Mohon tunggu...
Mahameru Sdw
Mahameru Sdw Mohon Tunggu... Penulis - Cicurug, Sukabumi

Umur 20 tahun

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Wadas Beserta Analisis Lainnya

12 Februari 2022   05:00 Diperbarui: 12 Februari 2022   05:41 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perampokan adalah sebuah peristiwa yang disepakati jahat oleh masyarakat, maka diciptakanlah sebuah lembaga negara yang bertujuan untuk memberikan hukuman agar menimbulkan efek jera bagi si pelaku, sekaligus dijadikan sebuah contoh pada masyarakat agar mengerti bahwa "merampok" merupakan aktivitas yang buruk. Itulah salah satu fasilitas yang wajib di maksimalkan oleh negara yaitu "keamanan".

Yang menjadi pertanyaan, syarat agar bisa disebut perampokan itu seperti apa? apakah essensinya terletak pada sebuah aktivitasnya atau subyeknya?. Jika yang di vitalkan adalah aktivitasnya maka siapapun subyek yang melakukan harus disebut perampok. Lalu bagaimana jika "negara" yang menjadi pelaku perampokan tersebut?. Sudah barang tentu jika merujuk pada konsep diatas, maka merekapun sah dianggap sebagai perampok.

Berkenaan dengan perampokan, saya akan mengaitkan dengan kasus yang sedang terjadi di desa Wadas, sebuah desa yang kini sedang mencuat di beranda - beranda medsos dengan membawa headline, "pembebasan lahan yang di sponsori represifitas aparat". Menurut sumber di salah satu surat kabar digital, luas lahan sekitar 124 hektare itu akan dibebaskan menjadi tempat penambangan batu andesit, yang dimana hasilnya akan digunakan untuk material pembangunan waduk.¹

Kendati, pembangunan yang diwacanakan untuk kebaikan masyarakat itu di kemas dengan konsep yang percis seperti terminologi perampokan yang saya paparkan diawal.

Pemerintah mengerahkan pasukan keamanannya lengkap dengan senjata  menuju Desa Wadas guna mengawal pengukuran lahan yang akan dilakukan. Bahkan dikatakan mereka pun membawa anjing pelacak yang di angkut oleh truk menuju desa wadas, hal tersebut sukses membuat warga yang tetap berkeinginan untuk mempertahankan tanah tersebut lari kocar kacir menuju hutan, beberapa polisi ada yang mendirikan tenda disana untuk menetap. 

Jika di lihat - lihat hampir serupa dengan kasus DI TII yang di kawal jalur logistiknya oleh TNI dengan cara mengitari gunung yang di tempati oleh pasukan DI TII. Namun subyeknya di Wadas ini bukan DI TII, melainkan masyarakat.

Tidak etis menurut saya jika pemerintah sebegitunya memasang kuda - kuda untuk mengamankan pengukuran. Saya yakin masyarakat Wadas tidak ada yang membawa granat bahkan gas air mata, toh keseharian mereka adalah bertani. Mungkin hanya pacul dan cerulit yang mereka bawa, itupun bukan ditujukan untuk menyerang tapi kemungkinan hanya kebetulan sepulang kerja tidak sempat disimpan. Beda halnya dengan senapan, sangat sulit sekali untuk berdalih bukan untuk mengancam, masa iya senapan tidak sengaja terbawa?. Sosok pelindung vibes-nya kini telah berubah menjadi sosok yang menakutkan.

Berbagai kemungkinan prihal masyarakat menolak menyerahkan tanah (nomor 2 dan 3 bikin kamu kaget :*)

Jika memang pembangunan tersebut dilakukan sepenuhnya demi kesejahteraan masyarakat "khusunya" Wadas, maka agak mustahil ditolak atau ditentang oleh masyarakat. Saya menangkap ada beberapa kemungkinan mengapa masyarakat menolak:

1. Mereka merasa sudah sejahtera dengan keadaannya

Maka dengan adanya perubahan yang di-inisiatif-kan oleh pemerintah, dianggap oleh masyarakat bukan sebagai perubahan menuju kesejahteraan, atau lebih tepatnya malah mengusik kesejahteraan.

Bisa saja mereka mempertimbangkan faktor lingkungan yang disinggung juga oleh para aktivis lingkungan yaitu Greenpeace dan WALHI, atau bisa juga kekhawatiran prihal mata pencaharian yang selama ini mereka dapatkan lewat hasil pertanian dan perkebunan menjadi terusik dengan adanya aktivitas pertambangan atau pembangunan di desa tersebut

2. Ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah

Saya yakin jika masyarakat sudah percaya pada pemerintah maka otomatis penolakan tidak akan sering terjadi. Kendati, jika ada penolakan pun saya kira itu hanyalah efek skeptis masyarakat saja, malah sehat menurut konsep demokrasi karena bisa melahirkan kebijakan yang ter-legitimasi oleh masyarakat, sehingga kebijakan itu tidak mustahil akan dirawat agar menjadi subur oleh masyarakat.

Berbeda jika masyarakat sudah berasumsi bahwa pemerintah tidak bisa dipercaya maka yang terjadi hanyalah penolakan - penolakan.

Contoh kasus di Wadas, pemerintah mengatakan bahwa mereka akan membuat pertambangan batu andesit yang dimana material hasil pertambangan tersebut akan digunakan untuk pembuatan waduk di Wadas. bisa saja masyarakat curiga bahwa ada kemungkinan pemerintah berkawan dengan oligarki bermain di pertambangan tersebut. Waduk bisa saja diwujudkan tapi kualitas dari waduk itu mungkin tidak maksimal, dan setelah waduk selesai maka tambang andesit akan dikuasai segelintir orang untuk meraup keuntungan. Mungkin batu andesitnya bisa di alihkan untuk pembuatan interior, bangunan rumah, dll.

Kemungkinan ketidak percayaan ini sangat besar, karena banyak sekali kasus pembebasan lahan yang hampir serupa yang bahkan ditentang juga oleh para aktivis lingkungan namun tidak juga dihiraukan, Salah satunya adalah kasus di Kinipan, ditambah beberapa kasus seperti omnibuslaw, KPK, Pupuk mahal dll. Beberapa deretan kasus tersebut dirasa cukup untuk memberikan suplemen ketidakpercayaan atau bahkan kekecewaan masyarakat pada pemerintah.

Mengutip perkataan montesquie,"ketidakadilan yang dilakukan terhadap individu adalah ancaman yang dibuat untuk seluruh masyarakat".

3. Ketidakmengertian masyarakat

Mungkin masyarakat salah paham karena kurangnya pengetahuan mereka sehingga salah menafsirkan kebijakan pemerintah yang sebenarnya baik(mungkin)menjadi buruk(mungkin).

Jika memang hal ini yang menjadi masalah, berarti pemerintah gagal dalam sektor pendidikan. Sebab, kewajiban pemerintah salah satunya yaitu mencerdaskan masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai hak untuk diberikan fasilitas agar bisa menjadi manusia yang cerdas, termasuk paket lengkap memberikan dorongan persuasif agar masyarakatnya mencintai ilmu pengetahuan.

Pendidikan termasuk infrastruktur yang perlu diperhatikan. Melihat pada sejarah, manusia selalu diselamatkan oleh suatu hal yang namanya kecerdasan atau keoptimalan fungsi akal yang dimana hal tersebut bisa dicapai oleh pendidikan. Dari sokrates yang menentang kaum sofis, Che Guevara sebagai pelaku revolusi yang menentang kesewenangan diktator Kuba, hingga Soekarno yang memandu kita menuju gerbang kemerdekaan dan berkontribusi pada pembuatan Pancasila.

Maka saya kira jika masyarakat disalahkan oleh pemerintah akibat ketidaktahuannya, menurut saya merupakan suatu kekonyolan. Jika diibaratkan seperti seseorang yang meludah, disini pemerintah meludahi wajahnya sendiri.

Akhir dalam kekhawatiran

Seperti gesekan batu yang terus di lakukan berkali kali bisa menimbulkan percikan api, bahkan tidak mustahil dari percikan itu terbuatlah nyala api.

Jika masyarakat merasa dirinya beberapakali dikecewakan tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti mereka bisa melakukan aksi besar besaran, sudah tentu aksinya berevolusi pada dosis yang lebih tinggi. Sebab akan ada saja masyarakat yang berdialektis dalam pergerakannya. Jika pemerintah tidak tembus dengan demonstrasi atau sangsi sosial di medsos, maka masyarakat bisa saja suatu saat nanti mencari cara alternatif lain agar di dengar oleh pemerintah sehingga masyarakat datang dengan aksi yang berbeda yang tidak disangka sangka oleh pemerintah.

Tidak mustahil berujung konflik antara masyarakat dengan pemerintah, jika memang pemerintah terbukti korup, konflik tersebut merupakan hal yang wajar karena masyarakat berusaha meraih hak nya sebagai warga negara, bahkan bisa disebut juga hal itu bukanlah suatu tindakan separatis melainkan nasionalis dengan syarat masyarakat benar - benar berjuang untuk terbebas dari keterkekangan pemerintah yang korup. Hal tersebut tak jauh berbeda dengan tindakan melawan penjajah yang dulu dilakukan para pahlawan demi menjemput proklamasi.

Mengambil semboyan Ganjar Pranowo "Tuanku ya rakyat, Gubernur cuma mandat!" hemat saya, kalimat yang syahdu dalam kuping demokrasi itu perlu direalisasikan, sehingga masyarakat benar - benar merasa dirinya diperhatikan. Maka tidak mustahil akan adanya keharmonisan antara masyarakat dan pemerintah yang berujung pada saling percaya dan saling membantu. Jangan sampai kalimat hanya sebatas indah dalam dimensi imajinatif saja, walaupun imajinasi sangatlah di junjung oleh Albert Einstein tapi akan jadi percuma jika imajinasi tidak sampai realisasi. Imajinasi yang tidak direalisasi tidak akan bisa merubah kerupuk yang sudah basi, menjadi Wagyu dan nasi.

Catatan kaki:

1. Tito Dirhantoro: Ternyata, Ini Proyek yang Bikin Desa Wadas Dikepung Polisi dan Puluhan Warganya Ditangkapi, Kompas TV, 9 Febuari, 2022. https://www.google.com/amp/s/www.kompas.tv/amp/article/260006/videos/ternyata-ini-proyek-yang-bikin-desa-wadas-dikepung-polisi-dan-puluhan-warganya-ditangkapi



HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun