Mohon tunggu...
Albert Magnus Dana Suherman
Albert Magnus Dana Suherman Mohon Tunggu... Konsultan - Albert M. D. Suherman

Belajar sambil bermain, bermain sambil belajar. Mempelajari sebuah permainan tanpa mempermainkan sebuah pelajaran.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Palestina ke Indonesia: Perjuangan Kedaulatan dan Agama

22 Desember 2017   02:24 Diperbarui: 22 Desember 2017   09:00 2882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih mengganggu tidur lelap saya, yaitu pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, pada tanggal 6 Desember 2017 lalu yang juga mengganggu dunia internasional, khususnya (lagi-lagi) dunia Islam. Dalam pidatonya di gedung putih yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, alih-alih sebuah pengakuan demi mencapai perdamaian, kebijakannya justru menuai kontroversi. Terang saja, berbagai elemen di seluruh dunia baik organisasi atau kelompok masyarakat baik tingkat daerah sampai taraf internasional, baik kelompok yang eksis di masyarakat hingga kelompok bawah tanah mengecam kebijakan Trump. Kebijakannya dinilai mempertajam tindak-tanduk Israel dalam penjajahannya terhadap Palestina. Panjangnya perseteruan antara Palestina dengan Israel dianggap masing-masing negara sebagai sebuah perjuangan. Perjuangan pendirian negara bangsa Yahudi bagi Israel, sekaligus bagi Palestina adalah perjuangan mempertahankan tanah air dan kedaulatan melawan penjajah. Tulisan ini mencoba memberi pemaparan sederhana dari fakta sejarah dan konstelasi politik di Palestina, baru kemudian menjajakan ide-ide reflektif antara perjuangan meraih kedaulatan dan perjuangan keagamaan dalam konteks Keindonesiaan.

Sekejap Menoleh Sejarah

Kerinduan demi kerinduan sekelompok Yahudi untuk mendiami sebidang tanah bagi bangsanya agar hidup berkoloni akhirnya mendorong pendirian sebuah organisasi, Asosiasi Kolonisasi Yahudi (JCA) yang didirikan pada tahun 1891 di London, Inggris. Visinya jelas, sebagai wadah berkumpul kembali Bangsa Yahudi yang tersebar seantero Eropa sekaligus mewujudnyatakan sebuah konsep negara bangsa Yahudi yang kelak disebut Israel. Dilain tempat, Bangsa Palestina kala itu sedang dibawah kuasa Kesultanan Utsmaniyah (kelak Turki). Hidup berdampingan dalam komposisi etnis-agama mayoritas yaitu Arab-Muslim, Yahudi, Arab-Kristen dan berbagai variannya termasuk Kurdi sebagai minoritas. Hingga pada tahun 1896, Theodor Herzl bersama JCA menyerukan pendirian sebuah negara Yahudi di tanah yang mereka anggap sebagai The Promised Land.

"... yakin bahwa masuknya Yahudi Zionis di Palestina adalah terencana mekanismenya, tidak serta merta alamiah seperti migrasi ikan laut antar benua."

Ekspansi gelombang pertama pada tahun 1904-1914 masuklah 40.000 orang Yahudi dari seluruh penjuru Eropa dan bermukim di tepian laut tengah sebelah barat Palestina, sehingga populasi Yahudi meningkat menjadi 6% dari total penduduk. Temuan berikutnya dalam sensus penduduk pada tahun 1921 yang dilakukan oleh Inggris, tercatat populasi di Palestina terdiri dari 78% Arab-Muslim, 11% Yahudi, dan 9,6% Arab-Kristen. Disusul kekalahan Jerman dan terpojoknya Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Dunia I melawan Sekutu yang kemudian melahirkan Perjanjian Sykes-Picot, yaitu sebuah perjanjian rahasia yang membagi-bagi wilayah kendali dan pengaruh Inggris dan Prancis di bekas kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.  Dalam perjanjian ini, Inggris yang kebagian pengaruh dan kendali atas Palestina. Kemudian migrasi besar-besaran terus terjadi, hingga menjelang negara Israel diproklamirkan, populasi etnis Yahudi mencapai 31%. Nyaris sepertiga populasi penduduk Palestina adalah Yahudi Zionis yang kebanyakan bermukim di tepian laut tengah. Hingga akhirnya pada tahun 1948, berdirilah negara bangsa Yahudi yaitu Israel, diikuti dengan pengusiran bangsa Palestina oleh tentara Israel. Dari paparan singkat diatas, yakin bahwa masuknya Yahudi Zionis di Palestina adalah terencana mekanismenya, tidak serta merta alamiah seperti migrasi ikan laut antar benua.

Sejak saat itu juga perjuangan nyata rakyat Palestina untuk mendirikan negara bangsa yang berdaulat dimulai. Sebab, mendirikan ruang hidup baru (Israel) diatas keringat dan darah sebuah komunitas bagai mencabut beringin hingga ke akarnya. Jelas sengit perlawanannya. Rakyat Palestina yang adalah pemilik tanah harus ‘mengungsi diatas tanahnya sendiri’. Jangan berharap mereka rela, apalagi ikhlas! Perang demi perang antara militer Israel dengan rakyat Palestina yang bermukim diatas ‘potongan jatah’ Israel terus berlangsung hingga detik ini.

Usaha-usaha Meraih Kedaulatan

Melalui jalur diplomasi, otoritas nasional Palestina berupaya terus agar diakui menjadi sebuah negara. Setidaknya agar dalam berhadapan dengan Israel, Palestina punya kedudukan yang sama. Secara de facto syarat berdirinya negara Palestina telah terpenuhi yaitu kepemilikan wilayah, rakyat, dan pemerintahan. Namun secara de jure? Masih banyak negara yang belum mengakui Palestina sebagai negara yang berdaulat. Terutama Amerika Serikat yang memiliki hak veto di PBB. Atas desakan banyak negara untuk kemerdekaan Palestina, PBB pernah menerbitkan Resolusi PBB 181, yang isinya kurang lebih membagi wilayah Palestina menjadi 2 untuk Arab dan Yahudi. Dengan persentase kasar kira-kira 55% untuk Yahudi dan 45% untuk Arab. Konyol memang. Teringat istilah devide et impera yang kurang lebih berarti: Buatlah sekat-sekat yang jelas dengan fragmentasi etnis dan agama sehingga terisolasi satu sama lain dan takut bersentuhan, kemudian berkuasalah.

Strategi dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina melahirkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mendorong munculnya ke permukaan dua fraksi besar di dalamnya untuk penentuan nasib rakyat Palestina kelak. Kedua fraksi berikut memiliki warna militansinya masing-masing. Yang pertama yang menamai diri sebagai Harakat at-Tahrir al Wathani al-Filastini atau Kelompok Fatah. Kelompok ini adalah sekumpulan pelajar Palestina yang menempuh pendidikan di Kairo, Mesir kemudian kembali ke tanah Palestina dengan segudang konsep negara bagi Palestina. Masih terkenang, Yasser Arafat seorang militan gigih yang akhirnya memimpin Kelompok Fatah sekaligus PLO. Arafat pernah memperoleh Nobel Perdamaian tahun 1994 atas visi perdamaian Palestina dan Israel serta negara-negara Timur Tengah bersama dengan Simon Perez dan Yitzhak Rabin (PM Israel kala itu). Arafat dalam misi perdamaiannya yang melalui Perjanjian Oslo tahun 1993 menandatangani perjanjian di ibu kota Amerika Serikat disaksikan Bill Clinton. Secara eksplisit, Arafat mengakui kemerdekaan Israel dan mengecam intifadha (gerakan perlawanan) sebagai bentuk gerakan terorisme. Hal inilah yang membedakan Kelompok Fatah pimpinan Arafat dengan fraksi besar lainnya dalam PLO yaitu Kelompok Hamas.

Hamas, kependekan dari Harakat al-Muqawwamatul al-Islamiyyah didirikan oleh Sheikh Ahmed Yassin adalah kelompok yang memperjuangkan Bangsa Palestina dengan konsep mendirikan negara Islam. Kelompok Hamas tidak membuka toleransi atas berdirinya negara Israel di tanah air Palestina. Tahun 2014 lalu, Mousa Abu Marzook Mohammed wakil biro politik Hamas menyatakan bahwa, “Hamas tidak akan mengakui Israel.”. “Dan itu adalah garis merah yang tidak bisa dilewati.”, tambahnya. Hamas memerintah daerah Gaza sejak tahun 2007 setelah memenangkan kursi mayoritas di Parlemen Palestina pada 2006. Kelompok yang disokong oleh Ikhwanul Muslimin ini dianggap sebagai organisasi teroris oleh banyak negara atas serangan-serangan terhadap militer dan penduduk sipil Israel juga bentrokan dengan Kelompok Fatah.

“Hamas tidak akan mengakui Israel.”. “Dan itu adalah garis merah yang tidak bisa dilewati.”

Inilah perbedaan mencolok antara kedua fraksi besar dalam PLO, meski sama-sama berjuang untuk kedaulatan Palestina. Secara ideologis, Kelompok Fatah adalah kelompok nasionalis sekuler, sedangkan Kelompok Hamas adalah kelompok fundamental agama. Bentrokan sayap militer kedua fraksi ini semakin menjadi pasca kematian Yasser Arafat tahun 2004. Hamas menganggap, PLO dibawah pimpinan Arafat adalah kepanjangan tangan Israel dalam menangkal perjuangan Bangsa Palestina. Perbedaan warna militansi Kelompok Fatah dan Hamas juga yang membuat dunia internasional terbagi menjadi dua dalam memberikan dukungan kemerdekaan bagi Palestina. Disatu pihak, jalan damai melalui diplomasi yang diusung Kelompok Fatah memberi ruang gerak bagi Israel untuk terus mencaplok daerah pemukiman Palestina di perbatasan. Di lain pihak, perjuangan Kelompok Hamas mengangkat isu perjuangan agama (Islam) dalam menghadapi Israel sedikit banyak menimbulkan sentimen-sentimen keagamaan pada masyarakat internasional terutama dunia Islam terhadap Yahudi. Hal ini tentu saja membuat konstelasi politik Timur Tengah semakin ruwet. Yang pada mulanya perjuangan kemerdekaan Palestina adalah upaya dalam meraih kedaulatan, faktanya perjuangan rakyat Palestina justru menarik simpati dunia Islam dan dicerna sebagai jalan jihad dalam perjuangan agama.

Palestina ke Indonesia, Perjuangan Agama?

Konflik berkepanjangan antara Palestina dengan Israel akhirnya sampai pada titik dimana substansi dari sebuah perjuangan menuju kedaulatan berubah menjadi perjuangan agama. Perubahan substansi ini -sebut saja Kelompok Hamas sebagai pemicu- membakar semangat banyak gerakan Islam di berbagai negara sebagai sikap tegas menentang pendudukan Israel di tanah Palestina. Di Timur Tengah tak terhitung sudah demonstrasi yang terjadi, terlebih di Mesir, Turki, dan Suriah. Di Indonesia-pun begitu, aksi bakar bendera Israel di depan Kedubes AS tak pernah absen kala kondisi sedang memanas. Bahkan di Amerika Serikat dan Eropa Barat, kelompok masa menyerukan pembebasan Palestina atas dasar kemanusiaan. Sah-sah saja toh menggunakan isu sentimen agama untuk bebas dari penindasan. Amerika Latin pernah melakukannya lewat Teologi Pembebasan yang diprakarsai para Imam Jesuit dalam menuntaskan masalah kemiskinan dan rezim otoriter di negaranya. Di Indonesia, dulu Bung Tomo pernah membakar semangat jihad para santri dalam pertempuran mengusir tentara Inggris yang dalam ultimatumnya akan membombardir Surabaya. Tak ada yang salah toh? Ya demi kemaslahatan bersama.

Namun apa kondisinya sesederhana itu? Di Indonesia belakangan ini ndak juga. Ketika timbul anggapan masyarakat Muslim membela Palestina yang dianggap sebagai simbol Islam, dan masyarakat Kristen cenderung pro Israel sebab ada seruan pembelaan terhadap Yahudi dalam teks-teks sucinya. Anggapan ngawur ini mau mengatakan, artinya ada ‘bias pemahaman’ antara peristiwa di lapangan dengan nalar. Ironi sekali, sejumlah pihak tega mereduksi perjuangan kedaulatan Palestina sebagai konflik antar agama, tanpa melihat kompleksitas masalah yang terjadi. Terkait masalah keamanan negara, inilah yang menjadi kekhawatiran karena semangat atas pemahaman yang melenceng ini diadopsi oleh sel-sel gerakan radikal yang gemar bereksperimen dengan bahan peledak. Karena faktanya tidak semua etnis dan penganut Yahudi mendukung pendirian negara Israel di tanah Palestina. Begitu juga dengan masyarakat Arab-Kristen di Palestina yang sama merasakan penderitaan dibawah kepungan Israel.

Secara teknis di Indonesia, dukungan-dukungan untuk kemerdekaan Palestina lewat keikutsertaan gerakan-gerakan keagamaan selain gerakan Islam dirasa perlu. Sebab masalah perjuangan rakyat Palestina adalah masalah dunia internasional, bukan masalah bagi umat Muslim saja. Selama ini yang lebih getol turun ke jalan dan bersuara lantang adalah gerakan-gerakan Islam saja. Umat beragama lain seharusnya ‘secara aktual’ ambil bagian dalam sependeritaan dan sepenanggungan dengan rakyat Palestina. Apa perlunya? Minimal sekali untuk menangkal anggapan-anggapan tak bertanggung jawab seperti paparan di paragraf sebelumnya. Bagi saya, inilah sejatinya perjuangan agama dalam menanggapi konflik Palestina-Israel. Ajaran dan gerakan keagamaan bukan diposisikan sebagai juntrung masalah, tetapi justru menjadi wadah atau kendaraan untuk berjuang demi kemanusiaan. Sekali lagi, demi kemanusiaan.

"Ajaran dan gerakan keagamaan bukan diposisikan sebagai juntrung masalah, tetapi justru menjadi wadah atau kendaraan untuk berjuang demi kemanusiaan."

Refleksi

Rasa empati kita sebagai warga negara Indonesia dalam merespon perjuangan rakyat Palestina merebut kemerdekaan merupakan pengejawantahan nilai-nilai nasionalisme. Tertuang dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan sikap tegas untuk menghapus penjajahan diatas dunia. Kemudian pada alinea keempat, bahwa Indonesia memiliki komitmen yang tegas untuk turut menjaga ketertiban dunia. Jelas, sudah seharusnya menjadi fondasi rakyat Indonesia dalam bersikap. Tidak bisa tidak!

Bagi kita sebagai pribadi, konflik berkepanjangan ini akhirnya dapat menjadi renungan singkat sebelum tidur malam. Supaya ada rasa syukur yang mendalam, betapapun melaratnya kondisi perekonomian, setidaknya kita tidak terlelap di tengah desingan peluru dan dentuman ledakan, tangisan ibu dan anak balitanya, jeritan-jeritan dan kertak gigi, keputus-asaan para tetua adat akan nasib bangsanya, dan masih banyak frasa-frasa melankolis yang tak mampu ungkapkan penderitaan hidup di tengah perang. Sehingga yakinlah ketika terbangun esok pagi kita masih bisa menikmati rebusan singkong dan menghirup aroma teh hangat, sembari mengutuk politisi korup dalam siaran televisi. Terakhir, mari kita berjuang bersama rakyat Palestina. Perjuangan rakyat Palestina dalam menggapai kedaulatan dengan segala dinamikanya, sekaligus menguji rasa nasionalisme dan kemanusiaan kita, sejauh mana kita dapat menghargai perbedaan, dan sejauh mana kita sadar akan keberagaman sebagai sebuah kekayaan sosial. Itu semua demi mewujudkan bangsa yang beradab dan lebih beradab lagi. Hidup rakyat Indonesia, hidup rakyat Palestina!

"Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah Bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel." -Soekarno, 1962

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun