Pangeran Jayakarta
Kali kedua, dibulan dan tahun yang sama, saya kunjung ziarah ke makam Pangeran Ahmad Djaketra atau Pangeran Jayakarta. Konon, nama Kota Jakarta diambil dari nama beliau. Berbeda dengan kunjungan saya ke makam Imam Bonjol, kunjungan saya ke tempat ini sudah saya rencanakan sejak lama. Lokasi makamnya mudah sekali ditemukan. Pada barisan sebelah utara Jalan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur terdapat sebuah masjid tua dengan gapura khas zaman kerajaan, namanya Majid Jami Assalafiyah, posisinya bersebrangan dengan PAM Jaya.
Jalan Jatinegara Kaum adalah jalan yang setiap hari saya lewati semasa kuliah di Rawamangun. Bukan jalan besar utama, tapi sangat menolong saya demi menghindar dari banalnya macet Jalan Pemuda pagi hari. Terlebih jalan ini masih banyak ditumbuhi pohon-pohon besar sehingga perjalanan terasa lebih syahdu. Tiap kali melewati jalan ini, saya selalu menengok kearah komplek makam yang ada disebelah Masjid. Bertanya-tanya dalam hati, saya ingin tahu, siapa gerangan yang dimakamkan disana sehingga cukup banyak kendaraan parkir untuk berziarah. Ditambah lagi suasana komplek makam yang kalau dilihat sekilas dari luar punya kesan keramat. Pertanyaan itu bertahun-tahun hanya mengendap saja didalam benak. Sampai suatu waktu saya sadar, setiap menjelang ulang tahun Kota Jakarta, jalan ini ditutup selama tiga hari. Kemudian lewat sebuah liputan di televisi, saya akhirnya tahu bahwa itu adalah komplek makam Pangeran Jayakarta dan para pengikutnya. Sejak itupun wacana hanya sekedar wacana, berhubung kesibukan mendera, saya hanya bisa lewat dan mencuri pandangan dari atas sepeda motor.
Sampai suatu saat, usai bimbingan skripsi di kampus, karena tidak ada kesibukan lain saya akhirnya memutuskan untuk mampir ziarah dulu. Arloji masih menunjukan pukul 10.00, ketika saya melangkah kedalam komplek makam. Kesan pertama saya memasuki komplek makam terasa mencekam. Bagaimana tidak, beberapa pohon beringin besar berdiri kokoh, dengan akar gantung yang menjuntai panjang, rimbun daunnya ikut menghalangi sinar matahari yang masuk, ditambah cuaca yang agak mendung sejak pagi. Saya berani taksir usia pohon sudah mencapai ratusan tahun. Dibawahnya terdapat puluhan makam dengan batu nisan yang sudah berlumut tanpa nama. Kemudian nanti saya tahu itu adalah makam para pengikut setia Pangeran Jayakarta. Saya menoleh kiri-kanan, berharap bertemu peziarah lain sehingga saya tidak sendirian. Tiba-tiba ada seorang bapak tua dengan badan kurus rambut panjang, dengan sebatang rokok di bibirnya, datang pada saya. Saya langsung minta ijin untuk berziarah. Setelah beliau mempersilahkan, saya melepas sepatu dan masuk kedalam pendopo makam seorang diri. Didalam pendopo makam saya tidak menemukan nisan dengan nama 'Jayakarta'. Saya duduk didekat makam sambil memperhatikan isi ruangan. Aroma wewangian yang tajam menyeruak dan membuat saya agak merinding. Sumber aroma tajam ini saya dapatkan, bunga sedap malam dan asap dari dupa yang dibakar pada sebuah tungku kecil di pojok ruangan. Terdapat beberapa makam didalam pendopo, namun ada satu makam yang dipayungi kelambu putih. Sekali lagi mata saya menyapu batu nisan setiap makam yang ada didalam pendopo, belum juga saya temui makam Pangeran Jayakarta. Saya keluar pendopo.
Sembari memakai kembali sepatu saya didepan pintu pendopo, bapak tadi memperkenalkan dirinya sebagai orang yang dipercaya Pemprov DKI Jakarta untuk menjaga komplek makam ini. Saya berbincang dengan beliau dan barulah saya tahu didalam pendopo tadi bukan makam Pangeran Jayakarta! Kaget saya. Lantas makam siapa? Ternyata itu adalah makam Pangeran Sanghiyang Syarif, keluarga Pangeran Jayakarta (cucu dari Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten) yang adalah keturunan Sunan Gunung Jati. Makam Pangeran Jayakarta ada didalam komplek Masjid Assalafiyah, persis disebelah komplek makam ini.
Setelah berbincang panjang lebar selama satu jam, kemudian saya jalan kaki ke Masjid. Masuk Masjid, sudah cukup banyak orang bersiap ibadah sholat Jumat. Lewat pintu samping saya langsung menuju ke makam. Disini barulah saya bertemu dengan belasan peziarah lain yang sedang bertahlil dihadapan makam dengan nisan bertuliskan 'Pangeran Ahmad Djaketra'. Kebanyakan peziarah mengenakan baju koko dengan kopiah hitam, sebagian lagi mengenakan gamis , hanya saya yang memakai kaos berlapis jaket rompi, celana jeans, dan menggendong tas. Saya mengucap salam pelan, mengambil posisi paling jauh dari makam, karena merasa berpakaian tidak pantas. Saya merenung dan memanjatkan doa. Mengingat kembali kontribusi besar beliau di pesisir utara Sunda Kelapa.
Menilik kisah Pangeran Jayakarta, beberapa hal yang menjadi teladan adalah jiwa kepemimpinan dan ketangkasan dalam mengatur sebuah wilayah, mengatur perdagangan, dan semangat kebangsaannya. Menyadari bahwa bangsanya dijajah, ia memilih untuk melawan. Ya melawan! Bukan tunduk seperti pecundang dalam buaian tipu muslihat. Semoga beliau mendapat tempat terindah di sisi-Nya.
Berikutnya kunjungan ziarah ke makam Bung Karno, Gus Dur, dan Refleksi Semangat Kebangsaan pada bagian ke (2/2).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H