Mohon tunggu...
Mahameru Sdw
Mahameru Sdw Mohon Tunggu... Penulis - Cicurug, Sukabumi

Umur 20 tahun

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pendidikan yang Eksploitatif

9 Maret 2022   16:00 Diperbarui: 10 Maret 2022   15:07 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Baru - baru ini sejumlah mahasiswa dari kampus yang berbeda, melakukan demonstrasi membawa tuntutan yang menurut saya serupa secara essensi; yaitu meminta keringanan biaya kuliah. 

Ada dua kampus yang menyuarakan hal ini(setahu saya)yaitu salah satunya Djuanda Bogor yang jarak kampusnya terbilang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal saya, dan satu lagi di UIN Jember. 

Sebelum dilanjut, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada para mahasiswa yang memperjuangkan tema tersebut, sebab saya yakin para orang tua pasti terwakili oleh kalian.

Disini saya hanya menyeret beberapa contoh kasus yang terbilang serupa sedang terjadi di tahun yang sama untuk disuguhkan ke meja obrolan, karena umumnya orang dikita menyukai sebuah hidangan yang masih hangat. padahal hidangan tersebut bukanlah hangat karena baru di buat, melainkan hidangan yang sudah dingin atau bahkan mungkin sudah kadaluarsa secara tanggal namun di re-oven kembali, dan sialnya masih ada kesukaan lain yang menurut saya kurang baik; yaitu ketidak maksimalan pada proses mengkonsumsi, maksudnya hanya di makan beberapa gigit lalu di tinggal begitu saja tanpa di tengok kembali, lalu dingin kembali dan menunggu dire-oven kembali.

Kasus pendidikan yang merenggut dompet ini menurut saya tidak bisa dibiarkan atau diacuhkan begitu saja, sebab, ada beberapa hal yang terbilang sangat menggelitik untuk dipikirkan, dan hal itu membuat saya perlu mengisi ulang gelas kopi yang sudah kosong dan agak menjadi sering mampir ke warung untuk menjemput beberapa batang rokok. 

Saya hanya akan menguraikan tiga hal tentang mengapa pendidikan yang mahal itu sangatlah tidak pantas di pertahankan, atau bahkan seharusnya di gratiskan saja. berikut beberapa alasan yang akan saya uraikan:

1. Mencerdaskan kehidupan bangs

Tulisan "bangs" diatas bukanlah prihal typo dalam penulisan, melainkan sengaja saya tulis secara tidak lengkap, karena memalukan saja jika menggunakan kata "bangsa" yang kenyataannya tidak juga terealisasi, bahkan pendidikan malah menempatkan masyarakat miskin pada situasi gambling(contoh menjual sawah).

Masyarakat miskin termasuk dalam anggota yang disebut "bangsa" juga, lalu mengapa mereka seolah olah diberatkan atau tidak di mudahkan untuk menikmati pendidikan?, padahal jika fasilitas pendidikan diberikan secara mudah pada mereka, besar kemungkinan pintu untuk mencapai kesejahteraan tidak akan sesulit dalam kondisi tanpa mengenyam pendidikan tuk dijangkau, sehingga hal tersebut akan mengurangi sesuatu yang bernama "miskin turunan", sebab ada kesempatan atau kompetisi yang bisa dibilang adil dengan orang-orang yang sudah kaya.

Apakah pendidikan gratis adalah mustahil?

Saya kira hal ini bukanlah suatu hal yang terbilang utopis, sebab ada salah satu negara yang sudah merealisasikan hal tersebut; yaitu negara yang direvolusikan Fidel Castro, Che Guevara, beserta kawan - kawannya.

Mengenai pendidikan di Kuba ini tidak akan saya beberkan secara panjang karena kita tidak sedang membahas Kuba. Mungkin ada satu peristiwa yang menurut saya sangat heroik di lakukan Kuba pada Indonesia, yaitu dengan mengrimkan seratus lebih tim medis pada Indonesia dan melakukan berbagai kegiatan sosial dalam aspek medis. Itulah contoh pendidikan gratis yang hasil dari manfaatnya terasa bahkan hingga negara lain.

KIP yang kesasar

Mungkin para pembaca akan mengatakan,"bukankah di kita ada sebuah program yang bernama KIP?".

Tentu saja program tersebut sangatlah baik dan manfaatnya juga lumayan terasa, namun tetap saja dalam sebuah sistem demokrasi akan sangat baik jika kita memposisikan diri untuk mengkritisi program - program yang dijalankan, dan tentu saja masih ada kekurangan dalam program tersebut seperti salahnya sasaran penerima KIP, kurangnya sosialisasi terkait program tersebut, dan jumlah kuota yang terbatas.

Sangat umum diketahui bahwa para penerima KIP masih terdapat juga pada kalangan orang yang terbilang sudah mampu atau mapan secara finansial, sehingga orang yang benar benar tidak mampu menjadi tersisihkan dan mengalah saja. 

Proses filterisasi ini saya kira perlu di perketat, agar di kemudian hari tidak terjadi lagi kasus salah sasaran. orang yang sudah mapan tidak tahu malu dengan posisinya dan berusaha merampok kesempatan yang padahal seharusnya di terima oleh orang yang benar benar membutuhkan, mengapa mereka berlaku seperti itu? 

karena saya kira mental kapital sudah terlalu melekat pada mereka, yaitu sebuah konsep tentang "menekan modal serendah - rendahnya meninggikan keuntungan setinggi - tingginya". dan yang paling aneh lagi mengapa mereka bisa mendapatkannya?, ada 2 kecurigaan saya mengenai hal ini: (1)karena kelalaian pemerintah atau(2)karena ada permainan di dalam.

Selanjutnya terkait jumlah kuota yang perlu di perbanyak lagi, karena dengan melihat orang orang miskin yang terbilang banyak di negara kita, maka penambahan kuota sangatlah diperlukan. terlebih para orang tua pada umumnya menganggap pendidikan sebagai kebutuhan yang primer, maka memberikan pendidikan gratis termasuk kedalam upaya mengurangi kemiskinan.

Sebelum lanjut pada bagian selanjutnya, saya akan berusaha sebisa mungkin untuk mempersingkat tulisan, mohon maaf jika ada yang kurang puas atau mengatakan bahwa saya tidak komprehensif, maka dari itu saya akan melakukan pembelaan terlebih dahulu terhadap sangkaan atau dakwaan yang nanti bisa di dakwakan terhadap saya; pembelaan yang pertama adalah pengetahuan saya memang jauh dari kata jenius atau pintar, dan kedua ada pertimbangan sasaran pembaca yang perlu saya pikirkan. Sekarang, mari kita lanjut kembali pada bagian selanjutnya.

2. Pendidikan sebagai upaya untuk mendobrak kemajuan negara

Yang diuntungkan disini jika pembukaan UUD alinea keempat terlaksana bukanlah hanya keluarga atau individu tertentu saja, melainkan manfaatnya berdampak juga terhadap terdorongnya kemajuan suatu negara. dengan banyaknya orang di suatu negara yang mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang baik, maka besar kemungkinan akan ada level kecerdasan yang meningkat disana, tak jauh berbeda seperti konsep herd immunity.

Analogi yang tepat adalah masyarakat ibarat satu keluarga yang akan berekreasi ke suatu tempat dengan mengenakan sebuah mobil yang bernama negara, maka yang diperlukan sebagai bekal selain tenaga dan doa adalah pengetahuan. bagaimana caranya kita bisa sampai pada suatu tempat yang bernama "kemajuan" jika kita tidak tahu rutenya sama sekali, bahkan jika tenaga sudah diisi dengan santapan ikan arwana pun akhirnya hanya akan menjadi sebuah lelucon saja jika kita tidak mengetahui bagaimana caranya mengendarai mobil tersebut.

Namun sudah pasti efek dari manfaatnya tidak akan spontan, maka hanya pemerintah yang benar benar murni demi masyarakatlah yang bersedia mewujudkan hal ini, mengambil analogi yang pernah di singgung Caknun di maiyahan-nya yaitu seperti menanam pohon beringin, yang kemungkinan besar manfaatnya tidak akan dirasakan oleh orang yang menanam atau merawat pohon tersebut, kecuali jika berumur panjang.

Beberapa peristiwa sejarah seperti zaman renaisans bisa menjadi pendukung terkait premis diatas.

3. Pendidikan sebagai upaya menghancurkan para politisi parasit.

Dengan pendidikan maka kita bisa memperoleh pengetahuan atau pemahaman terkait sesuatu yang ingin atau sedang kita pelajari. Bukan melulu tentang pengajaran terkait hal yang praktis, melainkan pembelajaran mengenai etika, bahkan jika perlu, filsafat pun sebaiknya di kenalkan sejak dini pada siswa, mengapa mesti filsafat?, sebab, filsafat mempunyai beberapa perangkat yang berguna, salah satunya adalah "berpikir kritis" yang sudah tentu sangat diperlukan sebagai manusia apalagi sebagai warga negara.

Dengan bermodalkan perangkat kritis dibarengi etika yang cenderung pada semacam sikap altruisme, kita bisa terhindar dari kecenderungan para penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya dengan upaya propaganda yang dilakukan, serta tak jarang mendogmatisasi kita terkait apa itu hal buruk dan baik, kebanyakan para filsuf selalu menanyakan ulang atau merefleksikan ulang terkait konsep yang di tawarkan sebelum berujung pada keputusan, sehingga sepakat atau tidak sepakat terhadap suatu aturan atau kebijakan tertentu, keputusannya itu telah melalui proses filterisasi akal terlebih dahulu, dalam artian tidak menelan mentah - mentah apa yang di suapkan pada kita.

Jelas - jelas dalam kondisi ini yang akan dirugikan adalah para pemerintah korup yang kerjaannya menjual visi misi yang segarnya hanya sebatas di telinga saja. 

lalu siapa yang akan di untungkan?

Sudah tentu yang akan diuntungkan adalah masyarakat, sebab, para pemimpin yang murni lah yang akan eksis dalam iklim seperti ini.

Bagaimana jika kita kecolongan memilih pemimpin yang disangka murni tapi ternyata korup?

Kita tinggal mengkritisinya saja dan melakukan sebuah upaya pencopotan jabatan jika memang benar bahwa yang terpilih adalah penipu. Setidaknya, dengan bermodalkan kritis dan bekal pendidikan yang baik, kita tidak akan terlalu mudah untuk di tipu, jika teliti mungkin kita bisa membedakan mana wajah asli dan mana itu topeng.

Penutup

Entah kenapa, upaya pemaksimalan dalam aspek pendidikan dirasa kurang diperhatikan. padahal pendidikan menurut pandangan saya merupakan hal yang sangat penting, dan termasuk dalam infrastruktur. Kenapa saya bilang infrastruktur?, karena sejatinya yang membangun negeri ini bukanlah jalanan atau bangunan tinggi, mereka semua adalah benda mati yang jatohnya hanya menjadi infrastruktur sekunder untuk mencapai sesuatu; yang primer sebagai infrastruktur yaitu tidak lain adalah manusia itu sendiri.

Pada paragraf yang terakhir ini, saya ingin sedikit berbagi atau melontarkan pertanyaan yang menurut saya sangatlah pas untuk di cantumkan pada akhir tulisan ini; yaitu pertanyaan tentang mengapa pendidikan yang sudah jelas eksploitatif ini tidak segera disingkirkan?. Ada dua jawaban berupa pertanyaan yang cocok untuk pertanyaan tersebut; yaitu apakah karena pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk merealisasikannya?, Atau ada ketakutan tersendiri pada situasi atau iklim masyarakat yang cerdas?. Misalnya, mereka takut bahwa masyarakat yang cerdas tidak akan mudah di setting untuk mempertahankan kekuasan. Bisa saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun