Walhasil, dalam era pascamodern dan pascakebenaran ini apa yang disebut dengan 'kebenaran' adalah narasi kecil yang berbasis emosi dan keyakinan daripada berbasis fakta (Herry Purnomo, 2021:234).
Akhirnya adagium bad news is good news menjadi rancu. Hoaks dengan segala digitalisasinya telah menjadi ancaman serius bagi demokrasi, utamanya juga bagi nilai-nilai kemanusiaan. Kebohongan yang meyakinkan akan lebih dipercaya publik daripada kebenaran yang tidak nyaman, seperti isu vaksinasi sebagai langkah preventif mengatasi pandemi covid-19 misalnya.
Kebohongan dan Mata Uang Sosial
Kini berita atau narasi palsu alias hoaks begitu mudah dan cepat tersebar. Hingga platform FaceBook bisa berubah menjadi FakeBook atau Twitter menjadi Twister akibat kuatnya jeratan keyakinan semu demi memupuk kekayaan baru yang bernama mata uang sosial.
Hal ini terjadi karena dalam diri manusia terdapat atau memiliki dua jenis sistem pola pikir. Pola pikir sistem satu yang digerakkan oleh insting atau naluri, di mana seseorang akan cepat merespons pesan-pesan yang datang tanpa perlu berpikir panjang. Semua dengan cepat dilakukan oleh sistem satu yang menempati 95% dari cara manusia berpikir (Kahneman, 2021, dalam de Chenecey, 2019:27-28).
Pola pikir sistem satu ini biasanya akan menjadi target dan lahan empuk bagi industri hoaks, kampanye politik hitam (black campaign), serta ujaran kebencian yang marak di media-media sosial.
Sebaliknya pola pikir sistem dua cenderung lambat dalam merespons karena digerakkan oleh pertimbangan yang matang dan logis. Pola pikir sistem ini senantiasa kritis mempertanyakan setiap pesan yang diterima. Tetapi sayangnya hanya menempati 5% saja dari cara manusia berpikir (de Chenecey, 2019:29).
Pola pikir sistem dua bukanlah target bagi pembuat industri hoaks sebab model ini selalu melakukan crosscheck terhadap sebuah informasi agar terbukti kesahihannya.
Dan di era pascamodern dan pascakebenaran sekarang inilah penyampaian sebuah pesan, berita, informasi telah menjadi 'mata uang sosial' alias social currency (Berger, 2014:28). Kenapa?
Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai keinginan untuk mendapat tempat terhormat dalam struktur sosial masyarakatnya. Orang-orang ingin dianggap paling hebat, pintar, gaul, up to date dengan segala informasi. Intinya menjadi selalu yang terdepan mendapatkan dan menyebarkan sebuah berita.
Untuk menjadi orang yang seperti itu tentunya butuh dan perlu uang sosial. Di mana cara mendapatkan uang sosial ini adalah dengan mengumpulkan dan menyampaikan berita/info lebih cepat daripada orang lain. Akibatnya, berita palsu pun mereka sebarkan agar dianggap pintar dan selalu terkini dalam setiap informasi.