Mohon tunggu...
Mahansa Sinulingga
Mahansa Sinulingga Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta.

Ikuti saya di blog mahansa.wordpress.com dan Twitter @mahansa.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Semalam di Braga

21 Februari 2015   21:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:45 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memenuhi janji pada tulisan terdahulu, kali ini aku akan memberikan review untuk hotel Gino Feruci yang kami inapi saat mampir ke Bandung pekan lalu (14/2).

Sebelumnya, sedikit latar belakang mengapa akhirnya kami memutuskan tinggal di hotel ini. Karena kami ingin kunjungan ke Bandung kali ini lebih santai, aku sengaja mencari hotel yang rada bagusan. Tapi, tentu saja dengan tetap memperhatikan price concern. Karena sudah member di Booking.com, aku secara teratur mendapatkan email penawaran. Gino Feruci ini termasuk nama yang sering muncul sehingga menjadi salah satu top of mind. Selain itu, ketika tempo hari mampir di Braga City Walk, kami sudah tertarik melihat bangunannya dan berniat untuk menginap suatu kali.

Pengalamanku sejauh ini, Booking.com memberikan penawaran dengan harga lumayan bagus, walau sering kali itu berarti tidak termasuk sarapan. Ternyata, kali ini aku dapat memesan harga terendah dengan opsi termasuk sarapan seharga Rp 605.000. Hmm, cukup baguslah menurutku. Enaknya lagi di Booking.com, pembayaran dilakukan belakangan, ketika kita check out. Jadi, saat memesan, kita belum di-charge biaya apa pun. Namun, pihak hotel memang tetap akan mencoba melakukan otorisasi untuk memastikan bahwa kartu kredit kita aktif. Dulu, aku sempat kaget kok tiba-tiba dapat pemberitahuan melalui ponsel bahwa ada transaksi di kartu kreditku. Aku langsung menghubungi customer service Booking.com (jangan kaget, yang menjawab bule). Dia menerangkan bahwa hal tersebut adalah proses yang wajar, dan memang ketika tagihan kartu kredit datang, tidak ada transaksi yang terjadi.

[caption id="attachment_398447" align="aligncenter" width="300" caption="Here we are"][/caption]

Beberapa hari setelah booking di Booking.com, aku menerima email dari Tiket.com dengan judul provokatif: “Hanya 48 Jam, Tanpa Syarat, Tanpa Mininum Transaksi!” Jadi, selama 48 jam (4-5 Februari 2015), Tiket.com menawarkan diskon Rp 100 ribu untuk kursi pesawat dan hotel. Iseng-iseng, aku coba membandingkan harga kamar yang sudah aku book di Booking.com. Ternyata untuk kamar yang persis sama aku mendapatkan harga (jadi) Rp 475.000. Hohoho, langsung saja bookingan di Booking.com dibatalkan (tanpa charge) dan aku book ulang via Tiket.com. Lumayan, nginap di hotel (katanya) bintang empat plus breakfast hanya seharga Rp 475.000.

Belakangan, aku browsing di situs web Kagum Hotels, harga rata-rata kamar yang aku book dipatok di Rp 500.000 tanpa breakfast atau Rp 580.000 dengan breakfast. Jadi, lesson learned di sini ya jangan bosan-bosan hunting dan membandingkan sejumlah sumber. Jangan lupa juga, perhatikan ketentuannya, karena untuk booking melalui Tiket.com aku langsung dicharge di depan, walau masih ada opsi cmiiw untuk cancel dan full refund sampai 3 hari sebelum jadwal menginap.

Jadi, Gino Feruci ini merupakan salah satu brand di bawah jaringan hotel Kagum. Brand-brand lainnya adalah Amaroossa, Serela, Zodiak, dan Savero. Jaringan hotel ini sangat ekspansif dan tersebar dari Medan di Sumatera hingga Raja Ampat di Papua. Tahun lalu, Kagum Hotels membuat heboh dengan mencatatkan rekor meresmikan hotel terbanyak sekaligus dalam sehari yaitu 15 hotel yang tersebar di 3 kota—kebanyakan di Bandung. Mengapa Bandung? Aku kurang tahu, barangkali pemiliknya orang Bandung. Tapi memang embrio grup Kagum dimulai dari pembukaan Hotel Serela Riau Bandung pada 2005.

Oke, sekarang mari kita fokus pada Gino Feruci Braga. Ada alasan lain mengapa aku memilih hotel ini, yaitu karena memiliki kolam renang di lantai atas. Ini penting, kalau ingin bersantai sambil membawa anak kecil, pilihlah hotel yang memiliki kolam renang, dijamin mereka pasti girang.

Kalau melihat foto-foto di Booking.com, gedung Gino Feruci Braga memiliki warna yang cerah, kontras dengan kawasan sekitarnya yang tampak sudah tua dan kusam. Bersama-sama Aston Braga, gedungnya tampak menonjol dengan bangunan jangkung 18 lantai di antara bangunan-bangunan lain di Braga.

Braga ini seharusnya menjadi ikon Bandung. Aku katakan “seharusnya” karena faktanya Braga sekarang jauh dari kata menyenangkan. Padahal, Bandung mendapatkan julukan “Paris van Java” antara lain karena pada zaman Belanda tahun 1920-an Braga menjadi pusat keramaian. Di jalan ini terletak kafe-kafe gaul, butik, dan restoran. Konon, di jalan inilah kaum gaul kolonial mejeng, ngeceng, dan je-je-es (hahaha, keren ya istilahnya).

[caption id="attachment_398448" align="aligncenter" width="234" caption="Gino Feruci Braga [Foto: Expedia.com"]

1424502780956716899
1424502780956716899
[/caption]Menurut Wikipedia, pada tahun 1900-an, sejalan dengan rencana pemerintah kolonial Hindia Belanda hendak memindahkan ibu kota dari Batavia ke Bandung, Braga pun termasuk dalam rencana tata kota Bandung. Pada 1906, jalanan Braga yang tadinya dari batu lalu diaspal. Sementara, untuk desain bangunan-bangunan baru juga diatur sehingga yang muncul kemudian adalah bangunan-bangunan bergaya art deco. Ini menjadi ciri khas Bandung kemudian, antara lain dapat disimak dari pintu masuk di sisi selatan, yaitu Gedung Merdeka, tempat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika. Gedung ini semula bernama Concordia Society dan kini menjadi museum. Dari Gedung Merdeka, berjajar banyak gedung hingga ujungnya, pada perempatan dengan Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Braga berakhir dengan Gedung Bank Indonesia.

Pada masa kuliah, awal tahun 1990-an, aku suka melintasi Braga. Kalau dari Alun-alun, aku suka menyusuri Cikapundung, Banceuy, lalu masuk ke Braga, terus hingga Balai Kota. Atau sebaliknya, dari BIP jalan kaki lewat Merdeka, masuk ke Braga terus ke Alun-alun. Jalan kaki di sepanjang trotoar Braga sangat menyenangkan. Ada banyak sketsa wajah Bandung yang bisa diserap dari tempat ini. Namanya juga mahasiswa kere, ya jalan kaki keliling kota juga sudah senang. Beberapa tempat yang dulu acap disambangi adalah bioskop Majestic untuk nonton film-film aneh atau melihat pameran buku di gedung Landmark.

Kini Braga terasa padat dan sumpek. Bangunan-bangunannya menua, kusam, dan kumuh. Dulu, aku masih sempat melihat toko serba ada Sarinah, walaupun sudah tidak laku. Sekarang masih ada bekasnya, tapi tidak jelas mau jadi apa. Yang masih bertahan barangkali rumah makan legendaris Sumber Hidangan (Het Snoephuis). Selain itu, kini banyak kafe dan restoran serta sejumlah convinience store. Tapi, pada saat kami menginap malam minggu itu, begitu padat dan rusuh. Sungguh tidak nyaman.

Kami tiba di hotel sekira pukul 14.00, sengaja ngepasin dengan waktu check in. Seperti kuduga, parkir mobil pasti menjadi masalah karena tempat terbatas. Beruntung kami masih mendapat tempat parkir, walau di turunan. Sebenarnya, kalau tidak mau repot, ya tinggal pakai jasa valet saja.

[caption id="attachment_398449" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana kamar."]

1424502840239381915
1424502840239381915
[/caption]

[caption id="attachment_398450" align="aligncenter" width="300" caption="View dari kamar."]

14245028801522160929
14245028801522160929
[/caption]

Urusan check in mudah saja, karena aku sudah membawa print out konfirmasi bookingan dari Tiket.com. Sayangnya, Icha mungkin tidak begitu menyimak saat resepsionis menanyakan pilihan tempat tidur, mestinya pilih yang queen bukan twin. Karena sudah masuk kamar, sudah malas untuk turun lagi. Ya sudah, jadilah kita tidur terpisah, aku sendiri, Jeremy bersama Icha.

Kesan pertama, kamar superior yang kami pilih agak kecil. Namun, interiornya cukup bagus dengan kombinasi warna yang elegan. Hanya saja, kalau mau melihat lebih detail, di sejumlah bagian finishingnya kurang bagus. Di kamar yang kami tempati, cat pada bagian kusen jendela tampak asal-asalan. Sepertinya dikerjakan buru-buru. Tapi, secara umum, kamarnya bersih dan menyenangkan.

Kamar yang kami tempati berada di lantai 9 dengan view ke arah Alun-alun. Kalau melihat ke bawah, tampak Sungai Cikapundung dan permukiman di belakang Braga, tampak padat dan banyak anak-anak bermain.

Kami istirahat sejenak menunggu matahari tidak terlalu panas lalu menuju kolam renang yang terletak di lantai 5. Tampaknya baru ada pesta pernikahan, meja-meja dan kursi-kursi tampak berantakan. Di siang menjelang sore itu cuma ada dua orang yang berenang. Ada dua kolam yang menjadi satu, yang satu berbentuk bundar, satunya lagi persegi panjang. Ukurannya tergolong kecil. Kolam yang besar dapat aku renangi kurang dari lima kayuhan.

[caption id="attachment_398451" align="aligncenter" width="300" caption="View kolam renang ke arah Aston."]

1424502931842302010
1424502931842302010
[/caption]

[caption id="attachment_398452" align="aligncenter" width="300" caption="View menuju pintu masuk ke hotel."]

1424502969459322774
1424502969459322774
[/caption]

Kolam renang berhadapan dua tower hotel dan apartemen Aston. Sementara, jika melihat langsung ke bawah, perumahan warga sekitar Braga tampak lebih jelas. Bahkan kamu bisa mendengarkan teriakan anak-anak yang bermain di bawah sana.

Kami tidak terlalu lama berenang karena selain airnya dingin, embusan angin cukup kuat di lantai 5 ini. Brrr... Makanya buru-buru kembali ke kamar dan guyuran dengan pancuran air panas.

Seperti aku ceritakan di tulisan terdahulu, malamnya kami berniat ke Paris Van Java tapi gagal dengan sukses sehingga akhirnya mendekam di kamar saja setelah makan malam di Braga City Walk.

Hal lain yang ingin aku ceritakan adalah tentang sarapan yang disajikan di restoran D’risotto. Dengan harga Rp 475.000 untuk 3 orang, sebenarnya aku tidak berharap terlalu banyak akan kualitas sarapan yang disajikan. Dan, memang dugaanku tidak terlalu keliru. Walau variasi hidangannya cukup banyak, tapi tidak ada egg corner dan sosis. Ini biasanya menjadi favoritku dan aku bisa bolak-balik mengambil omelet atau mata sapi. Tapi, kali ini aku harus cukup puas menyantap pasta, bubur ayam, dan bubur kacang ijo. Selain itu, masih ada nasi goreng nanas (?) dengan warna yang tidak terlalu jelas.

1424503024120009912
1424503024120009912
14245030481582531715
14245030481582531715
1424503081499210978
1424503081499210978
1424503104754072703
1424503104754072703

[caption id="attachment_398457" align="aligncenter" width="300" caption="Sarapan di D"]

14245031221876080654
14245031221876080654
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun