Â
[caption caption="Inilah lokasi yang dianggap makam disucikan di komplek benteng Fort Rotterdam Makassar/Ft: Mahaji Noesa"][/caption]
Hingga kini belum ada data pasti tentang makam siapa dalam bangunan berukuran 2 x 3 meter di sudut utara dinding sebelah barat Benteng Ujungpandang alias Benteng Fort Rotterdam di Kota Makassar. Namun begitu, lokasi yang dianggap kuburan digundukan belakang bangunan Bastion Buton (Gedung C)  Fort Rotterdam tersebut tak pernah sepi dari kunjungan peziarah terutama berasal dari wilayah kabupaten di selatan Sulawesi Selatan, seperti dari kabupaten Gowa, Takalar dan Jeneponto.
Banyak pegawai yang berkantor di sejumlah gedung dalam komplek Benteng Fort Rotterdam menginformasikan, hampir setiap minggu terlihat ada saja rombongan warga datang berziarah ke makam yang satu-satunya dalam benteng peninggalan Kerajaan Gowa abad ke-16 tersebut.
Bahkan, menurut kesaksian mereka, sejak lama dalam waktu-waktu tertentu terutama jelang pelaksanaan hari-hari besar Islam, seringkali terlihat makam di komplek benteng Fort Rotterdam  dikunjungi peziarah dalam jumlah banyak, datang berombongan menggunakan mobil maupun sepeda motor. Seperti saat akan memasuki bulan Ramadhan atau sesudah lebaran Idul Fitri, saat jelang pemberangkatan calon jamaah haji ke Mekah dan sesudah lebaran Idul Adha.[caption caption="Mencolek minyak bau di jidat setiap peziarah/Ft: Mahaji Noesa"]
[caption caption="Ikatan daun pandan yang telah mengering di jeruji makam/Ft: Mahaji Noesa"]
Mereka datang umumnya dengan kebiasaan membawa irisan-irisan daun pandan untuk ditabur dan lilin-lilin merah yang dinyalakan di permukaan makam. Juga seringkali rombongan peziarah dengan membawa beragam penganan tradisional yang disantap secara bersuka ria di sekeliling makam.
Jelang memasuki bulan Ramadhan tahun kemarin saya sempat bersua puluhan peziarah makam di komplek benteng Fort Rotterdam. Akan tetapi tidak seorangpun yang mau menjelaskan makam siapa yang diziarahi tersebut. Mereka rata-rata mengaku punya garis keturunan dari Karaeng Galesong, bangsawan Kerajaan Gowa di Desa Aeng Towa dan sejumlah desa lain di kecamatan Gelesong Utara, kabupaten Takalar, berjarak sekitar 25 km dari kota Makassar.
Para peziarah umumnya menyalakan lilin-lilin merah, menaburkan irisan-irisan daun pandan di permukaan makam, serta menitis Minyak Bau’ di batu nisan. Bau wangi pandan berpadu harum minyak bau’ – minyak khusus dibuat berwarna merah untuk ditiris ke nisan makam, menimbulkan aroma mistis mirip bau asap dupa Arab. Tiap peziarah tampak menengadahkan tangan berdoa sebelum menjauhi makam.[caption caption="Para peziara juga melakukan ritual khusus di kaki tiang bendera anjungan Bastion Bone Fort Rotterdam/Ft: Mahaji Noesa"]
Senin (12/10/2015) siang, atau tiga hari jelang memasuki Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1437 H, saya kembali bertemu puluhan warga mengaku berasal dari wilayah Bonto Rannu, kabupaten Takalar, didominasi perempuan, berziarah ke makam misterius di benteng Ford Rotterdam. Setelah bergantian melakukan ritual, bakar lilin merah, tabur irisan daun pandan dan menuang minyak bau’ di batu nisan, lalu berdoa dipimpin seorang perempuan yang datang bersama rombongan mereka.
Setelah itu, tampak  setiap peziarah bersalaman dengan pemimpin ritual. Terlihat ada lembaran rupiah dijepit menempel di telapak peziarah untuk diberikan ketika bersalaman dengan perempuan pemimpin ritual tersebut. Setiap peziarah kemudian dicolek jidatnya dengan ibu jari si pemimpin yang berpoles minyak bau’ dari batu nisan, lantas diberi sebuah irisan potongan daun pandan hijau sepanjang sekitar 25 cm yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Masing-masing peziarah lantas sibuk mencari tempat sekitar bangunan makam yang dianggap aman dan mudah diingat untuk menyisipkan atau mengikatkan daun pandan yang diberikan. Saat menyisip atau mengikatkan daun pandan  mulut masing-masing peziarah tampak komat-kamit tanpa suara yang jelas. ‘’Pastinya, mereka masing-masing berucap akan datang kembali untuk melepaskan ikatan daun pandan tersebut apabila cita-cita atau rencananya terkabulkan,’’ jelas Daeng, seorang lelaki tua yang masuk dalam rombongan peziarah.[caption caption="Ketika para peziarah pulang meniti dinding benteng Fort Rotterdam bagian barat/Ft: Mahaji Noesa"]
[caption caption="Menuruni anjungan Bastion Bone di Fort Rotterdam/Ft: Mahaji Noesa"]
Sudah banyak bukti, katanya, niat-niat atau cita-cita yang diucapkan di sini, seperti sukses usaha, terkabul bangun rumah, dapat jodoh, mampu beli mobil, dapat kerja, dapat jabatan baik cepat terkabul. Di jeruji dinding makam tampak banyak ikatan irisan daun pandan yang telah mengering. ‘’Itu tanda orangnya belum melepaskan, belum ada waktu datang melepas atau keinginan yang diucapkan di sini belum tercapai,’’ jelas si Daeng.
Dia lantas menunjuk potongan irisan daun pandan kering yang telah lepas dari ikatan tertumpuk di arah kaki makam, sebagai bukti beragam nazar yang telah terkabulkan. Dua orang wanita remaja terdengar cekikikan saat secara bersama akan mengikatkan daun pandan di sebuah tiang bangunan makam. ‘’Ingatki bae-bae tempatnya, supaya kalo sudah sukses ko datang di sini tidak salah lepas,’’  ucap salah seorang dalam nada bercanda.
Salah seorang laki-laki lainnya, rombongan peziarah menjelaskan, bahwa sesuai cerita turun temurun di wilayahnya, makam di komplek Benteng Fort Rotterdam tersebut juga dipercayai sebagai makam ‘Tuanta Salama’ sama yang ada di kabupaten Gowa. ‘’Itumi kalau kita datang berziarah bicara-bicara di sini cepat berkahnya,’’ katanya. Tuanta Salamaka adalah sebutan lain dari orang-orang beretnik Makassar terhadap Syekh Yusuf, tokoh pejuang dan ulama yang tahun 2005 ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia asal kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Pejuang dan Ulama Indonesia yang wafat 23 Mei 1699 di tempat pengasingannya Afrika Selatan tersebut, juga ditetapkan sebagai tokoh pejuang anti  perbedaan warna kulit (ras) pada tahun 2005 oleh pemerintah Negara Afrika Selatan.
Sekalipun ulama penyebar tarekat khalwatiyah di Indonesia ini jenazahnya dicatat sejarah dipulangkan dari Afrika Selatan ke kampung halamannya Gowa, tahun 1705, namun warga di sejumlah negara dan wilayah yang pernah disinggahi hingga kini mengaku juga tetap memiliki makam Syekh Yusuf. Seperti  makam Syekh Yusuf di Cape Town, Afrika Selatan, makam di Sri Langka, makam di Banten (Jawa Barat), makam di Sumenep (Madura), dan makam di Lakiung, kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.[caption caption="Makam yang masih misterius di komplek Benteng Fort Rotterdam/Ft: Mahaji Noesa"]
Menurut Bachtiar Hafid, pelukis supranatural, yang sejak tahun 70-an mendapat tempat galeri di komplek benteng Fort Rotterdam, apa yang dianggap sebagai makam di belakang Bastion Buton benteng Fort Rotterdam itu tidak benar. ‘’Sejak lama tidak ada makam di situ, dahulu yang ada adalah hanya Saukang di gundukan batu-batu benteng,’’ katanya dalam suatu perbincangan.
Saukang, dalam kehidupan masyarakat etnik Makassar tempo dulu, dikenal sebagai tempat suci, dapat berupa makam, batu, pohon atau gundukan tanah, tepi sungai atau tepi laut, di  puncak gunung atau di tengah hutan tempat yang dianggap baik mengucap nazar karena sering cepat terkabulkan. Biasanya tempat-tempat seperti itu dibuatkan bangunan atau kelambu sebagai penanda batas lokasi yang disucikan. Namun kebiasaan lama seperti itu kemudian perlahan lenyap ditinggalkan seiring dengan meluasnya pemahaman ajaran agama.
Menariknya, para peziarah makam melakukan ritual tanpa kikuk dengan hiruk pikuk para wisatawan pengunjung yang tak pernah sepi sepanjang hari masuk keluar komplek benteng Fort Rotterdam. Para petugas keamanan benteng pun sejak lama sudah paham terhadap kedatangan warga untuk berziarah ke tempat yang dianggap sebagai makam di komplek benteng. Â
Sejumlah kalangan menyarankan pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala yang berkantor di komplek benteng Fort Rotterdam mau peduli dapat membantu memperjelas status benda yang  dianggap makam tersebut, agar dalam perkembangannya kemudian tidak menimbulkan bermacam persepsi negatif.
Â
Video ziarah ke makam di benteng Fort Rotterdam:
https://youtu.be/crVOgq7GqKM Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H