Jika dicermati ,sebetulnya bargaining posision Ahok sudahlah kuat.Bahkan partai Golkarpun sampai bersikukuh tetap mendukung Ahok meskipun Ahok melalui jalur Independen,sehingga sangat memungkinkan Ahok untuk mengendarai dua kendaraan politik sekaligus ibarat menyebrang pulau Ahok tetap bisa berkendaraan politik dengan mobilnya sementar mobilnya naik kapal fery,sangat komplit dan strategis jika dilakukan,politik dua kaki ini adalah sangat mujarab.
Namun akankah nilai plus ini tidak dimanfaatkan semestinya,dengan meninggalkan Teman Ahok pergi ke jalur partai tidak mustahil akan menjadi bumerang bagi Ahok,friksi yang ditimbulkan akibat ketidak konsitnsinya bagi kalangan Teman Ahok. Di sisi lain nilai plus ini justru diabaikan,malah melepaskan Teman Ahok yang semula menjadi tumpuannya,akan berdampak negatif misalnya dengan aksi pengembalian KTP dukungan dll. Meskipun semua masih dapat diatasi secara internal.
Namun dampak ekternal telah menjadi blunder politik bagi Ahok,sekarang dengan aksi politis inkonsistensinya Ahok ini sudah mengagenda menjadi pemicu semangat melawan Ahok untuk lebih power lagi menyatukan potensi penolakannya.Padahal sebelumnya para elit ini justru sedang gamang antara mendukung dan tidak kepada Ahok termasuk kalangan elit PDIP. Karena sangat tidak etis jika penolakan Ahok hanya alasan subyektif yang bisa membangkitkan sara.Namun berkat tindakannya sendiri ternyata Ahoh memang bukan tipe figur yang pantas untuk diunggulkan partai.Maka setidaknya fenomena ini layaknya aksi gali lubang sendiri yang dilakukan oleh Ahok.
Selain itu,langkah Ahok yang dinilai tidak konsisten ialah keikut sertaannya melakukan penolakan cuti bagi sang petahan jika mengikuti pilkada lagi. Hal ini sebetulnya lumrah jika aksi penolakan cuti ini dilakukan oleh orang lain. Namun akan menjadi aneh jika penolakan ini dilakukan juga oleh Ahok yang justru pada saat itu juga memprotes Foke yang saat itu tidak melakukan cutidan mengusulkan supaya melakukan cuti. Namun kini pada saat dirinya yang berkuasa justru malah menolak cuti.Inilah inkonsistensi yang dilakukan oleh Ahok.
Namun yang menarik, wacana ini sudah mulai terasa memanas setelah makin mengkristalnya gerakan anti Ahok dengan mengusung kandidat dari kalangan PDIP yakni Tri Risma Maharini ,( Bu Risma) walikota Surabaya. Kemunculan Risma bukan sekedar menjadi lawan Ahok yang sebanding namun juga menjadikan strategis politik untuk DKI pada pemilu yang akan datang.Apalagi mayoritas rakyat DKI yang mendukung Risma sudah semakin kuat karena bersatu dengan kekuatan aspirasi asal bukan Ahok.Dengan sikap Ahok yang inkonsisten ini sudah cukup menjadi alasan yang kuat untuk bergerak.
Mungkin berat jika tidak ada alasan yang logis untuk melakukan aksi lawan Ahok ini. Aksi inkonsistensi Ahok ini akan membuat gerakan ini akan menjdi lebih masuk akal. Semangat ini akan memayungi gerakan anti Ahok menjadi lebih bermakna tanpa tersandra unsur sara yang menjadi senjata para pendukung Ahok.
Sehingga fenomena gerakan keberatan Risma oleh masyarakat Surabaya ini yang sedianya menjadi faktor pemberat Risma untuk maju ke pilkada DKI akan mencair. Setelah munculnya aksi keberatan warga Surabaya yang berpandangan negatif tentang majunya Risma ke pilgub DKI yang mengemuka diantaranya masalah amanat, yang seolah olah dengan perginya Risma ke DKI berarti menyalahi amanat rakyat,sama juga dengan kepergian Jokowi dari Solo ke DKI bedanya kekuatan pemberat Jokowi waktu itu lebih murni sehingga tidak sempat mengemuka dan menjadi agenda politik . Namun sangat gegabah jika fenomena aksi keberatan ini adalah campur tangan pihak lawan politik yang bermain ,seperti yang menjadi sorotan seorang elit politik di Jawa Timur baru baru ini. Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar mencurigai penolakan pencalonan Tri Rismaharini dalam pilkada DKI sebagai manuver Ahok.“Masyarakat yang mana dulu, jangan-jangan orangnya Ahok,” kata Samanhudi kepada Tempo, Senin 8 Agustus 2016.
Namun semua itu adalah fenomena awal terlalu dini jika kita menyimpulkan seperti ini,karena dinamika politik ini sangatlah dinamis yang pasti fenomena ini telah menjadi momentum kebangkitan Gerakan Non Ahok.