Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mata Uang Sosial

18 Mei 2023   08:58 Diperbarui: 18 Mei 2023   09:05 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tulisan ini bukan untuk membahas soal dedolarisasi yang tengah ramai diperbincangkan dan mulai disikapi oleh beberapa negara. Bukan pula mengupas mata uang digital yang menjadi model baru dalam bertransaksi di era revolusi industri (revin) 4.0 ini. Namun lebih ke perilaku manusia dalam ruang media sosial buah perkawinan rezim pascamodern (postmodern) dan pascakebenaran (posttruth) sekarang.

Ini tak lepas dari uraian menarik dari sebuah buku yang ditulis Prof Dr Herry Purnomo, berjudul: Filsafat Sains, Intelektualisme, dan Riset untuk Perubahan. Pembahasan yang selama ini menjadi tanda tanya dalam diri akan fenomena sosial di tengah masyarakat yang begitu mudah menebar hoaks (berita palsu).

Ternyata semua ini diibaratkan sebuah mata uang. Ya, mata uang tersebut adalah mata uang sosial (social currency) yang begitu ampuh menjerat sekaligus membuat lupa daratan seperti halnya mereka yang mengumpulkan pundi-pundi uang -bahkan lewat hasil korupsi- untuk pamer diri (flexing).

Bahkan demi 'mengumpulkan' mata uang sosial ini, tanpa malu dan sungkan akan saling berebut cepat sebarkan hoaks. Kenapa bisa seperti itu?

Kabar Buruk itu Berita Baik

Adalah adagium dalam dunia jurnalistik dikenal bad news is good news. Kabar buruk merupakan berita yang baik untuk disebarkan. Contoh: yang ramai sekarang yakni berita tim ofisial sepakbola kita dikeroyok pemain dan ofisial Thailand pada perhelatan Sea Games ke-32 di Kamboja.

Pengeroyokan jelas berita kurang mengenakan (buruk) namun itu adalah berita yang menarik untuk disiarkan (baik). Atau tentang tragedi bus yang masuk jurang di tempat wisata Guci beberapa waktu lalu. Namun semua itu adalah fakta. Bukan rekayasa. Bukan hoaks.

Sementara hoaks adalah fake news alias berita bohong/palsu yang sengaja dibuat atau kebenaran yang secara sadar dimanipulasi. Semuanya ini parahnya telah menjadi ladang bisnis sebagai organized misinformation. Diantaranya yang populer dengan sebutan para buzzer rupiah. Baik buzzer di kelompok sana maupun buzzer di kelompok sini. Tak jauh beda, sama saja.

Para akademisi menyebut gejala ini sebagai era pascamodern (postmodern) dan pascakebenaran (posttruth).

Pascamodern dianggap menihilkan kebenaran yang bersifat universal dan juga narasi-narasi besar (metanarratives). Menggantinya dengan narasi-narasi lebih kecil, sempit (little narratives) yang kebenarannya terletak pada keadaan/kondisi yang menyertainya.

Sementara pascakebenaran disebut tak lagi mementingkan fakta,  tetapi lebih pada emosi dan keyakinan.

Walhasil, dalam era pascamodern dan pascakebenaran ini apa yang disebut dengan 'kebenaran' adalah narasi kecil yang berbasis emosi dan keyakinan daripada berbasis fakta (Herry Purnomo, 2021:234).

Akhirnya adagium bad news is good news menjadi rancu. Hoaks dengan segala digitalisasinya telah menjadi ancaman serius bagi demokrasi, utamanya juga bagi nilai-nilai kemanusiaan. Kebohongan yang meyakinkan akan lebih dipercaya publik daripada kebenaran yang tidak nyaman, seperti isu vaksinasi sebagai langkah preventif mengatasi pandemi covid-19 misalnya.

Kebohongan dan Mata Uang Sosial

Kini berita atau narasi palsu alias hoaks begitu mudah dan cepat tersebar. Hingga platform FaceBook bisa berubah menjadi FakeBook atau Twitter menjadi Twister akibat kuatnya jeratan keyakinan semu demi memupuk kekayaan baru yang bernama mata uang sosial.

Hal ini terjadi karena dalam diri manusia terdapat atau memiliki dua jenis sistem pola pikir. Pola pikir sistem satu yang digerakkan oleh insting atau naluri, di mana seseorang akan cepat merespons pesan-pesan yang datang tanpa perlu berpikir panjang. Semua dengan cepat dilakukan oleh sistem satu yang menempati 95% dari cara manusia berpikir (Kahneman, 2021, dalam de Chenecey, 2019:27-28).

Pola pikir sistem satu ini biasanya akan menjadi target dan lahan empuk bagi industri hoaks, kampanye politik hitam (black campaign), serta ujaran kebencian yang marak di media-media sosial.

Sebaliknya pola pikir sistem dua cenderung lambat dalam merespons karena digerakkan oleh pertimbangan yang matang dan logis. Pola pikir sistem ini senantiasa kritis mempertanyakan setiap pesan yang diterima. Tetapi sayangnya hanya menempati 5% saja dari cara manusia berpikir (de Chenecey, 2019:29).

Pola pikir sistem dua bukanlah target bagi pembuat industri hoaks sebab model ini selalu melakukan crosscheck terhadap sebuah informasi agar terbukti kesahihannya.

Dan di era pascamodern dan pascakebenaran sekarang inilah penyampaian sebuah pesan, berita, informasi telah menjadi 'mata uang sosial' alias social currency (Berger, 2014:28). Kenapa?

Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai keinginan untuk mendapat tempat terhormat dalam struktur sosial masyarakatnya. Orang-orang ingin dianggap paling hebat, pintar, gaul, up to date dengan segala informasi. Intinya menjadi selalu yang terdepan mendapatkan dan menyebarkan sebuah berita.

Untuk menjadi orang yang seperti itu tentunya butuh dan perlu uang sosial. Di mana cara mendapatkan uang sosial ini adalah dengan mengumpulkan dan menyampaikan berita/info lebih cepat daripada orang lain. Akibatnya, berita palsu pun mereka sebarkan agar dianggap pintar dan selalu terkini dalam setiap informasi.

Mereka menganggap bahwa ketika berhasil mengumpulkan uang sosial yang banyak, maka status sosial mereka dalam dunia digital akan naik. Sebagaimana orang yang berkelimpahan uang akan naik status sosialnya. Maka mata uang sosial juga perlu untuk menaikkan status sosial di dunia maya.

Bukan tanpa alasan manakala penulis buku ini mengingatkan: ketika hoaks yang disengaja merajalela baik di lingkungan akademik maupun masyarakat, maka itu adalah tanda menurunnya intelektualisme bangsa ini.

Bogor, 18 Mei 2023

          

            

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun