Palembang adalah salah satu kota di Sumatra Selatan yang memiliki jembatan khas berwarna merah yang dikenal dengan jembatan Ampera. Selain itu juga kota ini dikenal dengan makanan khasnya yaitu pempek kapal selam.
Awal tahun 2022 saya merantau ke kota Palembang. Tujuan saya merantau adalah untuk melanjutkan pendidikan saya yang sudah saya mulai sejak masa covid.
Ya, saya tau pasti setiap daerah memiliki bahsanya masing-masing yang menjadi bahasa Ibu bagi warga lokal. Bahasa tersebut juga terkadang dianggap kasar oleh beberapa warga pendatang karena pengucapan atau volume berbicara yang cukup kencang.
Padahal saya yakin warga lokal memiliki alasan tertentu mengapa ketika mereka berbicara menggunakan suara yang kencang.  yaaa... meskipun berbicara dengan suara kencang terkadang membuat orang yang belum  biasa mendengarnya merasa terkejut, atau bahkan takut.
Beberapa orang tentu saja akan merasa takut, terutama bagi warga pendatang. Kita biasa mendengar orang berbicara dengan suara yang cukup lembut dan dengan volume yang tidak terlalu besar.
Padahal yang sebenarnya terjadi itu bisa jadi berbicara dengan volume yang besar adalah suatu kebiasaan warga lokal yang turun temurun, dan lestari hingga saat ini.
Mungkin terdapat beberapa alasan lain yang menyebabkan mereka berbicara dengan volume yang cukup kencang. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Hal yang pertama bisa saja kebiasaan mereka sejak kecil yang dapat tercipta dari orang terdahulu atau yang biasa kita kenal dengan nenek moyang.
Kemudian jika kita melihat kilas balik pada penduduk Palembang yang tinggal di tepian sungai atau bahkan tinggal di rumah apung yang memiliki jarak antar rumah tidaklah terlalu jauh.
 Sehingga itu juga menjadi salah satu kemungkinan yang menyebabkan mereka berbicara dengan orang lain di rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan volume yang tinggi sehingga menghemat waktu untuk tidak berjalan ke rumah tersebut.
Beberapa dari mereka juga terbiasa ketika berpapasan dengan teman atau sanak saudara mereka akan menyapa, meskipun itu di tempat ramai mereka akan tetap menyapa.
 Dengan demikian maka kita dapat melihat bahwasanya ditengah keramaian maka harus berbicara dengan suara yang kencang agar orang yang mereka sapa dapat mendengar suaranya dan sapaannya.
Kemudian jika kita menyusuri banyak tempat di Palembang, maka kita juga menemui komplek-komplek toko, atau di pasar kebanggannya yaitu pasar 16 dan pasar apung.Â
Sampai di sini, teman-teman Kompasiana pasti bisa membayangkan ramainya toko, dan kedua pasar yang penulis sebutkan di atas.
Tentu saja setiap pedagang menginginkan dagangannya laku dan terjual habis. Apalagi bagi pedagang yang menjual barang yang tidak dapat bertahan berhari-hari. Seperti jajanan pasar atau berbagai hal lainnya.
Jelas, mereka ingin dagangannya segera terjual habis dan tidak ada kerugian yang ditanggung karena dagangan yang mereka sajikan tidak habis di hari itu juga.
Maka dapat disimpulkan bahwasanya mereka berbicara dengan volume yang kencang juga disebabkan karena terbiasa dengan kondisi disaat mereka sedang mengais rejeki dengan caranya yaitu berdagang.
Merasa terkejut atau kurang nyaman dengan suasana lingkungan yang baru bukanlah hal yang salah. Apalagi kita sebagai pendatang baru di suatu kota atau daerah tertentu.
Jadiiii... kita jangan langsung menilai suatu budaya orang lain itu buruk hanya dikarenakan suatu hal yang tidak kita sukai, ya.
Mari kita coba untuk menyusuri beberapa tempat untuk nongkrong, atau mengelilingi beberapa tempat yang unik di Palembang sebagai salah satu cara  kita untuk mengenal budaya Palembang.
Sebagai individu yang tinggal di Negara dengan berbagai budaya, maka kita juga  harus menghormati berbagai budaya yang ada di Negri ini juga. Semua budaya itu baik, kembali lagi kepada pandangan individu itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H