Thrifting atau kegemaran berburu untuk membeli pakaian-pakaian bekas asal luar negeri sesungguhnya sejak lama dilakoni banyak warga di wilayah provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dan provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Sejak tahun 90-an warga di kedua provinsi sudah terlihat meminati pakaian-pakaian bekas asal luar negeri yang ramai dijual di seputaran pasar-pasar tradisional maupun lapak-lapak Pedagang Kaki Lima (PKL).
Para thrifting tersebut tidak didominasi dari keluarga yang berpenghasilan pas-pasan. Peminat pakaian-pakaian bekas asal luar negeri tertarik bukan hanya karena harganya yang relatif murah atau sebagai alternatif saat resesi ekonomi seperti di masa Pandemi Covid-19 sekarang. Lebih dari itu, mereka mengejar model dan corak menarik, jahitan serta kain-kain berkualitas dari pakaian-pakaian bekas asal luar negeri..
Justeru sejak tahun-tahun awal kemunculan penjual pakaian bekas luar negeri di provinsi Sulsel, sering dijumpai kelompok warga yang sengaja rela menempuh perjalanan darat hingga ratusan kilometer hanya untuk membeli pakaian-pakaian bekas.
Maklum, saat itu, thrif shop semacam wadah atau pasar penjualan pakaian bekas masih terbatas. Kehadiran pedagang pun cenderung hanya menyasar pembeli di sekitar pasar-pasar tradisional yang ada di wilayah kabupaten. Pada hal tidak sedikit warga perkotaan tertarik untuk memiliki pakaian-pakaian bekas asal luar negeri. Â
Terdapat hari-hari tertentu yang dikenal dengan istilah 'Buka Baru' untuk kegiatan para pedagang menggelar pakaian-pakaian bekas yang mereka baru terima dari pemasok.
Saat-saat 'Buka Baru' itulah biasanya para thrifting mania berdatangan dari kota Makassar mencapai tempat-tempat penjualan pakaian bekas asal luar negeri yang ada di kota Parepare, berjarak sekitar 155 km. Atau ke kota Pangkajene, ibukota kabupaten Sidenreng Rappang kurang lebih 200 km.
Mursalim (52), lelaki pengusaha bahan bangunan di bilangan Panakkukang kota Makassar mengaku, hingga tahun 2012 Â setiap hari Sabtu pagi dia masih sering bersama sejumlah kerabatnya ke kota Parepare dengan tujuan inti untuk membeli pakaian-pakaian bekas asal luar negeri yang banyak dijual malam hari khususnya di sepanjang Pasar Malam tepi pantai kota Parepare.
''Pakaian-pakaian bekas, baju atau celana dari luar negeri itu selain murah, bagus-bagus model dan motifnya, jenis kain dan jahitannya berkualitas. Juga meski disebut pakaian bekas tapi masih banyak yang baru. Mungkin, baru sekali dua kali pakai saja. Itulah salah satu seninya, kejelian kita memilih pakaian yang masih baik dengan merek-merek ternama dari tumpukan pakaian di pedagang Cakar. Dengan pakaian Cakar level bos-bos tetap dapat tampil berwibawa," katanya.
Cakar merupakan sebutan warga di wilayah provinsi Sulsel terhadap pakaian-pakaian bekas asal luar negeri tersebut. Cakar akronim dari kata Cap Karung. Lantaran sejak dulu hingga sekarang pakaian-pakaian bekas dari luar negeri ini dipasok menggunakan wadah karung. Pakaian ditumpuk padat tak beraturan dalam karung-karung plastik yang berisi 250 hingga 300 potong baju. Dalam transaksi antara pedagang dan pemasok, setiap karung pakaian bekas disebut satu bal.
Sedangkan warga di wilayah provinsi Sultra, umumnya mengistilahkan pakaian-pakaian bekas asal luar negeri dengan sebutan baju atau celana RB. Disingkat dari kata Rombengan yang dipahami jauh sebelum pakaian-pakaian bekas asal luar negeri itu masuk di Indonesia, digunakan untuk para penjual keliling baju atau celana tua atau bekas pakai dari warga lokal.