***
Undian berhadiah alias lotere secara resmi diluncurkan di era pemerintahan Soekarno sekitar tahun 1960-an lewat Yayasan Rehabilitasi Sosial dengan tujuan menghimpun dana masyarakat untuk menopang kegiatan-kegiatan sosial yang membutuhkan  biaya besar. Pengundian lotere ini dilakukan setiap bulan dengan hadiah tertinggi lima ratus ribu rupiah dan terendahnya antara sepuluh hingga dua puluh ribu rupiah. Besaran nominal yang pada masa itu tentunya sangat wah.
Di Jakarta, Gubernur Ali Sadikin bahkan membuat lotere sendiri dengan nama Nalo (Nasional Lotere) guna membiayai pembangunan Ibukota Jakarta.
Dua jenis undian inilah yang membonceng lahirnya Lotere Buntut, karena hanya menebak dua angka terakhir alias buntut dari undian resmi yang diselenggarakan negara. Dengan iming-iming hadiah di kisaran enam puluh hingga delapan puluh ribu rupiah. Kepopuleran Lotere Buntut sebagai judi model baru ini benar-benar bak wabah yang menjangkiti masyarakat bawah saat itu. Termasuk orang-orang di kampungku.
Masifnya peredaran Lotere Buntut sebagai lotere judi ilegal hingga ke desa-desa itu membuat pemerintah akhirnya mengeluarkan UU No.7/1974 tentang Penertiban Perjudian yang melarang segala praktik perjudian di seluruh Indonesia karena bertentangan dengan agama dan nilai-nilai moral Pancasila.
Untuk sementara, Lotere Buntut tiarap dan berganti dengan Togel yang konon merupakan akronim dari Toto Gelap. Karena mengacu ke undian Toto berhadiah di negara tetangga, Singapura. Judi ini dimainkan secara diam-diam di sebuah rumah dengan agen yang tetap sama. Termasuk cara bermainnya. Tetap dengan menebak dua angka terakhir alias buntut.
Sekalipun aparat rutin menggelar razia penyakit masyarakat itu, namun peminat dan penikmat judi buntut tak pernah berkurang. Bak candu yang bikin ketagihan. Meski sembunyi-sembunyi, judi Togel tetap laris dan menjadi buruan kaum lelaki dewasa di kampung kami. Termasuk Pak Mantri yang masih setia diam-diam meminta anak-anak menunjuk angka di kalender dan membagi permen atau biskuit wafer bergambar Superman.
Andai Karl Marx saat itu hidup di sana mungkin tesisnya bakal menjadi: Judi adalah candu.
          ***
Model undian berhadiah sebagai cara gampang menggalang dana masyarakat lagi-lagi menggoda pemerintah. Yang membuatnya kembali menjadi pelaku, fasilitator lotere undian berbau judi ini. Tahun 1978 Â -empat tahun setelah keluarnya UU yang melarang segala praktik perjudian- Â lahirlah Lotere Dana Harapan dengan nama SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) yang dikelola oleh sebuah badan usaha bernama Badan Usaha Undian Harapan.
Setahun kemudian (1979) badan usaha itu bersalin rupa lagi sebagai yayasan, Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) dengan produknya SSB (Sumbangan Sosial Berhadiah) yang diundi setiap dua minggu sekali. Kupon sumbangannya dinamai TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah) atau KSSB (Kupon Sumbangan Sosial Berhadiah) yang beroperasi pada tahun 1979 hingga 1988. Dalam kurun waktu yang sama (1986) beredar pula permainan Porkas (Pekan Olahraga dan Ketangkasan) yang fenomenal.