Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Jurus Lukis Pendekar Dusun Cidadap

4 Mei 2023   13:12 Diperbarui: 4 Mei 2023   14:47 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah buku katalog pameran lukisan berwarna krem bergambar lima ekor kelinci putih yang imut-imut tergeletak di antara tumpukan buku di meja kerja teman yang berprofesi sebagai ilustrator buku-buku penelitian.

"Ambil saja kalau suka. Itu kan katalog teman kita, waktu pameran di Singapura," ujar si ilustrator begitu saya mulai membolak-balik halaman katalog.

"Siapa?"

"Omay!"

Katalog lama tahun 2011 itu sungguh sebuah kejutan. Sebab tak tertulis nama Omay di sana. Tapi Cheng Shui, dengan foto wajah Omay yang tertera jelas di halaman dua. Benarkah ini Omay yang pernah saya kenal? Kenapa tiba-tiba jadi Cheng Shui? Apakah karena gaya lukisannya yang beraliran chinese art painting membuatnya harus berganti nama?

                    ***

Secara pribadi, saya pertama kali mengenal Omay di awal tahun 2000. Saat ikut nongkrong bareng beberapa pelukis yang berkreasi di depan Kantor Pos Kebun Raya Bogor. Sempat juga beberapa kali main ke rumahnya yang terpencil itu. Menyaksikan aktivitas melukisnya. Termasuk melihat koleksi beberapa buku katalog seni di kamarnya yang sempit.

Karena urusan pekerjaan dan harus keluar daerah, akhirnya saya tak pernah bertemu dan kehilangan kontak selama dua dasawarsa. Hingga suatu hari usai keliling melihat-lihat villa di daerah Puncak yang hendak kami sewa untuk acara kantor, saya menyempatkan diri mampir ke rumahnya.

Sungguh tak menyangka, lelaki bertubuh kecil itu telah bermetamorfosa sebagai 'Mang Omay' yang cukup dihormati di kampung yang masih tetap sejuk dan hijau tersebut.

Namun pertemuan di rumah barunya yang besar, yang berseberangan dengan rumah lamanya yang kecil itu tak berlangsung lama. Saya harus kembali urusan kerja.

Hingga akhirnya, berbekal buku katalog Cheng Shui Exhibition, saya kembali menemuinya di rumah besarnya yang terpencil itu. Persisnya di sisi turunan yang susah dilalui motor di saat hujan. Bukan karena jalannya masih tanah becek. Namun jalan bersemen itu lumayan curam, kecil, dan hanya cukup dilewati satu motor. Alhasil motor -apalagi mobil- harus parkir di atas. Padahal jalur masuk dari jalan besar (Gadog-Gunung Geulis) mengingatkan saya akan suasana sudut Ubud yang sejuk dengan pohon-pohon bambunya. 

"Kita ngobrol di saung saja," ajak Mang Omay yang kini telah dikaruniai tiga orang anak.

Rupanya saung yang dimaksud adalah studio-nya yang bergaya rumah panggung. Tersembunyi di antara rumah-rumah dan kebun. Berjarak kurang lebih dua ratus meter dari rumah besarnya. Sungguh asri dengan kolam ikan di sekelilingnya yang bertabur bunga-bunga water lily ungu tengah bermekaran. Berpadu gemericik air yang tiada henti.

Panta Rhei

Lazimnya di kampung, seseorang (untuk laki-laki) yang dihormati biasanya digelari Emang atau Mang sebagai sapaan. Entah itu guru ngaji, guru silat, juru kawih, dan bengkong (juru sunat). Dan teman saya ini memiliki tiga atribusi yang membuatnya lebih dari layak untuk disapa Mang. Yakni sebagai guru ngaji, guru silat, sekaligus seniman lukis.

Omay adalah nama panggilannya dari kecil. Nickname dari May Ismaya, nama Sunda-nya. Dari pilihan nama itu sudah menunjukkan ke-linuwih-an. Karena Ismaya adalah nama lain dari Semar. Tokoh dalam dunia pewayangan yang dikenal bijaksana, pengayom para ksatria. Dan lelaki yang selalu terlihat tenang ini sejatinya juga mengasuh, mengayomi para anak didik yang belajar mengaji, silat, bahkan melukis kepadanya.

Seperti kisah Sanghyang Ismaya, sang bhatara yang harus turun ke Marcapada dan bersalin rupa menjadi Semar. Pun juga dengan Mang Omay yang serasa pituin Sunda seperti yang saya duga selama ini ternyata berdarah Tionghoa dari sang ayah.

"Saya ini sejatinya orang suci, Sunda-Cina. Ibu Sunda, Bapak Cina!" guraunya.

Dan sang ayah-lah, Ong Ah Min yang selalu mendorongnya untuk aktif di kegiatan-kegiatan komunitas Muslim Tionghoa. Membuahkan kedekatannya dengan Ali Karim Oey, anak dari Abdul Karim Oey, pendiri Masjid Lautze. Termasuk juga aktif di PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) dan berteman karib dengan almarhum Anton Medan (Tan Hok Liang). Keterlibatan yang begitu intens membuatnya makin kental secara reliji.

Sebagai peranakan yang bermarga Ong dan masih menghormati tradisi, May Ismaya alis Mang Omay pun tetap menggunakan nama Tionghoa di KTP, yaitu Ong Cheng Shui. Nama yang menjadi brand karya lukisnya yang telah berhasil menembus jagad seni lukis modern dan kontemporer Indonesia bahkan Asia (MutualArt). Membuatnya sejajar dengan para pendekar seni lukis tanah air. Sebagaimana yang dikupas apik oleh kurator kenamaan negeri ini, Agus Dermawan T lewat tulisannya Cheng Shui Menggubah Estetika "Cengli".

"Bagi saya hidup itu ya mengalir saja seperti air. Jalannya air itulah yang mempertemukan saya dengan semua ini. Mengajar ngaji, mengajar silat, hingga menjadi pelukis sebagai mata pencaharian," ungkapnya ketika ditanya tentang perjalanan hidupnya.

Panta rhei kai uden menei, begitu kata Herakleitos (540-480 SM), filsuf Yunani Kuno pra-Socratik. Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal/tetap.

Dan Cheng Shui telah membuktikan itu. Kecuali satu hal yang tetap. Kampungnya! Dia tetap tinggal di dusun kelahirannya. Dusun Cidadap, Desa Pasir Angin, Megamendung-Bogor. Mengasuh, mengajar, dan berkesenian di sana.

Berkat Dua Jurus

Dalam tradisi Sunda, ada tiga pilar sebagai pedoman hidup. Ngaos, mamaos, dan maenpo. Ngaos artinya mengaji. Belajar agama, terutama belajar membaca Alquran. Namun esensinya tak hanya membaca Alquran semata, akan tetapi juga membaca diri sendiri (ngaji diri), dan lingkungan. Mamaos artinya bersenandung, baik dalam bentuk pupuh atau pun sinom. Sebagai ungkapan sarat makna yang merujuk pada ajakan sekaligus menghargai seni, keindahan untuk membentuk kehidupan yang lebih baik. Maenpo artinya main silat. Wujud kekuatan yang memberi gambaran bahwa hidup itu sebuah kompetisi namun tetap saling menghargai (sportivitas).

Tiga pilar kearifan lokal ini terasa sangat pas dengan lakon hidup Mang Omay alias Cheng Shui. Dia telah dan masih menjalani semuanya. Terus mengasah tiga ajimat karuhun  sebagai pegangan. Dengan terus mengajar dan mengajar. Baik ngaji, silat, dan melukis.                

"Padahal saya tak punya kemampuan sebagai pendidik. Saya hanya tamatan sekolah dasar. Yang terdorong untuk membantu ekonomi keluarga yang serba kekurangan. Kalaupun sekarang seperti ini, semuanya adalah semata-mata anugerah dari Allah," sambungnya.

Seperti dalam dunia seni lukis yang digelutinya. "Anggap saja  itu sebagai jurus lewat kuas dalam kompetisi hidup. Dalam dunia silat diajarkan kelenturan. Dalam dunia lukis pun harus lentur memainkan kuas. Dua jurus itu jadi jalan hidup yang juga harus lentur. Tidak kaku. Handap asor kalau dalam bahasa Sunda," ujarnya kembali.

Ketekunannya dalam dunia seni  lukis yang kini menjadi tumpuan hidupnya karena bermodal keyakinan yang kuat. "Saya suka menggambar, dan sadar punya kemampuan itu. Dengan menerima pesanan lukis wajah, kaligrafi, bahkan melukis di dinding vihara  untuk menghidupi keluarga."

Dia awalnya menggambar apa saja sebagai obyek yang semuanya tentu saja bercorak realis. Bahkan wujud Petruk yang dilukisnya di tembok pos ronda sangat realis, jauh dari kesan tokoh wayang.

Pergulatannya dengan beragam aliran seni lukis, akhirnya mengantarkan dirinya yang belajar melukis secara otodidak itu disebut-sebut sebagai penerus -bahkan dianggap sebagai reinkarnasi-  Lee man Fong (1913-1988). Sang maestro yang pada tahun 1962 ditunjuk oleh Presiden Sukarno sebagai Pelukis Istana, menggantikan pelukis Dullah dan diberi tugas khusus menyusun buku: Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno (Lee Man Fong: Oil Paintings, Volume I, 2005 Art Retreat Ltd, Singapore).

"Gaya chinese western art Lee Man Fong sangat sulit ditiru. Karena itu gaya memesona ini tak punya banyak pengikut selama puluhan tahun. Namun kini lukisan-lukisan Cheng Shui hadir sebagai reinkarnasi," tulis Agus Dermawan T.

Bukan suatu kebetulan antara Cheng Shui dan Man Fong dipertemukan pada prinsip yang sama dalam berkesenian. Sosok Man Fong dikenal sebagai sosok yang 'biasa-biasa saja'. Bukan sosok seniman yang menyemburkan hasrat  dan pretensi yang menggerakkan. Ia tak peduli namanya dicatat atau tidak oleh waktu. Dirinya diabdikan dan bekerja untuk seni. Yang berjalan bagai air yang mengalir saja.

Kini karya-karya chinese art-nya Cheng Shui telah menembus ruang-ruang pameran galeri di Jakarta dan Bali hingga ke Singapura. Ditawarkan sejumlah biro lelang serta  menjadi buruan para kolektor seni, salah satunya tokoh politik seperti Fadli Zon.

"Mereka yang tak kebagian lukisan Lee Man Fong, atau merasa berat dengan harga lukisan Lee Man Fong, akan menarik lukisan Cheng Shui sebagai gantinya. Itu wajar, bahkan begitu seharusnya," kata Benny O Raharjo, pengelola biro lelang.

"Di kala lukisan Lee Man Fong semakin langka, Cheng Shui seperti memberikan hadiah kepada para penggemar lukisan. Suatu upaya pengoleksian yang lebih terhormat dibanding memajang lukisan yang memalsukan karya Lee Man Fong," kata Affendie Sastra, kolektor dan investor seni yang sangat menggemari karya Cheng Shui.

Pada bulan Maret dan April 2023 lalu, kembali karya-karya Cheng Shui ikut meramaikan Painting Exhibition Sense of Arts di Gandaria City yang diikuti lebih dari 50 pelukis ternama tanah air.

Bogor, 4 Mei 2023

Referensi:

-Cheng Shui Exhibition, Organized by Mayura Gallery 2011, Masterpiece-Singapore

-Agus Dermawan T, Cheng Shui Menggubah Estetika "Cengli"

-Lee Man Fong: Oil Paintings, Volume I, 2005 Art Retreat Ltd, Singapore

 

     

            

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun