Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Beauty Pilihan

Pakaian Bekas Alternatif Tetap Tampil Gaya di Masa Resesi

30 November 2020   20:02 Diperbarui: 30 November 2020   20:28 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sentral Cakar Ratulangi (SCR) salah satu pasar penjualan pakaian bekas asal luar negeri di pusat kota Makassar/Ft: Mahaji Noesa


Thrifting atau kegemaran berburu untuk membeli pakaian-pakaian bekas asal luar negeri sesungguhnya sejak lama dilakoni banyak warga di wilayah provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dan provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Sejak tahun 90-an warga di kedua provinsi sudah terlihat meminati pakaian-pakaian bekas asal luar negeri yang ramai dijual di seputaran pasar-pasar tradisional maupun lapak-lapak Pedagang Kaki Lima (PKL).

Para thrifting tersebut tidak didominasi dari keluarga yang berpenghasilan pas-pasan. Peminat pakaian-pakaian bekas asal luar negeri tertarik bukan hanya karena harganya yang relatif murah atau sebagai alternatif saat resesi ekonomi seperti di masa Pandemi Covid-19 sekarang. Lebih dari itu, mereka mengejar model dan corak menarik, jahitan serta kain-kain berkualitas dari pakaian-pakaian bekas asal luar negeri..

Justeru sejak tahun-tahun awal kemunculan penjual pakaian bekas luar negeri di provinsi Sulsel, sering dijumpai kelompok warga yang sengaja rela menempuh perjalanan darat hingga ratusan kilometer hanya untuk membeli pakaian-pakaian bekas.

Maklum, saat itu, thrif shop semacam wadah atau pasar penjualan pakaian bekas masih terbatas. Kehadiran pedagang pun cenderung hanya menyasar pembeli di sekitar pasar-pasar tradisional yang ada di wilayah kabupaten. Pada hal tidak sedikit warga perkotaan tertarik untuk memiliki pakaian-pakaian bekas asal luar negeri.  

Terdapat hari-hari tertentu yang dikenal dengan istilah 'Buka Baru' untuk kegiatan para pedagang menggelar pakaian-pakaian bekas yang mereka baru terima dari pemasok.

Saat-saat 'Buka Baru' itulah biasanya para thrifting mania berdatangan dari kota Makassar mencapai tempat-tempat penjualan pakaian bekas asal luar negeri yang ada di kota Parepare, berjarak sekitar 155 km. Atau ke kota Pangkajene, ibukota kabupaten Sidenreng Rappang kurang lebih 200 km.

Mursalim (52), lelaki pengusaha bahan bangunan di bilangan Panakkukang kota Makassar mengaku, hingga tahun 2012  setiap hari Sabtu pagi dia masih sering bersama sejumlah kerabatnya ke kota Parepare dengan tujuan inti untuk membeli pakaian-pakaian bekas asal luar negeri yang banyak dijual malam hari khususnya di sepanjang Pasar Malam tepi pantai kota Parepare.

''Pakaian-pakaian bekas, baju atau celana dari luar negeri itu selain murah, bagus-bagus model dan motifnya, jenis kain dan jahitannya berkualitas. Juga meski disebut pakaian bekas tapi masih banyak yang baru. Mungkin, baru sekali dua kali pakai saja. Itulah salah satu seninya, kejelian kita memilih pakaian yang masih baik dengan merek-merek ternama dari tumpukan pakaian di pedagang Cakar. Dengan pakaian Cakar level bos-bos tetap dapat tampil berwibawa," katanya.

Cakar merupakan sebutan warga di wilayah provinsi Sulsel terhadap pakaian-pakaian bekas asal luar negeri tersebut. Cakar akronim dari kata Cap Karung. Lantaran sejak dulu hingga sekarang pakaian-pakaian bekas dari luar negeri ini dipasok menggunakan wadah karung. Pakaian ditumpuk padat tak beraturan dalam karung-karung plastik yang berisi 250 hingga 300 potong baju. Dalam transaksi antara pedagang dan pemasok, setiap karung pakaian bekas disebut satu bal.

Sedangkan warga di wilayah provinsi Sultra, umumnya mengistilahkan pakaian-pakaian bekas asal luar negeri dengan sebutan baju atau celana RB. Disingkat dari kata Rombengan yang dipahami jauh sebelum pakaian-pakaian bekas asal luar negeri itu masuk di Indonesia, digunakan untuk para penjual keliling baju atau celana tua atau bekas pakai dari warga lokal.

Penjual pakaian Rombengan tumbuh di masa-masa paceklik Indonesia dalam era pemerintahan Orde Lama. Penjual rombengan biasanya berkeliling menjajakan barang dagangannya keluar masuk wilayah pemukiman warga dengan bersepeda atau berjalan kaki menggunakan alat bantu pikulan.

Meskipun sejumlah aturan dan undang-undang telah ditetapkan dengan ketentuan sanksi berat, melarang kegiatan impor dan perdagangan barang bekas dari luar negeri di pasar-pasar dalam negeri. Namun kenyataannya, kini para pedagang pakaian bekas semakin menyebar  ke semua wilayah di Indonesia. Bahkan sejumlah thrif shop justeru menjadi ikon di kota Makassar, kota Parepare, dan kota Kendari. 

Puluhan ribu warga di wilayah provinsi Sulsel maupun provinsi Sultra selama puluhan tahun hingga sekarang lancar-lancar saja bergelut dalam usaha jual beli pakaian-pakaian bekas dari luar negeri tersebut.  

Entah bagaimana pengawasan pelarangan impor pakaian-pakaian bekas dari luar negeri itu masuk ke Indonesia. Seperti yang berkaitan dengan Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Undang-undang No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan, serta Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Nyatanya, thrif shop yang ada termasuk para PKL secara kasat mata selama ini tidak pernah keukurangan stock penjualan barang pakaian bekas dari luar negeri.

Anwar, salah seorang anggota Forum Kajian Multimasalah Biring Tamparang di kota Makassar mengusul, agar dalam masa-masa sekarang pemerintah dapat meninjau kembali pelarangan perdagangan pakaian-pakaian bekas asal luar negeri.  

Alasannya, keberadaan pasar pakaian-pakaian bekas amat membantu warga memenuhi kebutuhan sandang warga saat ekonomi negeri melesuh sebagai dampak dari masa pandemi Covid-19 yang belum diketahui kapan akan dapat berakhir.

''Kekuatiran-kekuatiran akan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dari pakaian-pakaian bekas itu harus dibantu dicarikan solusinya. Warga selama puluhan tahun pun sudah berpengalaman mensterilkan pakaian bekas impor tersebut sebelum digunakan. 

Industri garmen dalam negeri pun tak perlu terlalu kuatir terpuruk, karena keberadaan pakaian bekas impor hanya alternatif keberagaman pilihan kebutuhan sandang warga. Justeru dapat jadi jendela melihat kecenderungan selera konsumen berkaitan model, warna, dan corak dalam rangka meningkatkan usaha garmen dalam negeri. Kenakan pajak untuk impor pakaian bekas,'' katanya.

Dalam masa Pandemi Covid-19 ada kecenderungan kalangan muda milenial di saat ekonomi melemah untuk memilih berbelanja pakaian-pakaian bekas dari luar negeri. Prinsipnya, dengan low budget tetapi tetap dapat tampil fashionable.

"Saat-saat ekonomi melemah seperti sekarang, anak muda tak perlu gengsi  pakai cakar, om. Ini pilihan tepat, baju dengan kain berkualitas, bermerk, harganya murah dan tetap dapat tampil gaya,'' tutur seorang remaja milenial yang dimintai komentarnya usai berbelanja sejumlah baju Cakar di jejeran lapak penjualan Cakar Pasar Terong  kota Makassar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun