Mohon tunggu...
Albert Magnus Dana Suherman
Albert Magnus Dana Suherman Mohon Tunggu... Konsultan - Albert M. D. Suherman

Belajar sambil bermain, bermain sambil belajar. Mempelajari sebuah permainan tanpa mempermainkan sebuah pelajaran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memetik Semangat Kebangsaan dari Mendiang Para Tokoh (2/2)

11 Juli 2018   04:29 Diperbarui: 11 Juli 2018   10:18 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya dan Ibu saya di makam Bung Karno, Blitar, Jawa Timur. (Dokumentasi pribadi)

Sambungan dari artikel sebelumnya, ziarah di makam Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Jayakarta pada bagian (1/2).

Bung Karno

Presiden Pertama Republik Indonesia ini namanya harum di dunia internasional. Bung Karno dikenal sebagai sosok revolusioner yang mampu membangkitkan semangat nasionalisme rakyat.

Kunjungan ke makam Bung Karno awalnya bukan menjadi rencana utama saya. Masih dalam suasana libur lebaran, akhir Juni 2018, ibu saya mengajak pergi ziarah ke Gua Maria Lourdes di Puhsarang, Kediri. Setelah membeli tiket kereta api, saya baru menyadari letak Kota Kediri yang tidak jauh dengan Blitar dan Jombang. Sedari itu timbullah rencana untuk ziarah juga ke makam Bung Karno di Blitar, dan makam Gus Dur di Jombang. Posisi tiga kota di Jawa Timur ini memang berdekatan, jarak dari Kediri ke Blitar kurang lebih 1 jam dengan mobil pribadi kearah selatan. Begitu juga jarak dari Kediri ke Jombang, hanya 1 jam dengan mobil pribadi kearah utara.

Setelah kunjung ziarah ke Gua Maria di Kediri, dengan mobil sewa, kami menuju ke Blitar. Cuaca hari itu cerah bahkan panas terik. Suasana Kota Blitar kurang lebih sama dengan kota-kota kecil di Pulau Jawa pada umumnya. Masih banyak pepohonan, masyarakatnya terlihat santai, tidak ada hiruk pikuk. Sampailah saya di komplek makam Sang Proklamator, pukul tiga sore. Dari pintu masuk, sudah terlihat banyak sekali peziarah yang datang. Kebanyakan datang dengan rombongan, belasan sampai puluhan orang dalam satu rombongan. Sebelum sampai ke makam, terdapat unit perpustakaan terpadu yang menyimpan koleksi lukisan, buku, dan benda-benda bersejarah milik Sang Proklamator. Didepan perpustakaan ada patung besar Soekarno sedang duduk diatas bangku, dengan tatapan mata tajam kedepan yang menjadi ikon dan menjadi objek foto. Kami bergegas kedalam. Pengelola mewajibkan para peziarah untuk membayar tiket apabila ingin berkunjung ke makam. Harga tiket masuk terbilang murah untuk komplek makam sebesar ini. Hanya tiga ribu rupiah untuk satu orang.

Setelah melepas alas kaki, kami naik ke pendopo yang dibuat lebih tinggi. Ditempat inilah orang-orang berziarah, berdoa, bershalawat. Saya dapat tempat persis disebelah kanan makam. Dibagian kepala makam, ada sebuah prasasti hitam dengan tulisan tinta emas, 'Disini Dimakamkan Bung Karno Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama Republik Indonesia' kemudian ditulis tanggal lahir dan wafat beliau, selanjutnya disambung, 'Penyambung Lidah Rakyat'. Didekatnya ada juga makam kedua orang tua Bung Karno. Segera saya letakan ditengah pusara, bunga mawar merah yang sempat saya beli didepan komplek makam tadi. Ditengah lantunan shalawat, saya membuat tanda salib, menutup mata, dan berdoa. Ditengah keramaian saya merinding.

Penuh syukur pada Tuhan karena bisa sampai untuk kunjung ziarah ke makam ini. Dalam panjatan doa yang penuh refleksi saya mengenang sikap dan tindakan Bung Karno. Berbekal pengetahuan yang saya ingat dari buku, suara dan video-video di internet, saya membayangkan betapa hebatnya sosok yang terkubur dalam pusara ini. Terbayang seseorang dengan jas putih, dan peci hitam, memegang tongkat sedang berpidato berapi-api diatas podium. Ketika sosok itu berpidato, semua yang mendengarya terdiam bak tersihir oleh semangatnya. Sosok ini mampu menggetarkan hati setiap orang yang bertemu dan mendengar suaranya. Sosok ini mampu menggerakan masa dalam jumlah yang amat banyak, untuk mencintai tanah airnya. Untuk bangkit dari ketertindasan. Untuk sadar dan bersatu sebagai rakyat Indonesia. Untuk membawa rakyat Indonesia terbebas dari penjajahan dan menyongsong kemerdekaan! Hingga untuk kesekian kalinya, jika Tuhan mengabulkan permohonan ini, biarlah beliau memperoleh hidup kekal di surga. Beberapa hal penting yang bisa dipetik dari riwayat hidup beliau adalah jiwa kepemimpinan dan keberpihakannya pada rakyat kecil. Menjadi seorang pemimpin dipandang sebagai orang besar. Orang besar bisa diartikan terkenal, berpengaruh, mendominasi, dan berelasi dalam lingkaran orang-orang besar juga. Tetapi Soekarno justru menunjukan bahwa meski ia dikelilingi orang-orang besar, ia tetap berpihak pada kaum kecil. Kaum dimana ia tumbuh dan berkembang. Kaum yang menjadikan dirinya besar. Dengan marhaenismenya ia selalu dikenang dalam ingatan rakyatnya. Hingga saat ini.

Gus Dur

Setelah mengunjungi makam Bung Karno di Blitar, kami langsung menuju Jombang melalui jalan alternatif melewati Pare, Kediri yang terkenal dengan kampung inggrisnya. Dua jam lebih perjalanan ini ditempuh, akhirnya tiba juga di daerah Cukir, dengan suasana kampung santri yang khas. Sepanjang jalan kampung, saya melihat kampus Universitas Hasyim Asyari, beberapa madrasah, masjid, dan pondok pesantren. Mobil kami parkir didepan Masjid Ponpes Tebuireng. Tebuireng adalah nama dari dusun setempat yang juga dijadikan nama pesantren ini, artinya kerbau hitam. Dulunya Tebuireng dikenal sebagai tempat perjudian, prostitusi, sarang perampok, namun semenjak kedatangan K. H. Hasyim Asy'ari dan santrinya, perlahan pola hidup masyarakat berubah semakin baik, hingga akhirnya pola hidup negatif terkikis habis.

Kami tiba menjelang maghrib. Ternyata makam Gus Dur yang letaknya didalam komplek pesantren tutup sejenak bagi peziarah, dan baru dibuka kembali pukul 20.00. Akhirnya kami istirahat, sembari menunggu supir menunaikan sholat maghrib. Setelah itu kami makan malam, dan kembali lagi ke parkiran mobil pukul 19.00.

Saya di depan pintu masuk utama Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. (Dokumentasi pribadi)
Saya di depan pintu masuk utama Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. (Dokumentasi pribadi)
Kami berjalan kaki menuju Pondok Pesantren Tebuireng. Jalan dusun dipenuhi dengan pedagang oleh-oleh seperti tahu takwa dan keripik gadung, dan jajanan ringan yang selalu ada di Jawa Timur, pentol namanya. Sama seperti para peziarah lain, kami berdiri dan menunggu pagar pesantren dibuka. Meski satu jam menunggu, rasanya tidak bosan. Saya sangat menikmati keramaian ini. Didepan saya berdiri kokoh sebuah pesantren dengan dinding berlapis keramik. Dengan tulisan besar diatasnya 'Pondok Pesantren Tebuireng 26 Rabiul Awal 1899 M, Pintu Utama Pesarean Keluarga Besar Pesantren Tebuireng'. Terasa sekali antusiasme para peziarah yang menunggu. Saya tebak para peziarah ini datang dari berbagai tempat. Sejauh yang saya tangkap, mereka datang dari Banten atau Jawa Barat karena mereka berbicara dengan Bahasa Sunda. Adalagi yang berbahasa Madura, yang datang berbondong-bondong dengan bus dan mobil ELF. Akhirnya seorang dengan jaket loreng khas Banser dengan motor bebeknya, membukakan pagar untuk para peziarah. Cepat-cepat kami masuk ke pelataran pesantren. Masing-masing ingin berada di posisi paling depan. Lampu pelataran dinyalakan, terlihat makin megah tampak depan pesantren ini. Makin terasa antusiasme para peziarah. Akhirnya tepat pukul 20.00 gerbang utama dibuka. Kami semua masuk melalui koridor utama pesantren, terlihat ruangan-ruangan kegiatan para santri. Nama-nama ruangan ditulis menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab. Menyusuri koridor kira-kira 50 meter, sampailah saya pada ruangan terbuka dengan area makam yang dikelilingi pagar, didepannya ada pendopo yang sepertinya dibangun khusus untuk para peziarah. Tidak sampai 5 menit, pendopo langsung dipenuhi peziarah. 

Didalam pagar area makam terdapat makam K. H. Hasyim Asy'ari, seorang tokoh pendiri Nahdlatul Ulama dan cucunya yang juga presiden RI ke-4 yaitu K. H. Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur, kemudian sejumlah makam keluarga dan para kiai. Sekali lagi saya merinding ditengah keramaian. Bukan merinding ketakutan, saya merasa penuh hormat menghadap makam para tokoh besar yang semasa hidupnya mengabdi untuk masyarakat. K. H. Hasyim Asy'ari selain berdakwah beliau juga ikut berjuang melawan penjajah. Hingga saat ini kita masih memperingati hari pahlawan tiap tanggal 10 November. Kita mesti ingat juga kisah kiai kharismatik ini. Kala itu beliau membuat fatwa, sebagai resolusi jihad, kepada seluruh umat Islam yang berada kira-kira radius 94 kilometer dari Surabaya untuk wajib ikut memerangi tentara Inggris. Rakyat berbondong-bondong menuju Surabaya dengan senjata seadanya. Pertempuran habis-habisan itu akhirnya berbuah manis. Tentara Inggris berhasil dipukul mundur. Hingga akhirnya beliau wafat di Pesantren Tebuireng karena pendarahan di otak dan meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan para santrinya.

Lain cerita dengan Gus Dur (Panggilan 'gus' dalam tradisi nahdliyin biasanya disematkan pada anak dari kiai pengasuh pesantren, yang memang disiapkan untuk menjadi pengasuh para santri, meski nantinya akan bergelar kiai juga) yang berjuang mengawali era reformasi. Sepak terjangnya di dunia pendidikan ketika menjadi guru dan kepala sekolah di sebuah madrasah membuat ia menjadi idola murid-muridnya. Gus Dur mendapat kesempatan untuk kuliah di Universitas Al-Azhar di Cairo, Mesir, dan pulang kembali ke Jombang untuk mengembangkan pesantrennya. Namanya semakin melejit dikalangan komunitas muslim Jawa Timur. Hingga akhirnya beliau dikenal secara nasional sebagai seorang tokoh muslim moderat.

Pada 1999 dalam sidang MPR, beliau terpilih menjadi Presiden RI ke-4. Meski kepemimpinannya hanya berjalan 3 tahun, namun dalam praktiknya beliau telah membuat banyak perubahan mendasar di negeri ini terutama terkait kesadaran pluralitas. Ya, Gus Dur dikenal rakyat Indonesia sebagai pejuang hak-hak kaum minoritas, terutama terkait kebijakannya untuk mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam aturan itu, Presiden Soeharto menginstruksikan agar etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan adat istiadat tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga saja. Semenjak Inpres itu dicabut oleh Gus Dur, hari raya Imlek dilakukan secara meriah oleh etnis Tionghoa. Kemudian menambah agama Konghucu kedalam daftar agama yang diakui negara. Atas kebijakan dan pemikirannya yang terbuka beliau dijuluki sebagai 'Bapak Tionghoa Indonesia'. Gus Dur banyak sekali memperoleh penghargaan dari dalam dan luar negri karena dipandang sebagai pejuang HAM. Gelar doktor kehormatan banyak ia peroleh dari berbagai universitas di luar negeri.

Dibatasi pagar, saya duduk bersila persis didepan makam Gus Dur. Lantunan shalawat yang semula terdengar keras dari belakang, semakin lama semakin sayup karena saya larut dalam sebuah refleksi. Sungguh orang yang dikubur didepan saya telah mengajarkan bangsa ini arti pluralisme, bahwa negeri ini diisi oleh kemajemukan yang luar biasa. Bahwa kita tidak boleh menjadikan perbedaan sebagai halangan, melainkan sebuah rahmat. Bahwa bangsa ini akan semakin beradab ketika masyarakatnya mampu menghargai perbedaan. Bahwa ketika masyarakatnya mampu menghargai perbedaan, niscaya cita-cita masyarakat yang demokratis perlahan terwujud. Pada prasasti makam beliau ada sebuah tulisan, 'Disini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan' yang tertulis dalam empat bahasa, Bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan Mandarin. Prasasti itu mau mengambarkan sosok Gus Dur yang universal, yang dapat menghargai perbedaan, dan dapat diterima semua kalangan. Untuk kedua kalinya dihari yang sama, saya berdoa agar Sang Guru Bangsa diberi tempat yang elok di surga, dan gagasannya yang bijaksana mendapat porsi di hati rakyat Indonesia.

Bahwa bangsa ini akan semakin beradab ketika masyarakatnya mampu menghargai perbedaan. Bahwa ketika masyarakatnya mampu menghargai perbedaan, niscaya cita-cita masyarakat yang demokratis perlahan terwujud.

Hampir satu jam saya larut dalam renungan dan doa. Suasana disekitar makam semakin ramai oleh peziarah. Saya bangkit dan berdiri, kemudian menunduk dan berpamitan dalam hati, "Kulo pamit nggih Mbah Yai, Mbah Gus." Berjalan keluar pondok pesantren melalui koridor yang sama, saya mampir dulu ke sebuah toko yang dikelola para santri. Toko ini menjual cinderamata yang merupakan hasil karya tangan anak-anak santri. Kaos, jaket, tas, gantungan kunci, dan lain-lain hampir semua bergambar Gus Dur. Setelah sempatkan membeli kaos, saya berjalan santai keluar melalui koridor pesantren. Saya begitu menikmati suasana pondok ini, meski sayang sekali saya tidak bisa melihat langsung kegiatan para santri disini. "Kok rasanya betah ya?", suasananya tidak asing dan akrab sekali dengan saya, padahal ini kali pertama saya berkunjung. Maklum, saya dulu juga pernah mondok di Probolinggo walau hanya tiga tahun. Jadi ada perasaan akrab dan rindu juga ketika merasakan suasana yang kurang lebih sama.

Refleksi Semangat Kebangsaan

Menjawab pertanyaan seorang teman dari kolom chat WhatsApp hari itu, saya terpancing untuk berpikir kembali, mengenai apa yang saya cari dari perjalanan ziarah itu. Dalam tiap-tiap kunjungan, saya selalu sempatkan merenung dan berdoa. Dalam tiap renungan, kepala saya seperti flashback pada era ketika para tokoh tersebut masih hidup. Saya membiarkan pikiran saya terbuai dalam kisah-kisah kolosal yang menampilkan para tokoh tersebut menjadi aktor utama. Dalam kisahnya, para tokoh tersebut memberikan contoh yang dapat dijadikan sebuah teladan hidup. Memegang teguh nilai-nilai luhur untuk diterapkan dan disebarkan ke masyarakat. Merespon situasi dengan matang dan rasional demi hajat hidup orang banyak. Terkadang saya merasa bahwa sikap dan tindak-tanduk mereka terbilang ekstrim. Mengambil sebuah keputusan yang berat, lagi penuh resiko. Jelas penuh resiko. Untuk mempertahankan harga diri bangsa mereka rela mengerahkan seluruh kekuatan dirinya untuk bertarung melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan hingga mengorbankan nyawanya. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang banyak. Itulah yang kemudian menjadi sebuah titik penting dalam refleksi ini. Belajar mengedepankan kepentingan bersama, dan mengesampingkan kepentingan pribadi.

Sebagai seorang Tuanku Imam Bonjol, bisa saja beliau duduk santai menikmati hembusan mesra angin pegunungan Bukit Barisan. Toh, sebagai seorang tokoh yang dipercaya masyarakat, beliau bisa menjual rakyatnya untuk bekerja pada Belanda, kemudian bagi hasil. Ketimbang harus repot-repot mengumpulkan masa, melawan angkat senjata, dan sengsara dalam pembuangan. Sama saja dengan Bung Karno, sebagai anak bangsawan yang memperoleh pendidikan tinggi, akses ke dunia luar mudah sekali beliau dapatkan. Membaca situasi politik, mengemas barang-barang, dan mengajak keluarganya untuk hijrah ke Eropa misalnya. Tidak sulit kan? Ketimbang harus menjadi buronan musuh, ditawan dalam pembuangan, dan tertatih bertahan hidup. Begitu juga dengan Pangeran Jayakarta, Gus Dur, dan banyak pahlawan lain yang mungkin namanya tidak dikenal. Mereka pernah berada dalam persimpangan. Tetapi akhirnya jalan hidup yang mereka ambil adalah jalan yang berat untuk memperjuangkan kepentingan hidup orang banyak.

Teladan hidup berikutnya yang bisa kita petik adalah rasa kasih, rasa memiliki, dan merasa menjadi bagian dari masyarakat. Semua itu mereka torehkan melalui semangat kebangsaan. Semangat yang sebetulnya menjadi hak sekaligus menjadi kewajiban yang bagi setiap insan. Setiap insan tanpa terkecuali. Pengejawantahan sebuah semangat kebangsaan adalah bukan dengan menjadi nasionalis buta yang hanya meninggikan negara atau golongannya sendiri, melainkan melalui nilai-nilai positif yang sering kita anggap sepele. Menerima perbedaan misalnya. Sikap toleransi yang dapat dipelajari dari Gus Dur merupakan bentuk dari penerimaan terhadap perbedaan, bentuk dari kesadaran bahwa setiap manusia memiliki hak asasi yang sama, dan bahkan bentuk dari memuliakan Allah. Sebab seperti sering dikutip berbagai media, Gus Dur pernah berkata, "... dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk, karena begitulah Allah." Dengan ini Gus Dur mengajak bangsanya untuk berperilaku sebagaimana Allah mengasihi makhluk-Nya. Ini juga yang menjadi titik penting dalam refleksi ini. Menerima perbedaan sebagai bentuk dari semangat kebangsaan.

Ini juga yang menjadi titik penting dalam refleksi ini. Menerima perbedaan sebagai bentuk dari semangat kebangsaan.

Kemudian yang tak kalah pentingnya, bagaimana cara kita membangkitkan semangat kebangsaan? Sedangkan kita tidak dalam situasi perang, sedangkan kita dalam kondisi yang cenderung adem ayem. Dulu ketika masih sekolah dasar, kita masih merasakan upacara bendera tiap hari Senin. Begitu terus hingga SMA setidaknya sebulan sekali dengan lantang kita menyanyikan lagu-lagu nasional dan menghormat pada bendera merah putih. Namun ketika duduk di bangku kuliah, apalagi didunia kerja, apa kita masih dapat kesempatan untuk hormat pada bendera merah putih? Apa lagu-lagu nasional masih sempat kita nyanyikan? Rasa-rasanya jarang, bahkan mungkin tidak sama sekali. Beruntung teman-teman guru yang masih bisa ikut upacara bendera di sekolah. Bagaimana yang bukan guru? Mungkin melihat bendera merah putih dikibarkan hanya sekali dalam setahun, itupun di istana negara ketika peringatan hari kemerdekaan, dan hanya lewat siaran televisi pula. Ah, kalau saya pribadi, saya malah fokus pada pasukan pengibar bendera yang terampil membuat barisan yang elok. Apalagi petugas pembawa baki yang selalu tampil cantik dan viral di media sosial sepanjang bulan Agustus. Bukannya fokus pada penghormatan bendera, atau mengenang jasa para pahlawan.

Agaknya untuk membangkitkan semangat kebangsaan kita terbiasa 'disuap' oleh kegiatan-kegiatan kenegaraan. Padahal, rasa nasionalisme dan semangat kebangsaan bisa kita tumbuhkan dalam diri tanpa harus minta disuap oleh kegiatan-kegiatan tersebut. Salah satu cara saya adalah melalui pengalaman berkunjung ziarah ke makam para tokoh negarawan. Dengan begitu ingatan-ingatan saya tentang para pesohor akan bangkit kembali, selain menjadi pilihan wisata reliji tentunya. Tak hanya itu, hal-hal kecil seperti belajar membuang sampah pada tempatnya, ikut peduli pada lingkungan hidup, dan masih banyak cara positif lain yang juga akan membangkitkan semangat kebangsaan kita.

Terakhir, jangan lagi menunggu disuap! Semangat kebangsaan dapat disemai dan dipupuk sehingga tumbuh dan berkembang dalam diri! Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun