Bagi orang yang sudah kemaruk bermain judi, apapun bisa dijadikan untuk berjudi. Seperti beberapa teman kerja yang taruhan saat ada event bola (entah Piala Dunia, Piala Asia, Piala Presiden, dsb). Meski itu sebatas antar mereka sendiri, dengan menunjuk seseorang sebagai koordinatornya. Atau tanding mobil legend di mana yang kalah wajib transfer ke rekening pemenang. Bahkan yang lebih gila, moment pilpres pasca reformasi pun dijadikan bahan taruhan!
Dalam kehidupan sosial manapun, praktik perjudian adalah fenomena sosial yang senantiasa hadir. Derajatnya kalau kita mengacu pada falsafah Jawa, itu sejajar dengan beberapa penyakit sosial di masyarakat yang harus dijauhi, yang dikenal dengan istilah molimo.
Secara bahasa: moh /emoh artinya tidak mau dan limo adalah lima. Yang disingkat menjadi molimo. Falsafah molimo ini dikenalkan oleh Sunan Ampel yang mengajak kita untuk menjauhi dan tidak melakukan lima hal tercela dalam hidup. Yakni: moh main (tidak mau berjudi), moh ngombe (tidak mau minum-minuman keras/mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap madat/sekarang narkoba), moh madon (tidak mau main perempuan).
Relevansi dari ajaran molimo ini sejatinya lintas zaman dan lintas budaya. Karena penyakit sosial masyarakat itu tetap nyata hingga kini. Salah satunya fenomena judi yang pernah bergentayangan beberapa dekade di kampung penulis sendiri.
Dari Lotere Buntut hingga Judol
Di pertengahan tahun 1970-an. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, ada waktu-waktu tertentu ketika pulang sekolah, saya bersama beberapa teman suka dipanggil Pak Mantri  -sang juru kesehatan di kampung kami- ke ruang praktiknya. Bukan disuruh untuk minum obat cacing, apalagi disuntik cacar sebagaimana yang dilakukannya di halaman sekolah. Tetapi diminta menunjuk angka-angka di kalender. Secara sembarang tentu saja. Setelah itu Pak Mantri akan memberi kita masing-masing permen atau biskuit wafer bergambar Superman.
Kita tentu saja tidak tahu bahwa itu adalah cara Pak Mantri mengutak-atik angka untuk pasang Lotere Buntut. Yang oleh Nenek disebut Nalo kala mewanti-wanti Bapak, Paman, dan para cucu laki-laki dewasanya untuk tidak ikut-ikutan pasang lotere. Ikut-ikutan main judi. Tetapi saya tetap senang jika dipanggil Pak Mantri.
Kekhawatiran Nenek bukan tanpa alasan. Sebab agen Lotere Buntut ini sepanjang pagi hingga jelang isya membuka lapak mejanya di depan garasi bemo. Di pinggir jalan yang menjadi lalu lintas orang-orang kampungku yang mayoritas pedagang kecil dan buruh di pasar.
Di meja sang agen biasanya ada tumpukan buku stensilan tafsir mimpi/primbon dan buku berkolom seperti kalender sobek yang diselipkan selembar kertas karbon. Itulah kertas untuk orang yang pasang taruhan angka. Yang akan dicatat oleh si agen berpenampilan klimis serupa Pak Mantri. Hanya saja tak bersepatu. Tapi bersandal kulit buatan Tasik yang terkenal.
Mengadu untung dengan menebak-nebak angka itu seolah peralihan, shifting dari judi konvensional yang biasanya berupa sabung ayam, main kartu, atau permainan yang kerap muncul di hari raya Lebaran seperti rolet dan bingo. Sebab judi-judi konvensional tersebut kadang kalau sedang sial akan digaruk oleh aparat. Sementara pasang angka sepertinya aman sentosa. Â Â
Kenapa bisa begitu? Ternyata pasang lotere itu adalah 'membeli' undian berhadiah. Lazimnya permainan lotere di negara-negara Barat sana. Yang mana akan ada seseorang yang mendadak jutawan setelah memenangkan lotere yang diumumkan oleh negara. Dengan kata lain, pemerintahlah yang menjadi fasilitator lotere.