Mohon tunggu...
Mustafrikhatul Maftukhah
Mustafrikhatul Maftukhah Mohon Tunggu... Perawat - Newbie

Perawat Lapas Pekalongan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

RUU Kesehatan Omnibus Law dari Kacamata Seorang Perawat

17 November 2022   11:09 Diperbarui: 18 November 2022   14:28 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini sedang ramai diperbincangkan terkait Rancangan Undang Undang tentang Kesehatan (Omnibus Law) yang telah masuk Prolegnas Prioritas 2023. Semua organisasi profesi kesehatan sepakat menolak adanya RUU ini, termasuk diantaranya adalah organisasi profesi perawat: PPNI. 

Mengapa?

Secara harfiah, omnibus law artinya hukum untuk semua. Teknik penyusunan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law dapat mengatasi problem obesitas dan disharmoni regulasi (Yasin, 2020). Karena dengan metode omnibus law ini, beberapa undang-undang dapat dipangkas menjadi satu undang-undang yang berlaku, dengan konsekuensi adanya kemungkinan pasal-pasal lama dalam UU diubah atau bahkan dihapus sebagai dampak penyatuan itu. 

Saat ini, setiap organisasi profesi di Indonesia memiliki undang-undang yang menjadi payung hukum atas tanggung jawab yang diemban masing-masing, seperti dokter dengan UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, perawat dengan UU Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, dan bidan dengan UU Nomor 4 tahun 2019 tentang Kebidanan. Ketika setiap profesi memiliki UU yang berlaku dan telah berjalan harmonis, perlu kah disusun UU baru yang mengatur seluruh kehidupan profesi di dalamnya?

Perjuangan Panjang Lahirnya Undang-Undang Keperawatan

Undang-Undang Keperawatan yang telah disahkan pada 25 September 2014 bukan lah peraturan yang tiba-tiba muncul. Pasalnya, sejak 1989, pemikiran tentang pentingnya landasan hukum untuk mengatur profesi keperawatan secara utuh yang mencakup pendidikan, praktik/pelayanan, dan penelitian keperawatan serta kehidupan keprofesian mulai tumbuh (Hamid, 2014). Hasil kajian yang dilakukan oleh Prof. A.A. Loedin dan Prof. Herkutanto yang diutus oleh CHS (Contortium of Health Science), Departemen Kesehatan, dan WHO, menyebutkan bahwa pada saat itu tidak ada regulasi yang cukup kuat untuk keperawatan sebagai profesi di Indonesia. Salah satu rekomendasi dari kajian tersebut adalah penting adanya Undang Undang Keperawatan yang mengatur sistem keperawatan sebagai profesi sekaligus sebagai perlindungan kepada masyarakat (Hamid, 2014).

Pada tahun 1992, Undang Undang No. 23 tentang Kesehatan disahkan. Dalam Undang Undang tersebut, terdapat pengakuan bahwa keperawatan adalah profesi dengan keahlian yang dipersyaratkan untuk memperoleh kewenangan praktik sesuai dengan ilmu keperawatan. Kemudian pada tahun 1998, diadakan pertemuan antara Dr. Farinaz Parsay sebagai konsultan WHO didampingi oleh konsultan nasional keperawatan dan kebidanan. Pada pertemuan itu menghasilkan sepuluh sasaran, diantaranya adalah "adanya sistem regulasi untuk pendidikan dan praktik keperawatan dan kebidanan untuk melindungi masyarakat" (WHO, 1998; Hamid, 2014).

Pada tahun 2000, Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan dan Keteknisian Medis dibentuk dan masuk dalam struktur organisasi Departemen Kesehatan. Bersama Biro Hukum dan Organisasi serta Unit Depkes terkait, Direktorat Keperawatan didukung oleh WHO menyusun rancangan awal UU Keperawatan dengan konsultan WHO, Dr. Tassana Bontoong. Pada tahun 2005, RUU Praktik Keperawatan dan RUU Praktik Kebidanan dengan inisiatif Pemerintah masuk dalam Program Legislasi Nasional dengan urutan 160 dan 161 untuk diselesaikan oleh DPR RI periode 2004-2009 (Hamid, 2014).

Hingga tahun 2008, RUU Keperawatan tidak kunjung masuk pembahasan. Padahal UU tersebut sangat dibutuhkan oleh perawat di negeri ini. Pasalnya, Mutual Recognition Arrangement on Nursing Services untuk 10 (sepuluh) negara ASEAN yang telah ditandatangani 8 Desember 2006 di Cebu, Filipina memiliki dampak signifikan terhadap pengakuan perawat Indonesia di negara lain. Jika di tahun 2010 belum ada  "credentialing system" karena belum adanya UU Keperawatan yang mengatur, perawat Indonesia tidak diakui untuk bisa bekerja di negara lain, sedangkan perawat asing akan bisa masuk bebas ke Indonesia tanpa melalui sistem uji kompetensi yang ditentukan oleh Indonesia (Hamid, 2014).

PPNI mengambil langkah cepat. Rapat Pimpinan Nasional PPNI di Semarang pada tahun 2008 memutuskan untuk melakukan aksi nasional agar RUU Praktik Keperawatan segera dibahas melalui inisiatif DPR RI. Serangkaian lobby dan aksi simpatik dilakukan baik oleh insan perawat maupun para mahasiswa dengan satu tujuan, bahwa RUU Keperawatan harus disahkan. RUU Keperawatan masuk dalam agenda DPR RI untuk diproses oleh DPR RI Periode 2009-2014 dan mengantarkan RUU Keperawatan disahkan menjadi Undang Undang No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan pada tanggal 25 September 2014 (Hamid, 2014). Lima tahun berselang, terbit Peraturan Pelaksana UU No. 38 Tahun  2014 yakni Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 38 Tahun  2014 yang ditetapkan pada tanggal 9 Agustus 2019.

Apa yang Dibutuhkan Profesi Perawat Saat Ini?

Jika payung hukum untuk perawat dan masyarakat yang mendapatkan asuhan keperawatan sudah ada dan telah berjalan baik, lantas untuk apa "dipaksakan" adanya Omnibus Law ini? Masih banyak aspek-aspek yang perlu diperbaiki di luar konteks UU. UU sudah ada, disusun bersama dalam jangka waktu bertahun-tahun. Implementasi di lapangan terkait kehidupan profesi perawat yang justru masih perlu diperhatikan oleh pemerintah.

Pada saat pandemi Covid-19 bergejolak, perawat berada di garda depan dalam melakukan perawatan pasien Covid yang jumlahnya terus melonjak. Masyarakat menyadari betul pentingnya sosok perawat ketika pandemi melanda. Kebutuhan tenaga perawat di rumah sakit khususnya yang menangani pasien Covid juga meningkat seiring melonjaknya kasus. Tidak dapat dibayangkan bagaimana kondisi pasien-pasien yang terpapar Covid jika pada saat itu jumlah tenaga perawat yang ada kurang mencukupi kebutuhan. 

Lantas apa yang dibutuhkan oleh para perawat? Bukan Undang-Undang baru, melainkan pengakuan akan profesi, ketersediaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan. 

Saat ini perawat masih terlabeli sebagai "pembantu" profesi lain, bukan berdiri sebagai profesi yang memiliki fungsi mandiri. Padahal sejatinya masyarakat tidak hanya membutuhkan aspek kuratif saja, namun juga promotif dan preventif. Peran promotif dan preventif ini yang seharusnya dapat dimaksmalkan oleh perawat, terutama bagi perawat yang bekerja di lingkup komunitas seperti puskesmas, panti, sekolah, pondok, dan rutan/lapas. 

Ketersediaan lapangan kerja juga perlu menjadi perhatian pemerintah. Dilansir dari tribunnews.com, sekitar 22.000-40.000 lulusan perawat harus menganggur setiap tahun. Dari seluruh lulusan, hanya sekitar 20 persen saja yang terserap (Yohanes, 2021). Ironisnya, masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang memiliki kekurangan tenaga kesehatan. 

PPNI sedang mencoba melakukan pendekatan dengan pemerintah khususnya Kementerian Desa PDTT terkait program "Satu Desa Satu Perawat" atau dikenal dengan program OVON "One Village One Nurse" (IR, 2019). Dengan program ini, diharapkan selain menyerap tenaga perawat juga meningkatkan kesehatan masyarakat penerima jasa layanan keperawatan. Pemerintah juga diharapkan dapat terus memfasilitasi perawat-perawat Indonesia agar bisa bekerja di luar negeri sebagai tenaga profesional, seperti kerjasama G to G yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia dengan Arab Saudi, Jepang, Jerman, dan Belanda (IM, 2022).

Kesejahteraan juga masih menjadi permasalahan dalam tubuh profesi perawat. Hingga saat ini masih ada perawat yang hanya digaji ratusan ribu tiap bulannya. Upaya PPNI saat ini untuk peningkatan kesejahteraan perawat, salah satunya dengan membuat standarisasi gaji perawat. Dilansir dari wartaperawat.com, pemberian gaji 3 kali UMP merupakan kelayakan seorang perawat sesuai dengan profesionalnya, dikarenakan proses menjadi perawat melewati berbagai persyaratan maupun ketentuan yang berlaku. Penetapan besaran standar gaji tersebut setelah dilakukan penelitian dan kajian terlebih dahulu, termasuk membandingkan dengan kelayakan upah yang diterima perawat di negara lain (IM, 2018). 

Daftar Pustaka:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun