Di ruangan yang sunyi, aku duduk sendiri, merenung di depan jendela yang berkabut oleh embun pagi. Dulu, aku selalu terbiasa dengan senyum yang merekah di wajahku. dan tawa yang terdengar riang.Â
Tapi sekarang, aku merindukan diriku yang dulu, ketika tawa bukanlah sekadar manipulasi atas luka dan tangis adalah atraksi nyata dari rasa sakit Dulu, hidupku penuh dengan warna-warni kebahagiaan.
Aku adalah orang yang selalu bisa membuat orang lain tertawa, yang selalu menjadi pusat perhatian di antara teman- temanku. Namun, di balik senyumku yang cerah, ada kegelapan yang tersembunyi.Â
Setiap kali aku merasa terluka atau sedih, aku belajar untuk menyembunyikan perasaanku di balik tawa. Aku belajar bahwa dengan tertawa, aku bisa mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang menghantui hatiku.Â
Tapi seiring berjalannya waktu, tawa itu bukan lagi menjadi ekspresi kebahagiaan, melainkan menjadi masker yang menutupi luka-lukaku Setiap kali aku menatap cermin, aku melihat seorang yang asing bagiku.
Aku merindukan diriku yang dulu, yang bisa tertawa dengan tulus tanpa harus menyembunyikan apa pun. Aku merindukan ketika tangis adalah ekspresi yang diterima sebagai bagian dari kehidupan, bukan atraksi untuk memperoleh simpati. Aku mengingat masa-masa di masa kecil, di mana aku bisa berlan bebas di taman bermain, tanpa beban yang menekan.
Aku merindukan saat-saat bersama sahabat- sahabatku, di mana kami bisa tertawa dan bercanda tanpa ada yang
memaksakan diri untuk tersenyum. Tetapi sekarang, semuanya terasa begitu jauh dan kabur Ketika malam liba,
aku senng kali terjebak dalam kegelapan pikiranku sendiri. Aku merenung tentang kehidupan, tentang apa artinya semua ini.
Aku bertanya-tanya apakah aku akan pernah bisa kembali menjadi diriku yang dulu, atau apakah aku sudah terlalu jauh terjatuh ke dalam jurang kehampaan.
Seraya aku merasa hatiku berucapkan " wahai engkau tersenyumlah dengan indah dan sederhana ". Disaat itu pula aku tersenyum alangkahnya bahagia ku menjadi milik diriku sendiri dengan sempurna terlihat
dari mata hati yang dalam.
Terus aku pernah berucapkan sambil berlinangnya air mata di pipi kanan kiri ku, seraya mengucapkan " sesungguhnya ada teman ku yang selalu mengerti aku, sebagaimana aku membutuhkan bahunya untuk bersandar, membutuhkan telinganya untuk mendengarkan curhatanku ".
Aku terus belajar dan belajar menahan perasaan yang sulit untuk di ucapkan, karena hatiku selalu menolak dengan lantunan curhatan yang akan aku berikan kepada orang lain. Sempat saat itu saya selalu berfikir akan keadaan bagaimana caranya aku bisa mengeluarkan curhatan hatiku ini ya tuhann, Di kemudian waktu, tibalah teman temanku yang baik hati , baik budi, maupun baik kebijakannnya.
Pada saat itulah, aku dan hatiku terbuka lebar untuk bercerita kepada mereka, dan mereka itu teman temanku yang berjumlah 4 orang. Disitu aku selalu menceritakan bagaimana aku menghadapi oerasaan yang sudah lama aku pendam, sudah lama aku berjuang dan sudah lama aku tangisi.
Lama kelamaan jadilah, temen temenku jadi lah sahabat dalam satu kelompok, kemanapun dan dimanapun kegiatan belajar disitulah aku dan sahabat ku berkelompok.
Temenku yang bernama tasya sempat bertanya " apakah dengan perasaat hatimu seperti ini kamu bisa belajar dengan baik "
Aku menjawab " insyaaallah bisa, yaa gimana lagi " .
Sahabatku yang ber 4 juga pernah bilang " jangan lah engkau menaruh curhatanmu dengan hatimu yang tidak
engkau percaya, ingatlah itu sobat ".
Telah lama sudah aku dan 4 sahabatku berlalu untuk berkerja kelompok ataupun kerja sama dalm bidang apapun
dan dalam pelajaran apapun. Sampai saat itu aku dan 4 sahabatku telah lulus sekolah.
Dimana aku di situ sudah sangat lega perasaan hatiku karena sudahku ucakpan pada ke 4 sahabatku yang bisa
mengerti aku, yang bisa faham dengan situasi, yang selalu mambantuku dan masih banyak lagi.
Hallo sahabatku, terimakasih yaa sudah menemaniku dan sudah rela memberi pendengaran curhatanku
kepadamu. Ingatlah wahai kawan ku, boleh engkau jadi pendiam untuk perasaan hatimu hingga hilang tawamu kepada
orang yang belum engkau percayai, dan silahlanlah engkau cerita dengan lantunan suara pediih perih curhatanmu kepada orang yang tepat dan dapat di percaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H