Inilah perbedaan mencolok antara kedua fraksi besar dalam PLO, meski sama-sama berjuang untuk kedaulatan Palestina. Secara ideologis, Kelompok Fatah adalah kelompok nasionalis sekuler, sedangkan Kelompok Hamas adalah kelompok fundamental agama. Bentrokan sayap militer kedua fraksi ini semakin menjadi pasca kematian Yasser Arafat tahun 2004. Hamas menganggap, PLO dibawah pimpinan Arafat adalah kepanjangan tangan Israel dalam menangkal perjuangan Bangsa Palestina. Perbedaan warna militansi Kelompok Fatah dan Hamas juga yang membuat dunia internasional terbagi menjadi dua dalam memberikan dukungan kemerdekaan bagi Palestina. Disatu pihak, jalan damai melalui diplomasi yang diusung Kelompok Fatah memberi ruang gerak bagi Israel untuk terus mencaplok daerah pemukiman Palestina di perbatasan. Di lain pihak, perjuangan Kelompok Hamas mengangkat isu perjuangan agama (Islam) dalam menghadapi Israel sedikit banyak menimbulkan sentimen-sentimen keagamaan pada masyarakat internasional terutama dunia Islam terhadap Yahudi. Hal ini tentu saja membuat konstelasi politik Timur Tengah semakin ruwet. Yang pada mulanya perjuangan kemerdekaan Palestina adalah upaya dalam meraih kedaulatan, faktanya perjuangan rakyat Palestina justru menarik simpati dunia Islam dan dicerna sebagai jalan jihad dalam perjuangan agama.
Palestina ke Indonesia, Perjuangan Agama?
Konflik berkepanjangan antara Palestina dengan Israel akhirnya sampai pada titik dimana substansi dari sebuah perjuangan menuju kedaulatan berubah menjadi perjuangan agama. Perubahan substansi ini -sebut saja Kelompok Hamas sebagai pemicu- membakar semangat banyak gerakan Islam di berbagai negara sebagai sikap tegas menentang pendudukan Israel di tanah Palestina. Di Timur Tengah tak terhitung sudah demonstrasi yang terjadi, terlebih di Mesir, Turki, dan Suriah. Di Indonesia-pun begitu, aksi bakar bendera Israel di depan Kedubes AS tak pernah absen kala kondisi sedang memanas. Bahkan di Amerika Serikat dan Eropa Barat, kelompok masa menyerukan pembebasan Palestina atas dasar kemanusiaan. Sah-sah saja toh menggunakan isu sentimen agama untuk bebas dari penindasan. Amerika Latin pernah melakukannya lewat Teologi Pembebasan yang diprakarsai para Imam Jesuit dalam menuntaskan masalah kemiskinan dan rezim otoriter di negaranya. Di Indonesia, dulu Bung Tomo pernah membakar semangat jihad para santri dalam pertempuran mengusir tentara Inggris yang dalam ultimatumnya akan membombardir Surabaya. Tak ada yang salah toh? Ya demi kemaslahatan bersama.
Namun apa kondisinya sesederhana itu? Di Indonesia belakangan ini ndak juga. Ketika timbul anggapan masyarakat Muslim membela Palestina yang dianggap sebagai simbol Islam, dan masyarakat Kristen cenderung pro Israel sebab ada seruan pembelaan terhadap Yahudi dalam teks-teks sucinya. Anggapan ngawur ini mau mengatakan, artinya ada ‘bias pemahaman’ antara peristiwa di lapangan dengan nalar. Ironi sekali, sejumlah pihak tega mereduksi perjuangan kedaulatan Palestina sebagai konflik antar agama, tanpa melihat kompleksitas masalah yang terjadi. Terkait masalah keamanan negara, inilah yang menjadi kekhawatiran karena semangat atas pemahaman yang melenceng ini diadopsi oleh sel-sel gerakan radikal yang gemar bereksperimen dengan bahan peledak. Karena faktanya tidak semua etnis dan penganut Yahudi mendukung pendirian negara Israel di tanah Palestina. Begitu juga dengan masyarakat Arab-Kristen di Palestina yang sama merasakan penderitaan dibawah kepungan Israel.
Secara teknis di Indonesia, dukungan-dukungan untuk kemerdekaan Palestina lewat keikutsertaan gerakan-gerakan keagamaan selain gerakan Islam dirasa perlu. Sebab masalah perjuangan rakyat Palestina adalah masalah dunia internasional, bukan masalah bagi umat Muslim saja. Selama ini yang lebih getol turun ke jalan dan bersuara lantang adalah gerakan-gerakan Islam saja. Umat beragama lain seharusnya ‘secara aktual’ ambil bagian dalam sependeritaan dan sepenanggungan dengan rakyat Palestina. Apa perlunya? Minimal sekali untuk menangkal anggapan-anggapan tak bertanggung jawab seperti paparan di paragraf sebelumnya. Bagi saya, inilah sejatinya perjuangan agama dalam menanggapi konflik Palestina-Israel. Ajaran dan gerakan keagamaan bukan diposisikan sebagai juntrung masalah, tetapi justru menjadi wadah atau kendaraan untuk berjuang demi kemanusiaan. Sekali lagi, demi kemanusiaan.
"Ajaran dan gerakan keagamaan bukan diposisikan sebagai juntrung masalah, tetapi justru menjadi wadah atau kendaraan untuk berjuang demi kemanusiaan."
Refleksi
Rasa empati kita sebagai warga negara Indonesia dalam merespon perjuangan rakyat Palestina merebut kemerdekaan merupakan pengejawantahan nilai-nilai nasionalisme. Tertuang dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan sikap tegas untuk menghapus penjajahan diatas dunia. Kemudian pada alinea keempat, bahwa Indonesia memiliki komitmen yang tegas untuk turut menjaga ketertiban dunia. Jelas, sudah seharusnya menjadi fondasi rakyat Indonesia dalam bersikap. Tidak bisa tidak!
Bagi kita sebagai pribadi, konflik berkepanjangan ini akhirnya dapat menjadi renungan singkat sebelum tidur malam. Supaya ada rasa syukur yang mendalam, betapapun melaratnya kondisi perekonomian, setidaknya kita tidak terlelap di tengah desingan peluru dan dentuman ledakan, tangisan ibu dan anak balitanya, jeritan-jeritan dan kertak gigi, keputus-asaan para tetua adat akan nasib bangsanya, dan masih banyak frasa-frasa melankolis yang tak mampu ungkapkan penderitaan hidup di tengah perang. Sehingga yakinlah ketika terbangun esok pagi kita masih bisa menikmati rebusan singkong dan menghirup aroma teh hangat, sembari mengutuk politisi korup dalam siaran televisi. Terakhir, mari kita berjuang bersama rakyat Palestina. Perjuangan rakyat Palestina dalam menggapai kedaulatan dengan segala dinamikanya, sekaligus menguji rasa nasionalisme dan kemanusiaan kita, sejauh mana kita dapat menghargai perbedaan, dan sejauh mana kita sadar akan keberagaman sebagai sebuah kekayaan sosial. Itu semua demi mewujudkan bangsa yang beradab dan lebih beradab lagi. Hidup rakyat Indonesia, hidup rakyat Palestina!
"Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah Bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel." -Soekarno, 1962
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H