Awalnya belum ada niatan untuk saya tuliskan tentang perjalanan ziarah saya ke makam para pesohor negeri. Tetapi dalam prosesnya setelah saya mengunggah foto waktu ziarah di makam Bung Karno di kolom status WhatsApp, seorang teman bertanya pada saya melalui kolom obrolan, "Apa yang lu cari dari perjalanan itu? Kayaknya standar, sejarah!". Pertanyaan ini tendensius mengarah pada diskusi yang panjang, tapi karena sibuknya saya dengan Google Map, sekenanya saya jawab, "Semangat kebangsaan Bro, betapa pentingnya, tapi sering dilupakan." Kemudian teman saya bertanya lagi, "Semangat kebangsaan itu gimana Bro?". Tak lagi saya jawab, karena niscaya jawabannya akan membuka sebuah diskusi panjang. Rasanya belum mau berdiskusi, apalagi lewat kolom obrolan. Ya, saya termasuk orang yang malas berdiskusi panjang lewat kolom obrolan, kecuali untuk mengambil keputusan genting.
Diingat-ingat sudah kali keempat, saya berkesempatan datang berkunjung ke makam pesohor negri. Pengalaman reflektif ini akhirnya saya coba gelar lewat tulisan ini.
Tuanku Imam Bonjol
Kali pertama, pada awal Oktober 2016 saya berkesempatan mengikuti ajang temu Orang Muda Katolik se-Indonesia (IYD 2016) di Manado, Sulawesi Utara. Meskipun statusnya adalah peserta 'nebeng', saya menggunakan kesempatan ini untuk belajar banyak hal. Menyaksikan pertunjukan musik dan tarian tradisional seluruh nusantara, belajar alat musik kolintang, diskusi santai dengan para aktivis muda gereja Katolik, dialog dengan seorang pelaku usaha sukses, dan yang tak mungkin saya lewatkan adalah kesempatan ziarah ke makam Tuanku Imam Bonjol.
Dijemput di Bandara Sam Ratulangi, saya disambut oleh tim transportasi untuk langsung menuju ke salah satu lokasi acara di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa. Ketika mobil menikung sampai di pintu masuk desa, ada hal yang menurut saya agak aneh. Gapura masuk ke Desa Lotta dibuat dengan gaya arsitektur rumah gadang, ciri khas Minangkabau. Sedang di sebelah kanan gapura berdiri tegap patung Tuanku Imam Bonjol. Mobil terus melaju kedalam desa, namun kepala saya masih terpaku menoleh ke gapura dan patung tadi. Sontak saya bertanya pada Freya, salah satu tim penjemput, "Bang, kok ada patung Imam Bonjol didepan tadi?". Freya menjawab, "Iya Bang, didalam nanti ada makam Imam Bonjol, 50 meter kira-kira dari wisma tempat abang menginap." Saya tak menanggapi jawaban Freya meski dalam hati timbul rencana untuk menyambangi.
Sekilas penglihatan saya, masyarakat Desa Lotta sudah cukup makmur. Kebanyakan rumah-rumah disana adalah bangunan permanen dengan mobil terparkir di garasi rumah. Hampir setiap rumah memiliki kebun kecil di terasnya, ada yang menanam cabai, pepaya, dan lain-lain. Mayoritas penduduk disini beragama Kristen, terlihat dari kebiasaan warga memasang rangkaian korona hijau dipintu-pintu rumah untuk menyambut hari raya Natal. Meski Natal masih 3 bulan lagi, namun menurut pengakuan warga setempat, orang Lotta sudah membuat suasana Natal sejak jauh-jauh hari. Disini mudah sekali ditemukan gereja, kapel, biara, dan sekolah Katolik. Relijius sekali suasananya. Mirip dengan kampung-kampung pesantren di Jawa Timur.
Setelah mandi dan istirahat sejenak di wisma, menggunakan celana jeans panjang dan kaos polo hitam saya berjalan kaki menuju makam Tuanku Imam Bonjol. Kalau dihitung-hitung jarak dari wisma tidak sampai 50 meter, tapi karena jalan yang menanjak, membuat saya cukup berkeringat. Beruntung udaranya segar, jadi berkeringatpun rasanya tetap sejuk. Tiba juga saya pada sebuah komplek makam yang atap bangunannya kental sekali gaya arsitektur Minang. Ditempat inilah Tuanku Imam Bonjol seorang Pahlawan Nasional dimakamkan.
Singkat kisah, Tuanku Imam Bonjol adalah tokoh ulama dari Minangkabau dengan nama kecil Muhammad Syahab atau sering disebut Peto Syarif. Ayahnya adalah alim ulama yang dihormati ditanah kelahirannya, Bonjol. Sebagai putra dari seorang ulama, beliau terdidik di lingkungan yang Islami, menempuh pendidikan di Aceh, kemudian kembali lagi ke tanah kelahirannya. Mengingat kisah beliau, saya teringat kisah Perang Paderi. Kisah panjang perang saudara di tanah Minang pada tahun 1803-1838, antara kaum agamawan (paderi) dengan kaum adat yang sama-sama teguh memperjuangkan nilai. Meski akhirnya kedua kaum sepakat berdamai dan bersatu untuk melawan pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial begitu kewalahan dalam menggempur rakyat Minang. Hingga akhirnya, pemerintah kolonial mengundang Tuanku Imam Bonjol untuk berunding. Namun dalam perundingannya, beliau malah ditangkap, dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, kemudian ke Ambon, Maluku hingga akhirnya dibawa ke Desa Lotta, Sulawesi Utara dan wafat di desa kecil ini.
Disebelah nisan Imam Bonjol, saya agak kikuk. Bingung harus melakukan apa selain melihat ornamen-ornamen yang dipasang di dinding keramik. Ini kali pertama saya ziarah ke makam seorang tokoh besar yang dikenal sebagai pendakwah, sekaligus pejuang kemerdekaan. Akhirnya saya putuskan untuk duduk dan merenung, kemudian berdoa. Dalam renung dan doa saya mengingat-ingat kembali jasa beliau untuk bangsa, tangguh dalam mempertahankan nilai relijiusitas, jerih payah dalam mengusir pemerintah kolonial, sampai harus menghabiskan sisa hidupnya di pengasingan. Tak lupa berterima kasih atas jasa beliau, kemudian saya memohon kepada Tuhan agar beliau diberi tempat di surga dan selalu membangkitkan semangat kebangsaan dalam diri kami yang masih berjuang di dunia, untuk senantiasa tegar dalam mempertahankan nilai-nilai positif di masyarakat.
Dalam renung dan doa saya mengingat-ingat kembali jasa beliau untuk bangsa, tangguh dalam mempertahankan nilai relijiusitas, jerih payah dalam mengusir pemerintah kolonial, sampai harus menghabiskan sisa hidupnya di pengasingan.
Pada hari kedua saya di Lotta, saya bertemu dengan seorang Uskup. Dalam hierarki gereja Katolik, uskup adalah pemimpin umat Katolik tertinggi dalam cakupan wilayah tertentu. Kedudukannya ditunjuk langsung oleh Sri Paus, pemimpin umat Katolik sedunia. Disela perbincangan hangat dengan saya dan rombongan, Bapak Uskup bertanya, "Oh ya, sudah sowan permisi dengan Imam Bonjolkah?". Sontak percaya diri saya menjawab, "Sudah Monsinyur, kemarin." "Ya, ya, harus mohon ijin dulu.", sembari tersenyum Bapak Uskup mengiyakan.
Pangeran Jayakarta
Kali kedua, dibulan dan tahun yang sama, saya kunjung ziarah ke makam Pangeran Ahmad Djaketra atau Pangeran Jayakarta. Konon, nama Kota Jakarta diambil dari nama beliau. Berbeda dengan kunjungan saya ke makam Imam Bonjol, kunjungan saya ke tempat ini sudah saya rencanakan sejak lama. Lokasi makamnya mudah sekali ditemukan. Pada barisan sebelah utara Jalan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur terdapat sebuah masjid tua dengan gapura khas zaman kerajaan, namanya Majid Jami Assalafiyah, posisinya bersebrangan dengan PAM Jaya.
Jalan Jatinegara Kaum adalah jalan yang setiap hari saya lewati semasa kuliah di Rawamangun. Bukan jalan besar utama, tapi sangat menolong saya demi menghindar dari banalnya macet Jalan Pemuda pagi hari. Terlebih jalan ini masih banyak ditumbuhi pohon-pohon besar sehingga perjalanan terasa lebih syahdu. Tiap kali melewati jalan ini, saya selalu menengok kearah komplek makam yang ada disebelah Masjid. Bertanya-tanya dalam hati, saya ingin tahu, siapa gerangan yang dimakamkan disana sehingga cukup banyak kendaraan parkir untuk berziarah. Ditambah lagi suasana komplek makam yang kalau dilihat sekilas dari luar punya kesan keramat. Pertanyaan itu bertahun-tahun hanya mengendap saja didalam benak. Sampai suatu waktu saya sadar, setiap menjelang ulang tahun Kota Jakarta, jalan ini ditutup selama tiga hari. Kemudian lewat sebuah liputan di televisi, saya akhirnya tahu bahwa itu adalah komplek makam Pangeran Jayakarta dan para pengikutnya. Sejak itupun wacana hanya sekedar wacana, berhubung kesibukan mendera, saya hanya bisa lewat dan mencuri pandangan dari atas sepeda motor.
Sampai suatu saat, usai bimbingan skripsi di kampus, karena tidak ada kesibukan lain saya akhirnya memutuskan untuk mampir ziarah dulu. Arloji masih menunjukan pukul 10.00, ketika saya melangkah kedalam komplek makam. Kesan pertama saya memasuki komplek makam terasa mencekam. Bagaimana tidak, beberapa pohon beringin besar berdiri kokoh, dengan akar gantung yang menjuntai panjang, rimbun daunnya ikut menghalangi sinar matahari yang masuk, ditambah cuaca yang agak mendung sejak pagi. Saya berani taksir usia pohon sudah mencapai ratusan tahun. Dibawahnya terdapat puluhan makam dengan batu nisan yang sudah berlumut tanpa nama. Kemudian nanti saya tahu itu adalah makam para pengikut setia Pangeran Jayakarta. Saya menoleh kiri-kanan, berharap bertemu peziarah lain sehingga saya tidak sendirian. Tiba-tiba ada seorang bapak tua dengan badan kurus rambut panjang, dengan sebatang rokok di bibirnya, datang pada saya. Saya langsung minta ijin untuk berziarah. Setelah beliau mempersilahkan, saya melepas sepatu dan masuk kedalam pendopo makam seorang diri. Didalam pendopo makam saya tidak menemukan nisan dengan nama 'Jayakarta'. Saya duduk didekat makam sambil memperhatikan isi ruangan. Aroma wewangian yang tajam menyeruak dan membuat saya agak merinding. Sumber aroma tajam ini saya dapatkan, bunga sedap malam dan asap dari dupa yang dibakar pada sebuah tungku kecil di pojok ruangan. Terdapat beberapa makam didalam pendopo, namun ada satu makam yang dipayungi kelambu putih. Sekali lagi mata saya menyapu batu nisan setiap makam yang ada didalam pendopo, belum juga saya temui makam Pangeran Jayakarta. Saya keluar pendopo.
Sembari memakai kembali sepatu saya didepan pintu pendopo, bapak tadi memperkenalkan dirinya sebagai orang yang dipercaya Pemprov DKI Jakarta untuk menjaga komplek makam ini. Saya berbincang dengan beliau dan barulah saya tahu didalam pendopo tadi bukan makam Pangeran Jayakarta! Kaget saya. Lantas makam siapa? Ternyata itu adalah makam Pangeran Sanghiyang Syarif, keluarga Pangeran Jayakarta (cucu dari Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten) yang adalah keturunan Sunan Gunung Jati. Makam Pangeran Jayakarta ada didalam komplek Masjid Assalafiyah, persis disebelah komplek makam ini.
Setelah berbincang panjang lebar selama satu jam, kemudian saya jalan kaki ke Masjid. Masuk Masjid, sudah cukup banyak orang bersiap ibadah sholat Jumat. Lewat pintu samping saya langsung menuju ke makam. Disini barulah saya bertemu dengan belasan peziarah lain yang sedang bertahlil dihadapan makam dengan nisan bertuliskan 'Pangeran Ahmad Djaketra'. Kebanyakan peziarah mengenakan baju koko dengan kopiah hitam, sebagian lagi mengenakan gamis , hanya saya yang memakai kaos berlapis jaket rompi, celana jeans, dan menggendong tas. Saya mengucap salam pelan, mengambil posisi paling jauh dari makam, karena merasa berpakaian tidak pantas. Saya merenung dan memanjatkan doa. Mengingat kembali kontribusi besar beliau di pesisir utara Sunda Kelapa.
Menilik kisah Pangeran Jayakarta, beberapa hal yang menjadi teladan adalah jiwa kepemimpinan dan ketangkasan dalam mengatur sebuah wilayah, mengatur perdagangan, dan semangat kebangsaannya. Menyadari bahwa bangsanya dijajah, ia memilih untuk melawan. Ya melawan! Bukan tunduk seperti pecundang dalam buaian tipu muslihat. Semoga beliau mendapat tempat terindah di sisi-Nya.
Berikutnya kunjungan ziarah ke makam Bung Karno, Gus Dur, dan Refleksi Semangat Kebangsaan pada bagian ke (2/2).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H