Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Freelancer - Mutia Ramadhani

Istri dan ibu tiga anak, Maetami dan Twins Mainaka. Seorang full-time mom, penulis, novelis, bloger, dan content writer di Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Sharenting Tingkatkan Kewaspadaan akan Gangguan Tumbuh Kembang Anak

4 Mei 2023   01:00 Diperbarui: 4 Mei 2023   01:02 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Instagram @muthebogara (Designed by Canva)

Sharenting, sebuah istilah yang muncul pertama kali sekitar 2010 di media global, Wall Street Journal. Sharenting mengacu pada aktivitas orang tua mendokumentasikan kelucuan, prestasi, praktik pengasuhan, dan tahapan tumbuh kembang anak mereka melalui postingan berupa tulisan, foto, atau video yang dibagikan pada publik lewat berbagai media.

Sebetulnya, sharenting bukan fenomena baru. Sejak dahulu pun sudah banyak orang tua berbagi kisah tentang anak dari mulut ke mulut, foto cetak, atau album keluarga. Hal yang membedakan orang tua zaman dahulu dengan sekarang adalah keberadaan media lebih beragam, seperti website, blog, Instagram, Facebook, YouTube, dan sebagainya.

Sampai hari ini, sharenting tetap tak lepas dari kritik. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Sebagai ibu tiga anak di mana dua di antaranya anak istimewa, saya mencoba membahas sharenting dari sudut pandang positif.

Media sosial dan gangguan tumbuh kembang anak

Lanskap digital hari ini kian kompleks dan interaktif. Para dokter dan konsultan tumbuh kembang anak yang dahulu hanya bisa kita temui di rumah sakit dan berbayar sekarang umumnya memiliki media sosial. Mereka juga sering diminta menjadi narasumber yang mengisi berbagai dialog dan diskusi terkait tumbuh kembang anak.

Orang tua di berbagai penjuru dunia, selama mereka terhubung dengan internet bisa mengikuti acara yang digelar online dan umumnya gratis itu, seperti melalui Instagram Live, YouTube Streaming, atau Zoom Meeting.

Tak jarang, para ahli kesehatan anak ini membuat konten-konten terkait bidang mereka. Saya follow beberapa akun media sosial dokter anak yang senang berbagi informasi seputar tumbuh kembang anak di berbagai platform.

Sebut saja Dokter Kanya Ayu (@momdoc.id) yang sering menyajikan konten gratis terkait tumbuh kembang anak dan laktasi. Ada juga Dokter Meta Hanindita (@metahanindita) yang acap memosting video-video seputar makanan pendamping ASI atau MPASI.

Dokter Aman Pulungan (@amanpulungan), pakar endokrin anak sering diundang sebagai pembicara di berbagai kesempatan. Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini sangat vokal menyoroti kasus gizi buruk di negara kita, salah satunya stunting. Beberapa tahun terakhir, penurunan kasus stunting menjadi salah satu prioritas pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan.

Dokter Rudy Sutadi (Facebook: DOKTER RUDY SUTADI) adalah profesional pertama di Indonesia yang menyebarluaskan Applied Behavior Analysis (ABA) untuk autisme. Dokter spesialis anak ini awalnya mempelajari autisme dan penanganannya untuk kebutuhan sendiri, yaitu terapi putra pertamanya yang mengidap sindrom tersebut.

Banyak lagi dokter anak dan konsultan tumbuh kembang anak yang namanya tak bisa saya sebutkan satu per satu. Informasi media sosial mereka telah menyebar luas dan menjadi ladang ilmu bagi para orang tua, khususnya ibu-ibu di Indonesia.

Ada banyak gangguan tumbuh kembang anak yang perlu diketahui. Sebagai orang tua, penting untuk menggali informasi ini karena kita tak bisa memutar balik waktu. Ketika kita abai akan masalah tumbuh kembang anak, nantinya pasti berpengaruh pada perkembangan fisik, mental, sosial mereka saat remaja hingga dewasa, bahkan jangka panjang.

Berikut lima jenis gangguan tumbuh kembang anak di Indonesia yang jarang diketahui.

1. Autism spectrum disorder (ASD)

Gangguan spektrum autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang gejalanya muncul sebelum anak berusia tiga tahun. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengelompokkan gangguan tumbuh kembang pada anak autis meliputi gangguan perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial.

Beberapa gejala yang muncul, antara lain anak tidak merespons ketika diajak bicara, melakukan aktivitas berulang atau repetitif, dan tidak menunjukkan emosi yang sesuai dengan apa yang terjadi. Pada usia 12-24 bulan, anak autis tetap tidak bisa menunjuk dengan jari telunjuk, tidak bisa mengucapkan kata bermakna, atau hanya mengulang perkataan orang lain alias membeo.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi 1 dari 160 anak di dunia menderita gangguan spektrum autisme. Di Indonesia, jumlah penderitanya diperkirakan terus meningkat 500 orang per tahun. Sepanjang 2020-2021, Kementerian Kesehatan RI mencatat 5.530 kasus gangguan tumbuh kembang anak, termasuk autisme.

2. Attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD)

Jika anak autis umumnya mengalami gangguan bicara, anak ADHD justru sebaliknya. Mereka bisa berkomunikasi, tetapi tidak fokus. Gejala kronisnya baru muncul ketika anak berusia 6-12 tahun atau usia sekolah.

Sering kali anak ADHD dicap anak nakal sebab mereka sulit diatur, sulit fokus, tidak pernah selesai melakukan sesuatu, tidak betah diam, berlarian ke sana ke mari, tidak bisa mengikuti arahan orang lain, terlalu banyak bicara, dan tidak bisa tenang bermain.

3. Stunting dan perawakan pendek

Dua gangguan tumbuh kembang anak ini sering kali dianggap sama. Padahal, tidak. WHO mendefenisikan stunting sebagai gangguan tumbuh kembang di mana ukuran tubuh anak pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut usia. Nilainya kurang dari -2 standar deviasi pada kurva pertumbuhan.

Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 21,6 persen pada 2022. Stunting disebabkan asupan nutrisi tidak adekuat atau infeksi berulang yang terjadi pada anak sejak dalam kandungan.

Anak dengan stunting umumnya tidak bisa bertumbuh normal hingga dewasa, sementara anak dengan perawakan pendek karena keterlambatan pertumbuhan bisa tumbuh sebagaimana anak normal lainnya setelah mendapat penanganan khusus.

Perawakan pendek atau short stature adalah gangguan tumbuh kembang anak disebabkan gangguan gizi, endokrin, dan penyakit sistemik lainnya. Singkatnya, anak stunting sudah pasti bertubuh pendek. Akan tetapi, anak berperawakan pendek belum tentu stunting.

4. Gangguan belajar

Masalah tumbuh kembang anak bukan hanya menyangkut fisik. Gangguan belajar juga termasuk gangguan tumbuh kembang yang memengaruhi area kecerdasan tertentu. Beberapa kondisi yang masuk dalam kategori ini, antara lain anak kesulitan membaca (disleksia), anak kesulitan menghitung (diskalkulia), dan anak kesulitan menulis (disgrafia).

Ada banyak gejala yang ditunjukkan anak dengan gangguan belajar. Contohnya, anak sulit membedakan kanan dan kiri, tidak bisa mengurut angka dan huruf dengan benar, sulit mengingat apa yang baru saja ditulis atau diucapkan, tidak memahami konsep waktu.

Anak dengan gangguan belajar tertentu tidak bisa mengoordinasikan tubuh dengan baik ketika bergerak. Mereka sulit mengerjakan tugas-tugas keterampilan, seperti menulis, menggambar, atau menggunting.

5. Auditory processing disorder (APD)

Gangguan proses auditori timbul ketika otak tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Gangguan pendengaran ini bisa dialami berbagai usia, termasuk anak-anak.

Gejalanya, antara lain anak sulit merespons suara, sulit memahami percakapan orang lain, sulit membaca atau mengeja, sulit menikmati musik, dan sulit mengingat petunjuk. Penyakit ini bisa saja diturunkan, bisa juga karena cedera kepala pada anak.

Masih banyak lagi contoh lain gangguan tumbuh kembang anak. Ada cerebral palsy, down syndrome, keterbelakangan intelektual, dan sebagainya. Semua membutuhkan perhatian orang tua sejak dini. Jika tidak, sia-sia saja bonus demografi yang disebut-sebut sebagai potensi sumber daya manusia yang besar di Indonesia.

Sharenting tentang autisme

Pada 2020, putra kembar saya didiagnosis autis. Saya yakin, di awal, tidak ada satu pun orang tua bisa menerima kenyataan anak kesayangannya mengidap gangguan tersebut.

Kedua anak saya tak kunjung bisa berkomunikasi hingga usia hampir dua tahun. Mereka mudah tantrum, menghindari interaksi dengan orang lain, tidak bermain wajar sebagaimana anak-anak seusia mereka, melakukan self-stimulating atau stimming terus menerus, bahkan salah satunya kerap melukai diri sendiri setiap kali mengalami gejolak emosi.

Ini penyakit apa sih? Kok bisa anak saya autis sementara tak satu pun anggota keluarga saya mengalaminya? Kenapa tiba-tiba putra saya membawa kelainan genetik itu?

Terus larut dalam penolakan dan pencarian jawaban rupanya hanya membuang-buang waktu. Hal yang seharusnya saya dan suami lakukan sebagai orang tua adalah menerima keadaan (acceptance) kemudian mencari solusi.

Autisme adalah kelainan genetik. Kami bisa apa untuk membersamai buah hati kami? Di sinilah saya merasa terbantu sekali dengan kehadiran internet dan media sosial.

Bagi saya, media sosial adalah tempat terbaik untuk berkumpul dengan sesama orang tua dari anak-anak spesial. Mula-mula menangani anak, saya sempat stres, frustasi, kesulitan memahami situasi sampai saya berjejaring dengan sesama orang tua dengan anak-anak neurodivergent.

Tahun demi tahun, saya belajar menguasai diri dan fokus membersamai anak-anak saya melalui terapi dan pengasuhan. Seiring berjalan waktu, semakin banyak orang tua dengan anak autis menghubungi saya melalui berbagai platform.

Dari sana, saya menyadari mereka merasa sangat kesepian sebagaimana saya dahulu. Mereka merasa berjuang sendiri dan tidak tahu bagaimana cara menjalani hidup dengan anak autis.

Anggapan yang berkembang kerap mengatakan punya anak autis seperti mendapat "kutukan." Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki perilaku mereka, terlebih menyembuhkannya. Di sinilah sharenting dari para orang tua yang 'berani' berperan untuk menjadi pohon kebaikan yang menaungi orang tua lain yang tengah berjuang membesarkan anak istimewa ini.

Dalam kondisi saya sebagai ibu anak istimewa, saya tidak merasa sendirian di dunia ini. Saya bisa berbicara dan bertukar pikiran dengan orang tua lain yang berada dalam kondisi sama.

Sharenting yang umumnya saya lakukan di blog dan Instagram mendapat sambutan beragam. Mayoritas saya menerima respons positif, terutama dari para ibu. Artikel, video, dan infografis saya meyakinkan hati mereka untuk 'berani' mencari tahu lebih dalam gangguan tumbuh kembang anak mereka yang mengarah ke autisme.

Ada ibu yang sebelum baca coretan-coretan di blog saya merasa belum perlu ke dokter spesialis padahal anaknya belum bicara satu kata pun hingga usia tiga tahun. Ada ibu yang anaknya sudah didiagnosis autis, tetapi masih bingung memilih terapi yang tepat.

Ada ibu yang kesulitan mendietkan anak susu dan terigu padahal anak autis sangat sensitif terhadap kasein dan gluten. Ada ibu yang masih tidak percaya bahwa diet atau pengaturan pola makan sangat membantu perbaikan perilaku anak. Ada istri yang tidak mendapat dukungan suami untuk menelusuri penyebab gangguan tumbuh kembang anaknya.

Selama ini, banyak orang memandang autisme negatif karena ketidaktahuan mereka. Sering kali untuk melindungi diri dari bullying dan pelecehan, individu autis tumbuh menggunakan topeng.

Mereka berusaha menutupi fakta bahwa mereka adalah neurodivergent dan itu sangat menyakiti mereka secara fisik dan mental. Padahal, dunia harus bisa menerima neurodiversity dan individu dengan spektrum autis adalah bagian dari itu.

Mereka tidak bodoh. Mereka tidak aneh. Mereka hanya berpikir dengan cara 'berbeda.'

Bagi saya, anak autis bukanlah anak berkebutuhan khusus, melainkan anak berkemampuan khusus. Mereka mungkin sulit menjadi generalis dan tidak bisa menguasai banyak bidang. Namun, ketika mereka sudah menemukan passion pada satu bidang, mereka akan mendalami dan menjadi ahli di bidang tersebut.

Lihat saja Albert Einstein, Mozart, dan Hendry Ford. Di Indonesia, ada Oscar Yura Dompas, Thomas Andika, Kharisma Rizki Pradana, dan Cindy Widhoretno. Mereka semua membuktikan bahwa anak autis bisa sukses dan berprestasi selama diberikan pengasuhan baik.

Sharenting yang saya lakukan hari ini harapannya di masa depan bisa merangkul lebih banyak orang untuk memahami konsep neurodiversity. Anak autis bukanlah aib. Mereka adalah individu unik yang membutuhkan lingkungan lebih ramah untuk tumbuh kembangnya.

Sharenting bersama IndiHome

Saya mengetahui kondisi medis anak saya kala musim pandemi Covid-19, sekitar akhir 2020 di Surabaya. Saya tidak bisa bergerak leluasa di luar rumah, misalnya ke rumah sakit atau klinik dokter. Tempat terapi pun rata-rata dilakukan via daring.

Masih teringat jelas ketika saya mendatangi sebuah rumah sakit di Kompleks Darmo Satelit, Surabaya untuk bertemu psikiater anak. Sang dokter cuti panjang selama pandemi karena usianya sudah paruh baya. Beliau hanya sedia melayani pasien lama dan tidak menerima pasien baru.

Saya berpindah ke rumah sakit kedua di Gubeng dan bernasib sama. Sang dokter tidak menerima pasien offline dan masa tunggu jadwal konsultasi bisa mencapai dua bulan. Asisten beliau mengatakan antrean pasien yang hendak konsultasi cukup banyak dengan biaya yang tentunya tidak murah.

Terima kasih pada IndiHome yang pada saat itu berperan bak "invisible hand" dan "invisible foot" mewakili saya di luar rumah. Internet provider satu ini memungkinkan saya melakukan skrining pra-diagnosis bersama dokter anak di Jakarta. Saya bisa bertemu konsultan ahli autisme via Zoom Meeting.

IndiHome sebagai salah satu produk layanan Telkom Indonesia menggunakan jaringan fiber optik yang tersebar di penjuru Nusantara. Kecepatan internetnya hingga 300 Mbps. IndiHome TV juga menyajikan banyak tontonan yang mengangkat tema parenting, seperti Mother (2020), Fatherhood (2021), The Life Ahead (2020), dan lainnya.

Instagram @muthebogara (Designed by Canva)
Instagram @muthebogara (Designed by Canva)
Internet provider IndiHome stabil dan tahan terhadap segala cuaca. Kendati saya ibu rumah tangga dan beraktivitas penuh di rumah, saya senang bisa sharenting dengan mereka yang membutuhkan.

Instagram @muthebogara (Designed by Canva)
Instagram @muthebogara (Designed by Canva)
Hal paling saya syukuri adalah konten-konten yang saya buat bisa memotivasi banyak orang tua melakukan intervensi dini pada anak sehingga peluang perbaikan perilaku, kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi anak terwujud lebih cepat.

YouTube @bundalogy (Designed by Canva)
YouTube @bundalogy (Designed by Canva)
Sharenting memiliki dua sisi. Memang benar, banyak juga konten-konten parenting yang menunjukkan pola asuh salah yang dilakukan orang tua sehingga merugikan anak mereka. Contohnya, video orang tua memberikan hukuman berat pada anak atau orang tua mengerjai anak yang justru dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap anak.

Namun, jika sedari awal kita memakai kacamata positif, kita tetap bisa memetik pelajaran dari kesalahan tersebut sehingga kita menemukan cara untuk mencegah atau menghentikan mereka menyakiti anaknya lebih jauh.

Sebuah penelitian dengan topik sharenting yang dipublikasikan dalam Children and Youth Services Review Journal by Elsevier mencoba menggali lebih dalam perihal sharenting, mulai dari motivasi orang tua, respons anak-anak mereka ketika beranjak remaja, dampak positif dan negatifnya. Karen Verswijvel dan rekan-rekan peneliti dari University of Antwerp dan Artesis Plantijn University College Belgia melakukan wawancara semi terstruktur dengan 10 keluarga di negara tersebut.

Hasilnya, 17 dari 20 orang tua mengatakan sebagian besar postingan media sosial mereka terkait momen kebersamaan dalam keluarga, seperti makan di restoran, pergi ke taman hiburan, jalan-jalan, dan pesta ulang tahun. Dengan kata lain, orang tua tidak selalu memosting aktivitas harian, hanya berbagi momen penting saja.

Sebanyak 13 orang tua mengaku mereka membagikan prestasi atau kesuksesan anak di media sosial. Contohnya anak juara kelas, prestasi olah raga, dan sebagainya. Motivasinya karena bangga atau ingin memberi tahu keluarga dan teman-teman mereka.

Sebanyak 16 orang tua menganggap peristiwa negatif, seperti pertengkaran dan masalah rumah tangga tidak boleh dibagikan di media sosial karena merupakan ranah pribadi. Mereka lebih banyak berbagi pengalaman positif ketimbang negatif di media sosial.

Bagaimana komentar anak-anak yang telah beranjak remaja tentang sharenting?

Kira-kira separuh anak ternyata percaya orang tua mereka menghormati privasi mereka saat melakukan sharenting. Namun, semua anak sepakat bahwa seiring pertambahan usia, anak-anak remaja tadi ingin memiliki kendali atas privasi mereka sendiri.

Caranya bagaimana? Sebanyak tujuh remaja mengatakan orang tua harus meminta izin anak sebelum memosting sesuatu yang melibatkan mereka. Delapan remaja berpendapat orang tua harus bersedia menghapus informasi atau postingan terkait mereka jika diperlukan.

Mayoritas remaja lebih suka orang tua mereka tidak membagikan terlalu banyak informasi tentang anak di media sosial. Jika orang tua hendak membagikan informasi tersebut, anak harus setuju terlebih dahulu, termasuk pilihan orang tua menandai atau tagging akun media sosial anak.

Awareness sangat penting. Akan tetapi, tetap ada rambu-rambunya. Setiap kali saya berbagi pengalaman membesarkan anak istimewa saya lewat tulisan di blog, postingan gambar atau video di media sosial, saya berusaha menyajikan informasi agar bisa diterima baik oleh pembaca sekaligus menghormati privasi anak spesial saya.

Berikut adalah lima tips sharenting bijak yang bisa diadopsi orang tua.

1. Jangan terlalu banyak berbagi

Ini adalah aturan pertama yang perlu diikuti orang tua sepanjang hidup anak mereka. Saya pun sudah siap jika kelak putra-putri saya telah remaja dan membentuk identitasnya sendiri, online maupun offline, saya siap membatasi postingan terkait mereka.

Saya juga siap jika kelak mereka menginginkan saya menghapus sejumlah postingan saya tentang mereka.

2. Hindari mencantumkan informasi sensitif

Informasi sensitif tentang anak di media sosial sebaiknya tidak dibagikan, seperti nama lengkap, tanggal lahir, alamat, dan nomor telepon. Semua informasi sensitif ini bisa digunakan peretas atau orang-orang yang bermaksud jahat pada kita atau anak kita.

3. Terapkan pengaturan privasi

Ini memang sedikit berat. Kadang kita mengabaikan karena terlalu repot. Meski tak mudah, manfaatkan pengaturan privasi di media sosial untuk membatasi siapa saja yang melihat postingan kita.

Pilah dan pilih teman di media sosial. Jika ada akun-akun mencurigakan, blokir segera atau telusuri terlebih dahulu siapa pemilik akun tersebut.

4. Bergabung dengan grup komunitas tertentu

Jika kita membutuhkan dukungan sosial lebih luas karena tantangan pengasuhan anak yang mengharuskan kita memosting informasi penting dan sensitif terkait kondisi anak, terlebih gangguan tumbuh kembang, maka prioritaskan mencari grup atau komunitas online yang tertutup. Artinya, tidak sembarang orang bisa bergabung ke dalamnya.

Di sana kita bisa berbagi lebih luas terkait kondisi anak kita, bahkan kita bisa memosting sebagai anonim. Inilah yang saya lakukan tiga tahun lalu.

Facebook Mutia Ramadhani (Designed by Canva)
Facebook Mutia Ramadhani (Designed by Canva)
Saya memutuskan bergabung dengan komunitas online di Facebook dan Instagram, juga grup WhatsApp. Beberapa komunitas yang saya ikuti, antara lain Komunitas Peduli Autis Mulai Sekarang, Autisme Indonesia, Komunitas Pengasuhan Anak Autis, dan Yayasan Autisme Indonesia.

5. Hormati anak dengan minta izin sebelum sharenting

Saat anak masih kecil, orang tua mungkin bebas memosting apa pun seputar anak. Namun, ketika anak beranjak remaja hingga dewasa dan bisa membuat pilihan sendiri, hormati mereka dengan meminta izin sebelum kita memosting informasi, foto, video apa pun yang melibatkan mereka.

Hormati juga permintaan anak apabila suatu hari nanti mereka meminta postingan tentang mereka dihapus dari media sosial kita.

Penutup

Sharenting positif apabila bisa membantu mereka, para orang tua baru dalam menerapkan pola asuh positif bagi anak. Sharenting positif apabila bisa meningkatkan awareness orang tua akan tumbuh kembang anak.

Saya mengerti bahwa tidak semua orang tua dengan anak yang mengalami gangguan tumbuh kembang sedia berbagi kondisi buah hatinya pada publik sebab tidak ada yang senang menceritakan kelemahan. Akan tetapi, percayalah, selalu ada orang tua yang membutuhkan informasi tersebut dan harapannya mereka memetik manfaat.

Secara keseluruhan, jaringan internet IndiHome dari Telkom Indonesia memungkinkan sharenting lebih banyak memberi dampak positif ketimbang negatif. Sharenting membantu orang tua dan anak dengan berbagai cara. Sharenting membuat semua pihak bisa saling memberi dukungan.

Referensi Pendukung

https://kesmas.kemkes.go.id/konten/133/0/autisme-a-z-webinar-peringatan-hari-peduli-autisme-sedunia-2022 | Website Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat (kemkes.go.id) 

Angka Stunting Tahun 2022 Turun Menjadi 21,6 Persen - Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan | BKPK Kemenkes (kemkes.go.id)

Sharenting, is it a good or a bad thing? Understanding how adolescents think and feel about sharenting on social network sites - ScienceDirect

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun