Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Asa Petani Ikan Hias yang Masih Tersisa

13 Februari 2024   10:57 Diperbarui: 14 Februari 2024   09:01 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Datanglah menjelang sore ke Situ Kemang di Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor. Sungguh kita akan disuguhi panorama indah kala matahari perlahan menuju peraduannya. 

Lembayung dengan merah jingga keemasannya tampak begitu indah di sisi kiri rangkaian Gunung Gede dan Gunung Salak.

Keindahan lembayung keemasan itu tak hanya menjadi penghias di langit senja. Namun juga menghiasi danau Situ Kemang yang menjadi sumber rezeki beberapa petani ikan hias di sana. 

Warna-warni  kontras antara pohon, jaring-jaring, dan patok-patok bambu sungguh menciptakan  efek bak wallpaper alam.

Akankah keindahan itu juga seindah harapan para petani ikan hias yang kini tinggal menyisakan 6 (enam) orang saja yang bertahan membudidayakan beberapa jenis ikan hias di danau yang secara tradisional 'terbagi' dua itu?

"Di ujung sini disebut Situ Cikuning dan di ujung sana disebut Situ Cigagu," ujar salah satu petani sambil menjelaskan juga kisah urban legend dari masing-masing penamaan danau yang sebenarnya berada dalam satu area danau yaitu: Situ Kemang.

Situ atau setu dalam bahasa Sunda artinya adalah danau.

***

Adalah Bapak Uung yang awalnya mengajak dan mengajari beberapa orang Kampung Pondok Udik untuk beternak ikan hias. 

Lelaki asal Citayam itu melihat peluang budidaya ikan hias sebagai komoditi yang bagus untuk memenuhi kebutuhan sentra pasar ikan hias Parung yang merupakan sentra pasar ikan hias terbesar di tanah air.

Usaha Bapak Uung tidak sia-sia. Tahun 2016, terbentuklah kelompok budidaya ikan (pokdakan) bernama Mitra Tani Mandiri sebagai organisasi yang berbadan hukum dengan akte notaris dan terdaftar secara register pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi

Kelompok tani ini pun pernah menjadi juara harapan dua tingkat provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2018 mendapat kehormatan menjadi tempat studi banding dari kelompok budidaya Provinsi Bangka Belitung. 

Pada tahun itu pula 5 (lima) orang anggota pokdakan Mitra Tani Mandiri diberangkatkan ke Purwakarta untuk studi banding ikan hias di sana.

"Tahun itu merupakan masa yang menyenangkan bagi para anggota. Selain mendapat uang saku saat studi banding, kita pun memperoleh pelatihan yang lebih terarah dari dinas, bantuan bibit, hingga tabung oksigen," kenang lelaki yang kini di-tua-kan di antara para petani ikan hias yang masih tersisa.

"Sekarang jangankan bantuan, perhatian saja kurang. Bahkan tidak ada!" tambahnya menjawab pertanyaan penulis.

Apalagi sejak Bapak Uung kembali ke Citayam, tak lagi terlibat dalam kelompok yang dirintisnya ini. Pun juga dengan kepemimpinan berikutnya yang secara berturut-turut tak lagi terjun dalam dunia budidaya ikan hias di Situ Kemang ini.

"Dan anggota kelompok tani ini bukannya bertambah seiring waktu, malah semakin berkurang. Dari 17 anggota aktif pokdakan  Mitra Tani Mandiri itu sekarang yang tersisa hanya tinggal 6 orang saja."

***

Permodalan dan kemampuan manajerial dalam berorganisasi sepertinya menjadi penyebab menurunnya kinerja pokdakan Mitra Tani Mandiri. Satu persatu anggota kelompok ini hengkang. Mencari peruntungan lain.

Legalitas kelompok sebagai organisasi berbadan hukum tak mampu dimaksimalkan untuk akses permodalan bagi anggota.

"Modal untuk satu running saja kurang lebih 400 ribu. Beli seribu ekor bibit ikan diperlukan 1 juta rupiah, belum untuk pakan," urainya.

Walhasil, mereka kerap harus 'pintar-pintar' mencari bos alias investor untuk mau menyuntikkan dananya di sana.

Ketiadaan pimpinan yang mampu mengarahkan jalannya roda kelompok membuat mereka bekerja sendiri-sendiri. Mengandalkan bibit berdasarkan trend di pasaran seperti yang diminta sang penanam modal. Apakah itu jenis black ghost, koki, redfin, green tiger, rambo, diskus, dll.

Sementara pengarahan dari Dinas Kelautan dan Perikanan seperti yang dulu pernah mereka terima kini tak lagi ada. Kecuali sekedar pendataan.

Entahlah, kenapa tidak ada program kerjasama atau binaan dari BUMN misalnya sebagaimana program CSR (Company Social Responsibility) mereka mengangkat pelaku usaha UKM makanan tradisional lewat pelatihan manajemen. 

"Kadang kami iri dengan pokdakan di Situ Cigagu yang punya aturan main jelas dalam budidaya ikan hiasnya."

Semoga keindahan Situ Kemang memberi warna indah kembali bagi para petani ikan hias, khususnya di belahan Situ Cikuning.

Bogor, 13 Februari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun