Situasi politik DKI menjelang pilkada DKI sudah makin memanas,banyak hal yang terus menjadi perbincangan hangat di kalangan elit bukan saja menjadi agenda para elit DKI namun juga menjadi sorotan para elit pusat ,bahkan kini meluber menjadi isu di dareah khususnya di Surabaya yang notabene menjadi daerah asal bakal calon gubernur yang akan dijagokan pada pilkada DKI ini.
Banyak kemungkinan yang akan terus menjadi pemikiran dan pertimbangan para elit diantaranya, figur pemimpin ideal yang layak dijagokan. Meskipun sebenarnya jika unsur politk ini didekati dengan pendekatan strategis tanpa embel embel yang lain sebenarnya ini sudah selesai karena format kepentingan politik sudah diakomodir,sehingga ketakutan yang menjadi alasan kelangsungan program pembangunan di DKI sudah terjawab dengan kemunculan kandidat dari incumben.
Sehingga dinamika politik akan lebih efektif karena dengan duduknya pimpinan yang sudah terbukti progresif ini akan memberikan jaminan efektifitas kerja.Selain itu kelebihannya figur pimpinan yang berkuasa memegang tampuk pimpian daerah yang menjadi motor penggeraknya sifatnya sudah ready sehingga sudah langsung bisa bekerja tanpa harus melakukan orientasi medan yang biasanya memakan waktu .Bahkan tidak perlu dari nol lagi,Ibarat mobil sudah on the road sehingga tidak perlu star dari nol lagi.
Namun jika pertimbangan yang diambil bukan sekedar kinerja tentu banyak yang akan menjadi faktor penentunya. Diantaranya adalah faktor representatif demokratis,lazimnya pilgub bagaimanapun adalah faktor demokrasi. Faktor keterpilihan seorang kandidat selain kinerja tentu sangat menjadi hal utama karena jika bagaimanapun kapabelitasnya hebat namun jika tidak mendapat dukungan rakyat tentu tidak mungkin akan berhasil.
Bukan saja sekedar keterpilihannya sebagai kepala daerah namun juga kelak akan mensinergikan potensi rakyat ,menggalang peran serta partisipasi rakyat dalam setiap langkah kebijakan yang akan diambil kelak.Bagaimanapun seorang pimpinan harus selalu bisa seiring sejalan dengan aspirasi rakyatnya.Maka faktor aspirasi rakyat ini bukan masalah sederhana karena akan terus berdampak pada keikutsertaan warganya dalam pembangunan. Jika keterpilihannya tidak menjadi cerminan aspirasi mayoritas rakyat dimungkinkan akan berpengaruh pada kesuksesan setiap kebijakan yang akan diambil kelak.
Faktor yang kedua ialah,etika politik.Bagaimanapun jika seorang kandidat yang ingin maju menjadi calon pimpinan daerah tentu secara etis politik haruslah banyak melakukan pendekatan humanis kepada rakyat yang akan dipimpinnya. Jika sang pimpinan ini tidak dikehendaki oleh rakyatnya meskipun capabilitasnya tidak diragukan tentu tidak akan menjadi jaminan keikhlasan rakyat yang akan dipimpinnya,jika mayoritas rakyat pun tidak ikhlas memberikan mandatnya tentu mustahil akan meraup kemenangan.Sehingga pendekatan hati nurani kepada grass root akan lebih efektif dibanding dengan kedekatannya kepada elit pimpinan diatasnya,karena ini adalah sistem mekanisme demokrasi yang harus dilalui.
Selanjutnya,dengan makin maraknya faktor penolakan kehadiran seorang bakal calon pada pilgub DKI ini berarti sudah menunjukan bahwa peta politik sebenarnya sudah makin terkuak.Sehingga fenomena dominasi Ahok di pilgub ini sudah mulai mencair tidak monoton hanya didominasi aspirasi Ahok semata. Maka gumpalan aspirasi masyarakat sudah makin terpolarisasi.
Perkembangan demokrasi akan lebih terasa dengan mulai munculnya kandidat calon gubernur dari kalangan perseorangan yaitu munculnya Ikhsanuddin Noersi. Selain itu sudah mulai terkristalnya aspirasi suara non Ahok dengan munculnya koalisi persodaraan yang terdiri dari PKB,PDIP,PKS,PAN,PPP,Gerindra dan Demokrat yang akan mengusung calon alternatif yang akan menggali aspirasi rakyat DKI.
Dari perkembangan politik yang ada sudah muncul beberapa wacana yang akan menjadi alasan kenapa harus ada calon alternatif di pilgub DKI. Diantaranya setelah faktor internal Ahok sendiri akibat inkonsistesinya sikapnya yang semula berangkat dari jalur independen berubah ke jalur partai politik. Bagi Ahok ini mungkin tidak diperhatikan,karena justru jalan politik inilah yang lebih menjanjikan karena lebih strategis.
Namun disi lain justru inilah jebakan politik yang sebenarnya. Bahkan ini bisa menjadi sangat substansial karena menunjukan sikap kebribadian seorang figur pimpinan DKI karena bagaimanapun ini menjadi sorotan publik dan menjadi ajang penilaian tentang konsistensi sikapnya. Jika dicermati,pentingnya Ahok menyadari kepindahan kendaraan politik ini akan berdampak negatif baginnya.Ketidak konsistennya Ahok ini bahkan bisa menjadi tonggak berbaliknya arah empati dan simpati para elit padanya.
Diakui ini memang sangat dilematis untuk Ahok lakukan,antara mengikuti kendaraan politik melalui partai ataupun jalur independen. Namun sebetulnya Ahok sudah diatas angin,bahkan keungguan Ahok ini disebut istimewa di ranah politik kekinian karena merupakan satu satunya kandidat yang berhasil memperoleh dua kendaran politik sekaligus yang bisa dikatakan mustahil jika dilakukan oleh seorang selain Ahok.
Jika dicermati ,sebetulnya bargaining posision Ahok sudahlah kuat.Bahkan partai Golkarpun sampai bersikukuh tetap mendukung Ahok meskipun Ahok melalui jalur Independen,sehingga sangat memungkinkan Ahok untuk mengendarai dua kendaraan politik sekaligus ibarat menyebrang pulau Ahok tetap bisa berkendaraan politik dengan mobilnya sementar mobilnya naik kapal fery,sangat komplit dan strategis jika dilakukan,politik dua kaki ini adalah sangat mujarab.
Namun akankah nilai plus ini tidak dimanfaatkan semestinya,dengan meninggalkan Teman Ahok pergi ke jalur partai tidak mustahil akan menjadi bumerang bagi Ahok,friksi yang ditimbulkan akibat ketidak konsitnsinya bagi kalangan Teman Ahok. Di sisi lain nilai plus ini justru diabaikan,malah melepaskan Teman Ahok yang semula menjadi tumpuannya,akan berdampak negatif misalnya dengan aksi pengembalian KTP dukungan dll. Meskipun semua masih dapat diatasi secara internal.
Namun dampak ekternal telah menjadi blunder politik bagi Ahok,sekarang dengan aksi politis inkonsistensinya Ahok ini sudah mengagenda menjadi pemicu semangat melawan Ahok untuk lebih power lagi menyatukan potensi penolakannya.Padahal sebelumnya para elit ini justru sedang gamang antara mendukung dan tidak kepada Ahok termasuk kalangan elit PDIP. Karena sangat tidak etis jika penolakan Ahok hanya alasan subyektif yang bisa membangkitkan sara.Namun berkat tindakannya sendiri ternyata Ahoh memang bukan tipe figur yang pantas untuk diunggulkan partai.Maka setidaknya fenomena ini layaknya aksi gali lubang sendiri yang dilakukan oleh Ahok.
Selain itu,langkah Ahok yang dinilai tidak konsisten ialah keikut sertaannya melakukan penolakan cuti bagi sang petahan jika mengikuti pilkada lagi. Hal ini sebetulnya lumrah jika aksi penolakan cuti ini dilakukan oleh orang lain. Namun akan menjadi aneh jika penolakan ini dilakukan juga oleh Ahok yang justru pada saat itu juga memprotes Foke yang saat itu tidak melakukan cutidan mengusulkan supaya melakukan cuti. Namun kini pada saat dirinya yang berkuasa justru malah menolak cuti.Inilah inkonsistensi yang dilakukan oleh Ahok.
Namun yang menarik, wacana ini sudah mulai terasa memanas setelah makin mengkristalnya gerakan anti Ahok dengan mengusung kandidat dari kalangan PDIP yakni Tri Risma Maharini ,( Bu Risma) walikota Surabaya. Kemunculan Risma bukan sekedar menjadi lawan Ahok yang sebanding namun juga menjadikan strategis politik untuk DKI pada pemilu yang akan datang.Apalagi mayoritas rakyat DKI yang mendukung Risma sudah semakin kuat karena bersatu dengan kekuatan aspirasi asal bukan Ahok.Dengan sikap Ahok yang inkonsisten ini sudah cukup menjadi alasan yang kuat untuk bergerak.
Mungkin berat jika tidak ada alasan yang logis untuk melakukan aksi lawan Ahok ini. Aksi inkonsistensi Ahok ini akan membuat gerakan ini akan menjdi lebih masuk akal. Semangat ini akan memayungi gerakan anti Ahok menjadi lebih bermakna tanpa tersandra unsur sara yang menjadi senjata para pendukung Ahok.
Sehingga fenomena gerakan keberatan Risma oleh masyarakat Surabaya ini yang sedianya menjadi faktor pemberat Risma untuk maju ke pilkada DKI akan mencair. Setelah munculnya aksi keberatan warga Surabaya yang berpandangan negatif tentang majunya Risma ke pilgub DKI yang mengemuka diantaranya masalah amanat, yang seolah olah dengan perginya Risma ke DKI berarti menyalahi amanat rakyat,sama juga dengan kepergian Jokowi dari Solo ke DKI bedanya kekuatan pemberat Jokowi waktu itu lebih murni sehingga tidak sempat mengemuka dan menjadi agenda politik . Namun sangat gegabah jika fenomena aksi keberatan ini adalah campur tangan pihak lawan politik yang bermain ,seperti yang menjadi sorotan seorang elit politik di Jawa Timur baru baru ini. Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar mencurigai penolakan pencalonan Tri Rismaharini dalam pilkada DKI sebagai manuver Ahok.“Masyarakat yang mana dulu, jangan-jangan orangnya Ahok,” kata Samanhudi kepada Tempo, Senin 8 Agustus 2016.
Namun semua itu adalah fenomena awal terlalu dini jika kita menyimpulkan seperti ini,karena dinamika politik ini sangatlah dinamis yang pasti fenomena ini telah menjadi momentum kebangkitan Gerakan Non Ahok.