Mohon tunggu...
Money

Madzab Iqtishaduna Terkait dengan Jaminan Sosial

5 Maret 2019   14:36 Diperbarui: 5 Maret 2019   16:01 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Iqtishad berasal dari kata bahasa arab qashd, yang secara harfiah berarti ekuilibrium atau keadaan sama, seimbang, atau pertengahan. Sejalan dengan itu, maka semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya, mazhab ini berusaha untuk menyusun teori-teori baru yang langsung digali dan dideduksi dari Al-Quran dan Sunnah.(fauzi dan riyadi,2014;37)

Mazhab ini dimotori oleh Baqir As-Sadr dengan bukunya yang fenomenal: Iqtishaduna (ekonomi kita). Mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan  Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Yang satu anti-Islam, yang lainnya Islam.(A.karim,2012;30)

Menurut pemikiran As-Sadr bahwa dalam mempelajari ilmu ekonomi harus dilihat dari dua aspek, yaitu yang pertama, adalah aspek philosophy of economics atau normative economics dan yang kedua adalah aspek positive economics. 

Contoh dari aspek positive economics, yaitu mempelajari teori konsumsi dan permintaan yang merupakan suatu fenomena umum dan dapat diterima oleh siapa pun tanpa dipengaruhi oleh ideologi. 

Dalam teori konsumsi dirumuskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi suatu barang adalah tingkat pendapatan, tingkat harga, selera, dan faktor-faktor non-ekonomi lainnya. Berdasarkan hukum permintaan (law of demand) bahwa ada korelasi yang negatif antara besarnya tingkat harga barang dengan jumlah barang yang diminta asumsi cateris paribus. 

Jika harga barang naik jumlah barang yang diminta akan turun dan sebaliknya. Fakta ini terjadi pada konteks ekonomi dimana pun dan oleh siapa pun tanpa melihat latar belakang sosial, budaya, agama, politik, dan sebagainya.

Adapun dilihat dari aspek phylosophy of economics yang merupakan hasil pemikiran manusia, maka akan dijumpai bahwa setiap kelompok manusia mempunyai ideologi, cara pandang dan kebiasaan (habit) yang tidak sama. Persoalan kepantasan antara satu anggota masyarakat dengan anggota lainnya atau antara satu golongan masyarakat dengan golongan lainnya masing-masing memiliki batasan atau definisi sendiri. 

Makan sambil berdiri dan menggunakan tangan kiri merupakan hal yang pantas dan biasa di masyarakat Eropa, namun lain halnya pada masyarakat di Indonesia. Dalam pandangan  Islam bahwa sesuatu diaggap pantas manakala hal itu dianjurkan dalam Islam dan sesuatu dianggap tidak pantas jika hal itu dicela dan dilarang menurut syariah.

Secara terminologis ada kesenjangan antara pengertian ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional dengan pengertian ekonomi Islam sehingga perlu dirumuskan ekonomi Islam dalam konteks syariaah Islam. Pandangan ini didasarkan pada pengertian dari Ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul karena adanya masalah kelangkaan sumber daya ekonomi (scarcity) dibandingkan dengan kebutuhan manusia yang sifatnya tidak terbatas. 

Dalam hal ini Mazhab Baqir As-Sadr menolak pengertian tersebut sebab dalam Islam telah ditegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk di dunia ini termasuk manusia dalam kecukupan sumber daya ekonomi sebagaimana ditegaskan melalui firman-Nya dalam Surah Al-Furqan (25) ayat 2:

"Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.( Rivai dan Buchari, 2009:  384-386.)
Selain itu, menurut mereka perbedaan filosofi akan berdampak pada perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat masalah ekonomi. 

Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, karena menurut mereka, Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur'an surat Al-Qamar ayat 49:

"Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya."
Dengan demikian, karena segala sesuatunya sudah terukur dengan sempurna, sebenarnya Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia di dunia.

Pendapat bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas juga ditolak. Contoh: Manusia akan berhenti minum jika dahaganya sudah terpuaskan. Oleh karena itu, mazhab ini berkesimpulan bahwa keinginan yang tidak terbatas itu tidak benar sebab pada kenyataannya keinginan manusia itu terbatas. (Bandingkan pendapat ini dengan teori Marginal Utility, Law of Diminishing Returns, dan Hukum Gossen dalam ilmu ekonomi).

Mazhab Baqir berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. 

Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya, sementara yang lemah tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.

Oleh karena itu, menurut mereka, istilah ekonomi Islami adalah istilah yang bukan hanya tidak sesuai dan salah, tetapi juga menyesatkan dan kontradiktif, karena itu penggunaan istilah ekonomi Islami harus dihentikan. Sebagai gantinya, ditawarkan istilah baru yang berasal dari filosofi Islam, yakni Iqtishad.(karim, 2012: 30-31)

Islam telah memerintahkan kepada suatu negara untuk menyediakan Jaminan sosial yang berguna untuk standar hidup seluruh manusia dalam masyarakat Islam. Pada dasarnya, negara menunaikan kepentingannya ini dalam dua bentuk. Pertama, negara memberikan kesempatan individu yang luas untuk melakukan kerja produktif, sehingga dapat memenuhi kebutuhan kerja dan usahanya sendiri. 

Namun, kompilasi individu tidak dapat melakukan kerja produktif dan memenuhi kebutuhan lebih dari pada bisnis sendiri, atau kompilasi yang ada di negara tersebut tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang diperlukan, maka berlakulah jaminan diantara kedua negara  yang dapat menggunakan aplikasi jaminan sosial dengan cara menyediakan uang Dalam jumlah yang cukup untuk membiayai kebutuhan individu tersebut dan untuk memperbaiki standar yang dikeluarkan.

Basis pertama yang mewajibkan adanya jaminan terhadap kebutuhan hidup yang pokok dan dibutuhkan. Sementara itu, basis kedua mewajibkan lebih dari itu yaitu, pemenuhan kebutuhan yang lebih luas dan memenuhi standar hidup yang lebih tinggi. Negara mewajibkan menggunakan Sosial di dasar kedua ini, tetapi dalam batas- batas kekuasaan dan kompetensi.

Guna memetakan prioritas Prinsip Jaminan sosial dalam Islam, kita perlu memerinci kedua basisnya; urgensi serta bukti hukum keduanya. ( ash sadr, 2008 : 455-456)
Basis dari Prinsip Jaminan Sosial.

Prinsip timbal balik masyarakat adalah dasar pertama dari Prinsip Jaminan Sosial. Islam mewarisi hal ini dari kaum Muslim sebagai kewajiban bersama (fardhu al kifayah), yang merupakan bantuan dari sebagian besar orang. Ini merupakan persyaratan bagi seorang Muslim dalam batas-kemampuan dan kemampuan kuasaannya. 

Ia harus menunaikan kewajiban itu sebagaimana ia juga menunaikan kewajiban yang lain. Fungsi negara dalam mengaplikasikan prinsip timbal balik masyarakat membalikkan peran negara dalam upaya untuk mendorong apa yang telah digariskan oleh syari'ah, dalam memastikan agar kaum muslim memperoleh hukum hukum Islam. 

Ini juga mencerminkan kapasitas negara sebagai otoritas berkuasa yang mengembangkan kewajiban untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan memiliki kekuasaan untuk memerintahkan yang wajib serta melarang yang haram. 

Di mana suatu negara menyetujui setiap individu yang membutuhkan pelindungnya untuk menunaikan tugas agamanya serta tugas yang telah di perintah oleh Allah Yang Maha tinggi yang dibebankan kepadanya. ia lebih berhak atas kebebasan Muslim untuk berjihad, dan ia juga berhak atas persetujuan mereka untuk menunaikan kewajiban mereka yang berkenaan dengan membantu dan menolong orang-orang yang tidak berkemampuan (cacat). 

Dengan hak ini, negara bisa memberikan jaminan sosial kepada mereka yang tidak memiliki kemampuan dengan mewajibkan kaum Muslim dalam batas-batas kemampuan dan kekuasaannya untuk mengimplementasikan jaminan tersebut dengan memberikan bantuan dalam bentuk uang yang cukup sebagai bentuk penunaian kewajiban mereka kepada Allah Yang Maha tinggi.

Guna mengetahui batas-batas jaminan sosial yang diusahakan oleh negara dan jenis kebutuhan yang dipenuhi di atas berbasis prinsip kewajiban timbal balik dari  masyarakat, kita perlu memilih sejumlah teks hukum yang memuat prinsip kewajiban timbal balik dari masyarakat. 

Dari situ kita bisa menentukan seberapa besar bantuan dan pertolongan yang menjadi kewajiban kaum Muslim, juga batas-batas jaminan sosial yang diusahakan oleh negara.

Dari sini dapat kita pahami bahwa kebutuhan yang wajib dijamin pemuasannya oleh kaum Muslim adalah kebutuhan yang mendesak. Ketika sekelompok Muslim memiliki kelebihan harta, maka mereka tidak boleh membiarkan saudara-saudara mereka sesama Muslim hidup dalam kekurangan. Mereka yang berkelebihan harta wajib memenuhi kebutuhan mereka yang kekurangan dan membebaskan mereka dari kondisi kekurangan tersebut.

Islam mengaitkan jaminan sosial ini dengan prinsip umum persaudaraan Islam guna menunjukkan bahwa kewajiban tersebut bukanlah semacam pajak penghasilan yang khusus, melainkan sebuah ekspresi praktis dari persaudaraan di antara sesama Muslim. 

Dari sini Islam menempatkan jaminan sosial dalam kerangka moral yang selaras dengan berbagai konsepsi serta nilainya, di mana hak seorang individu atas bantuan dan pemeliharaan individu lain beroleh pengertian islaminya dari rasa persaudaraan dan pertalian dalam keluarga besar manusia yang berkeadilan. 

Dalam batas-batas kekuasaan dan kapasitasnya, negara melindungi hak ini. Kebutuhan yang harus dicukupi guna memenuhi hak ini adalah kebutuhan yang mendesak. Kebutuhan yang mendesak berarti kebutuhan pokok yang bila tidak dipenuhi akan membuat hidup menjadi sulit.  

Demikianlah, kini kita mengetahui bahwa jaminan sosial di atas basis kewajiban timbal balik masyarakat dibatasi dalam batas-batas kebutuhan dasar manusia; kebutuhan yang bila tidak dipenuhi akan membuat hidup mereka menjadi sulit. ( ash sadr, 2008 : 456-459)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun