan batuk-batuk seperti mau flu gitu. Bener saja, setelah masuk ke dalam, telinganya sakit. Mungkin tidak kuat menerima tekanan ya. Karena sudah "dikunci" di dalam bersama orang-orang lain, ya tidak mungkin keluar lagi. Jadinya, suster memberikan obat tetes untuk meringankan sakitnya--sambil sedikit ngomel-ngomel juga hahaha.

Dalam kasus Icha, karena kami cepat ditangani, ketika dicek lagi hari Jumat (24/7), kondisinya sudah nyaris normal. Tapi, kami terus melanjutkan terapi hiperbarik meski telah keluar dari rumah sakit. Karena repot kalau hari kerja, kami hanya datang seminggu sekali, setiap Sabtu. Dan, Sabtu kemarin adalah sesi terakhir terapi Icha. Sekarang sih sudah berasa seperti normal lagi, semoga tidak kambuh-kambuh lagi ya.

Jadi, lesson learned-nya, jangan anggap enteng kalo kuping berasa budek. Nggak ada salahnya langsung dicek ke dokter atau ahlinya biar bisa ditangani dengan cepat dan tepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun