Mohon tunggu...
Mohamad AB
Mohamad AB Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan

Menulis untuk bertutur kata...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Quo Vadis Reklamasi Pantai Jakarta?

2 Mei 2016   22:25 Diperbarui: 2 Mei 2016   22:28 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Proyek Raksasa Reklamasi  Jakarta (merdeka.com)

Suhu politik  Jakarta kembali menghangat  meskipun  musim banjir melanda kota,  namun tak juga mampu  mendinginkan suasana.Begitukah hebatnya pilkada DKI 2017 bagai genderang bertalu ,mengubah wacana  kita  menjadi subyektif,dan serba politis. Semua akan  dimaknai dengan  kacamata politik yang  berbeda beda .

Mungkin  ini  resiko  bagi sang petahana Basuki Cahaya Purnama  alias Ahok  yang pada  pilkada DKI 2017 ini, menurut istilah Syahrini, apapun  yang  diperbuatnya  akan “ Cethar membahana ke seluruh alam semesta” .  Termasuk Reklamasi diantaranya  telah  menjadi  isu yang menasional,  bahkan menutup isu  lain yang  mestinya sedang hangat misalnya semaraknya  pilkada DKI kali ini yang akan melibatkan para jenderal yang akan ikut bertarung merebutkan DKI 1,yang  tentunya akan menjadi  pesaing Ahok  juga.

Kalau kita menilik potensial problemnya  isu reklamasi sebenarnya sudah kadaluwarsa,karena sekarang ini  justru  tahapannya adalah operasional bukan  lagi berpolemik   mengotak - atik  kembali  dasar hukumnya, atau  masih  menganalisis  test  benefit ratio-nya , karena  semua sudah  dilakukan,semua sudah diatur dalam  perundang undangan yang ada. Bahkan  wacana  isu  bencana  pada proyek reklamasi yang  ditiupkan oleh  Wahana Lingkungan  Hidup ( Walhi)  pun, bisa dianggap  usang karena tak relevan lagi .  Simak  perdebatan   amdal juga pernah dilakukan pada kasus serupa oleh Menteri KLH Emil Salim  tempo dulu  dan hasilnya,proyek  Ancol ,Pantai Indah Kapuk   kini  tidak bermasalah, normal  adanya .

Soal  keberatan nelayan,kenapa dari dulu tidak  bersuara ? Kalaupun  sekarang  baru meributkan ,solusinya kini mendesak ,agar nelayan  sekitar  lokasi segera  diagendakan menjadi subyek yang harus  diperlakukan dengan  baik, diupayakan untuk memiliki rumah di blok reklamasi,mereka dikaryakan sebagai  pekerja untuk mengganti aktifitasnya sebagai  mata pencaharian nelayan sebelumnya, langkah bijak ini untuk membedakan era baru  adanya revolusi mental  aplikasinya bahwa  pembangunan proyek reklamasi  tetap peduli “ wong cilik “ bahkan  menempatkan pada posisi yang dimuliakan diuntungkan, mencontoh  seperti model Singapura ,tidak seperti yang  kerap terjadi  di ibukota  selama ini .

Sekarang ini  yang penting  ialah, langkah untuk  solusi kedepannya   karena menurut   Prinsipal  Li Realty, Ali Hanafia mengatakan "Pasalnya, reklamasi ini sudah dilakukan sejak tahun 1990-an. Jadi sangat tidak masuk akal kalau sampai sekarang yang dipermasalahkan  perizinan," tuntas Ali.Kompas.com, Selasa (19/4/2016). Menurut Ali "Yang dibutuhkan pasar adalah kepastian. Sementara selama ini, terkait reklamasi sangat tidak jelas. Terlalu banyak kepentingan yang bermain. Yang dirugikan akhirnya pengembang yang bersangkutan.. Ali mengaku, dengan kejadian "gonjang-ganjing" seperti saat ini, ada banyak investor dan calon konsumen yang menunda pembelian untuk produk-produk mereka di luar proyek reklamasi."Ini tidak sehat untuk bisnis properti. Selain terhadap kedua pengembang, kepercayaan pasar terhadap pemerintah juga makin turun.

Kalau  masalah  dasar hukum,kan sudah jelas,kenapa dibilang tumpang tindih? Ini tidak beralasan karena kalaupun  yang dipakai Keputusan presiden (Keppres) tahun 1995 , dan begitu  terbit  Peraturan presiden (Perpres) Nomor 122 tahun 2012 asas-asas hukum itu ada bahwa hukum yang baru secara otomatis akan menggantikan  peraturan lama kalau mengatur yang sama.Hal ini sudah  jelas,seperti yang dikemukakan oleh  Erwin kallo  Ketua Lembaga Hukum Properti Indonesia, Kompas (19/4/2016). Keppres yang dimaksud Erwin adalah Keppres nomor 52 tahun 1995. Isinya mengatur tentang kewenangan Gubernur DKI Jakarta dalam melakukan reklamasi dan aturan tentang tata ruang Pantai utara (Pantura) Jakarta.Tahun 2008, keluar Perpres nomor 54 tahun 2008 tentang Tata Ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) yang membatalkan tata ruang di Keppres nomor 52 tahun 1995.Namun kewenangan izin reklamasi Pantura Jakarta tetap ada di Gubernur DKI Jakarta.

Begitu  keluar Perpres 2008 itu  akan  secara otomatis membatalkan tata ruang 1995 tapi kewenangan tetap  pada  Gubernur DKI Jakarta. Lalu  pada 2012 keluar lagi Perpres nomor 122 tahun 2012 yang merupakan turunan dari UU pesisir 2007 yang mengatur bahwa kewenangan izin reklamasi untuk kawasan strategis nasional tertentu adalah dari Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP). Setelah itu muncul Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan yang merupakan turunan dari Perpres nomor 122 tahun 2012.

Setelah itu muncul Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan yang merupakan turunan dari Perpres nomor 122 tahun 2012.Permen itu mengatur izin lokasi reklamasi dengan luas di atas 25 hektar dan izin pelaksanaan reklamasi di atas 500 hektar membutuhkan rekomendasi dari MKP.Menurut Erwin, Nah  sejak saat itu  berarti ,Keppres tahun 1995 sudah tak berlaku lagi karena ketika Ahok mengeluarkan izin reklamasi pada 2014 dan 2015 itu  sudah ada Undang Undang (UU) baru.

Problemnya , Ahok memang mengeluarkan lima izin pada 2014 dan 2015  sementara  pada saat itu sudah berlaku UU nomor 1 tahun 2014.  Menurut Erwin  mestinya  Ahok,  harus ngikutin yang ini dong biar nggak tumpang tindih," tambahnya"  . Bagimanapun Reklamasi itu halal dan biasa saja, seluruh dunia juga melakukan reklamasi, tetapi di negara-negara lain reklamasi itu dilakukan oleh negara. Itu yang harus menjadi dasar kajiannya.Demikian pandangan  Erwin, namun jika ini dikaitkan dengan pelaksanaan sekarang ini mungkin bisa kita perlu pertajam masalahnya yakni:

Reklamasi harus  berprinsip pada UUD 45,dimana lebih mengutamakan kemanfaatan pada hajat hidup orang banyak . Sebagai bukti  era baru “ Revolusi mental ”,semua  pihak diminta senantiasa mengedepankan  sikap kejujuran selain itu lebih berpihak kepada “ wong cilik “ yang selama ini selalu dipinggirkan.

Menghindari  monopoli ,pemilikan  pulau reklamasi dikelola negara  secara profesional supaya tercipta prinsip keadilan yang nyata,seperti negara lain, Pengalaman masa lalu harus menjadi pelajaran.  Contoh mudah,di Singapura di tanah reklamasi  juga negara  tetap memberikan  hak dan keistimewaan fasilitas perumahan bagi para kaum lemah. Sehingga kapitalisasi  proyek tetap akan menguntungkan  orang kecil disekitarnya,bukan sebaliknya  yang selama ini sering terjadi.

Memperhatikan nasib nelayan  dan masyarakat sekitar baik tempat tinggal dan kehidupannya setelah adanya reklamasi karena pembangunan bukan untuk menyengsarakan rakyat. 

Perlu Keterbukaan  Managemen  Reklamasi, mencontoh Singapura.Keadilan dan akomodatif pemerintah Singapura yang selalu mendengar keluhan dari siapapun,Bagaimanapun keterbukaan juga salah satu kunci dari kondusifnya reklamasi dan redevelopment di Singapura. Segala informasi dapat diunduh atau dicari kanal informasinya melalui laman Urban Redevelopment Authority.

Bagaimanapun,keterbukaan  sangat penting supaya tidak ada pihak yang merasa dikhianati atau ditipu. Supaya reklamasi juga menjadi milik bersama, milik warga kota tidak sekadar dimonopoli oleh pengembang.

Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Kota dan Wilayah Bernardus Djonoputro mengatakan, keterbukaan penting untuk proyek besar seperti reklamasi 17 pulau. Keterbukaan bahkan harus dimulai ibaratnya sebelum penyusunan amdal bukan saat pengembang menjual produk dalam rencana tata ruang (masterplan) yang sudah selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun