Panta rhei kai uden menei, begitu kata Herakleitos (540-480 SM), filsuf Yunani Kuno pra-Socratik. Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal/tetap.
Dan Cheng Shui telah membuktikan itu. Kecuali satu hal yang tetap. Kampungnya! Dia tetap tinggal di dusun kelahirannya. Dusun Cidadap, Desa Pasir Angin, Megamendung-Bogor. Mengasuh, mengajar, dan berkesenian di sana.
Berkat Dua Jurus
Dalam tradisi Sunda, ada tiga pilar sebagai pedoman hidup. Ngaos, mamaos, dan maenpo. Ngaos artinya mengaji. Belajar agama, terutama belajar membaca Alquran. Namun esensinya tak hanya membaca Alquran semata, akan tetapi juga membaca diri sendiri (ngaji diri), dan lingkungan. Mamaos artinya bersenandung, baik dalam bentuk pupuh atau pun sinom. Sebagai ungkapan sarat makna yang merujuk pada ajakan sekaligus menghargai seni, keindahan untuk membentuk kehidupan yang lebih baik. Maenpo artinya main silat. Wujud kekuatan yang memberi gambaran bahwa hidup itu sebuah kompetisi namun tetap saling menghargai (sportivitas).
Tiga pilar kearifan lokal ini terasa sangat pas dengan lakon hidup Mang Omay alias Cheng Shui. Dia telah dan masih menjalani semuanya. Terus mengasah tiga ajimat karuhun sebagai pegangan. Dengan terus mengajar dan mengajar. Baik ngaji, silat, dan melukis.        Â
"Padahal saya tak punya kemampuan sebagai pendidik. Saya hanya tamatan sekolah dasar. Yang terdorong untuk membantu ekonomi keluarga yang serba kekurangan. Kalaupun sekarang seperti ini, semuanya adalah semata-mata anugerah dari Allah," sambungnya.
Seperti dalam dunia seni lukis yang digelutinya. "Anggap saja  itu sebagai jurus lewat kuas dalam kompetisi hidup. Dalam dunia silat diajarkan kelenturan. Dalam dunia lukis pun harus lentur memainkan kuas. Dua jurus itu jadi jalan hidup yang juga harus lentur. Tidak kaku. Handap asor kalau dalam bahasa Sunda," ujarnya kembali.
Ketekunannya dalam dunia seni  lukis yang kini menjadi tumpuan hidupnya karena bermodal keyakinan yang kuat. "Saya suka menggambar, dan sadar punya kemampuan itu. Dengan menerima pesanan lukis wajah, kaligrafi, bahkan melukis di dinding vihara  untuk menghidupi keluarga."
Dia awalnya menggambar apa saja sebagai obyek yang semuanya tentu saja bercorak realis. Bahkan wujud Petruk yang dilukisnya di tembok pos ronda sangat realis, jauh dari kesan tokoh wayang.
Pergulatannya dengan beragam aliran seni lukis, akhirnya mengantarkan dirinya yang belajar melukis secara otodidak itu disebut-sebut sebagai penerus -bahkan dianggap sebagai reinkarnasi- Â Lee man Fong (1913-1988). Sang maestro yang pada tahun 1962 ditunjuk oleh Presiden Sukarno sebagai Pelukis Istana, menggantikan pelukis Dullah dan diberi tugas khusus menyusun buku: Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno (Lee Man Fong: Oil Paintings, Volume I, 2005 Art Retreat Ltd, Singapore).
"Gaya chinese western art Lee Man Fong sangat sulit ditiru. Karena itu gaya memesona ini tak punya banyak pengikut selama puluhan tahun. Namun kini lukisan-lukisan Cheng Shui hadir sebagai reinkarnasi," tulis Agus Dermawan T.