Hingga akhirnya, berbekal buku katalog Cheng Shui Exhibition, saya kembali menemuinya di rumah besarnya yang terpencil itu. Persisnya di sisi turunan yang susah dilalui motor di saat hujan. Bukan karena jalannya masih tanah becek. Namun jalan bersemen itu lumayan curam, kecil, dan hanya cukup dilewati satu motor. Alhasil motor -apalagi mobil- harus parkir di atas. Padahal jalur masuk dari jalan besar (Gadog-Gunung Geulis) mengingatkan saya akan suasana sudut Ubud yang sejuk dengan pohon-pohon bambunya.Â
"Kita ngobrol di saung saja," ajak Mang Omay yang kini telah dikaruniai tiga orang anak.
Rupanya saung yang dimaksud adalah studio-nya yang bergaya rumah panggung. Tersembunyi di antara rumah-rumah dan kebun. Berjarak kurang lebih dua ratus meter dari rumah besarnya. Sungguh asri dengan kolam ikan di sekelilingnya yang bertabur bunga-bunga water lily ungu tengah bermekaran. Berpadu gemericik air yang tiada henti.
Panta Rhei
Lazimnya di kampung, seseorang (untuk laki-laki) yang dihormati biasanya digelari Emang atau Mang sebagai sapaan. Entah itu guru ngaji, guru silat, juru kawih, dan bengkong (juru sunat). Dan teman saya ini memiliki tiga atribusi yang membuatnya lebih dari layak untuk disapa Mang. Yakni sebagai guru ngaji, guru silat, sekaligus seniman lukis.
Omay adalah nama panggilannya dari kecil. Nickname dari May Ismaya, nama Sunda-nya. Dari pilihan nama itu sudah menunjukkan ke-linuwih-an. Karena Ismaya adalah nama lain dari Semar. Tokoh dalam dunia pewayangan yang dikenal bijaksana, pengayom para ksatria. Dan lelaki yang selalu terlihat tenang ini sejatinya juga mengasuh, mengayomi para anak didik yang belajar mengaji, silat, bahkan melukis kepadanya.
Seperti kisah Sanghyang Ismaya, sang bhatara yang harus turun ke Marcapada dan bersalin rupa menjadi Semar. Pun juga dengan Mang Omay yang serasa pituin Sunda seperti yang saya duga selama ini ternyata berdarah Tionghoa dari sang ayah.
"Saya ini sejatinya orang suci, Sunda-Cina. Ibu Sunda, Bapak Cina!" guraunya.
Dan sang ayah-lah, Ong Ah Min yang selalu mendorongnya untuk aktif di kegiatan-kegiatan komunitas Muslim Tionghoa. Membuahkan kedekatannya dengan Ali Karim Oey, anak dari Abdul Karim Oey, pendiri Masjid Lautze. Termasuk juga aktif di PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) dan berteman karib dengan almarhum Anton Medan (Tan Hok Liang). Keterlibatan yang begitu intens membuatnya makin kental secara reliji.
Sebagai peranakan yang bermarga Ong dan masih menghormati tradisi, May Ismaya alis Mang Omay pun tetap menggunakan nama Tionghoa di KTP, yaitu Ong Cheng Shui. Nama yang menjadi brand karya lukisnya yang telah berhasil menembus jagad seni lukis modern dan kontemporer Indonesia bahkan Asia (MutualArt). Membuatnya sejajar dengan para pendekar seni lukis tanah air. Sebagaimana yang dikupas apik oleh kurator kenamaan negeri ini, Agus Dermawan T lewat tulisannya Cheng Shui Menggubah Estetika "Cengli".
"Bagi saya hidup itu ya mengalir saja seperti air. Jalannya air itulah yang mempertemukan saya dengan semua ini. Mengajar ngaji, mengajar silat, hingga menjadi pelukis sebagai mata pencaharian," ungkapnya ketika ditanya tentang perjalanan hidupnya.