“Sudah mulai sedikit jumlah kami. Kalau adapun, keretanya bukan BSA. Sudah banyak yang menggunakan sepeda motor baru buatan jepang dan cina. Mungkin faktor sulitnya suku cadang tadi, mereka beralih membeli kendaraan yang masih baru,” ujar Pak Dudung (71) sedikit lesu.
Kehadiran mesin-mesin baru itu, kata dia, tidak bisa dilarang. Apalagi pemiliknya juga rekan-rekan mereka yang sebelumnya menunggangi BSA. Walau dia akui, nilai sejarah akan identitas becak Siantar tidak sama antara BSA dengan merk jepang sekarang. “Inikan peninggalan perang dunia II, sudah pasti sangat bersejarah. Banyak turis asing yang datang ke Siantar ini bedecak kagum setiap naik becak saya. Terlebih kalau dia dari Inggris. Soalnya, mereka tahu. Pabriknya saja sudah lama tutup di sana, tapi di sini mesinnya masih mampu mengejar mobil,” ujar Dudung yang memiliki nama lengkap Abdullah Sani itu.
Walau mulai tergeser produk Jepang dan mereka tidak mampu berbuat apapun untuk menyelamatkan BSA, kedua senior soal BSA di Siantar itu prihatin dengan semakin hilangnya ciri khas becak Siantar. “Salah satu ciri becak Siantar itu ada pada warnanya. Dominan biru dan kuning dengan warna merah, hijau dan coklat menghiasi.
Namun sekarang, dampak dari tidak adanya perhatian pemerintah, masuklah perusahaan seluler. Dicatlah becak-becak itu mengikut warna khas mereka. Hilanglah salah satu atribut yang menjadi identitas becak Siantar. Saya hanya bisa bersedih melihatnya. Apalagi teman-teman pasti disodorkan sejumlah uang untuk merubah warna itu. Itu pilihan yang tidak bisa diganggu. Mungkin karena menyangkut kebutuhan hidup,” kata Darwin.
Tinggal 5 sampai 10 Tahun Lagi untuk Bertahan
Banyaknya peminat BSA untuk koleksi pribadi, menjadi tantangan besar sekarang ini. Situasi itu diperkeruh dengan semakin sulitnya konsumen pengguna jasa becak. Angkutan umum yang sudah memasuki jalan-jalan sempit dan sepeda motor yang mudah didapat dengan cara kredit, menjadikan becak Siantar lebih sering menjadi jilatan matahari di pinggiran jalan.
“Kalaupun bisa bertahan paling lama 5 sampai 10 tahun. Soalnya banyak yang mencari BSA ini. Harga termurah saja sekarang dalam kisaran Rp 25 juta dan yang pernah saya dengar, milik teman saya bisa terjual Rp 80 juta,” ujar Pak Dudung.
Besarnya angka untuk satu unit BSA itu, dikuatirkan akan menggoda para pemilik BSA untuk menjualnya dan menggantikan dengan becak besutan Jepang atau Cina yang bisa ditebus jauh lebih murah. “Bertahan dari godaan itu, satu-satunya cara menyelamatkan BSA dari Siantar. Namun sampai kapan bisa bertahan, karena godaan uang dalam jumlah yang cukup besar terus berdatangan. Namun saya sudah tekadkan, sebesar apapun tawaran itu, menjual BSA tidak akan saya lakukan,” tegas Darwin yang mengaku BSA-nya pernah ditawar Rp 60 juta oleh seorang kolektor.
Mesin-mesin tangguh dengan suara gahar seperti Triumph, Ariel, AJS, Norton, Matchless hanya kenangan bagi pemilik BSA. Era modern, kejayaan mesin-mesin kemenangan pasukan tempur Perang Dunia II itu masih bisa tergambar dari saudaranya -- Birmingham Small Arms (BSA) – yang masih mempertontonkan keangkeran dan keangkuhannya mampu melewati pergantian zaman.
Mesin-mesin sebagai saksi dan juga bagian dari pelaku kekejaman perang itu mulai tergilas mesin modern. Godaan rupiah para kolektor mulai meredupkan semangat melestarikan BSA sebagai ciri kendaraan di Pematangsiantar.
Kereta perang yang dahulu penuh gempita kemenangan itu menderu di jalur untuk dikenang.