Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rokok Mahal Bukan Soal, Ini Soal Hiburan

30 Maret 2023   08:11 Diperbarui: 30 Maret 2023   08:15 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kenaikan cukai rokok yang terus melambung tinggi dengan alasan untuk membatasi konsumsi rokok di tengah masyarakat ternyata tak hanya melahirkan rokok-rokok ilegal yang tanpa cukai. Namun juga menumbuhkan kembali gairah permintaan tembakau rajangan sebagai bahan baku pembuatan rokok manual yang dulu hanya diminati kalangan usia lanjut.

Tidak saja penjualan secara langsung di toko-toko tradisional tetapi layanan on line shopping (olshop) kebutuhan pembuatan rokok manual semua tersedia. Mulai dari alat cetak rokok sederhana dari kayu, tembakau, serat filter, hingga kertas rokok.

"Yang mahal hanya alat cetaknya saja, 25 ribu! Tapi harga modal itu tak beda jauh dengan sebungkus rokok para tengkulak sayur Pasar Bogor. Beda sedikitlah," ujar Rizal (30) yang pagi itu  -ditemui seminggu sebelum masuk bulan Ramadan-  tengah asik melinting rokok yang selintas mirip rokok  berlogo A yang pernah trend di kalangan anak muda.  

"Alat ini juga bisa dipakai rame-rame. Tinggal bawa tembakau, filter, kertas, dan lem. Sudah selesai," imbuhnya diamini dua rekannya yang datang untuk mancing bersama.

"Hari ini kita bikin agak banyak karena mau mancing di Cisadane," sambungnya.

Menurut pengakuannya, dalam sehari dia melinting rata-rata 14-15 batang rokok. Sebanding dengan kebiasaannya mengonsumsi satu bungkus rokok  per hari.

"Dahulu masih mampulah kita beli sehari sebungkus. Sekarang mana sanggup! Sekalipun ada rokok cebanan sebungkus, ya mending bikin sendiri. Murah meriah," Rizal kembali menambahkan.

Hiburan

Bagi Rizal dan teman-temannya yang pekerja sektor informal, harus pandai-pandai menyiasati ketika harga rokok mencekik. Mereka bukannya tidak tahu bahwa mengonsumsi rokok berbahaya bagi kesehatan.

"Mau bagaimana lagi. Kalau lagi suntuk kan lebih enak merokok. Jadi lebih rileks dibanding ngelamun malah jadi stress," ucapnya enteng.

Dengan pendapatan yang rata-rata kurang dari lima puluh ribu per hari, beban kenaikan rokok bagi Rizal dan orang-orang seprofesinya terasa sangat menyakitkan.

"Udah mah kebutuhan makan naik melulu. Eh sekarang malah diikuti rokok yang tambah mahal aja kayak daging," keluh Rizal.

"Sementara hiburan kita ya merokok. Baik sendiri maupun bersama-sama," sela rekan Rizal yang kini gantian melinting rokok.

Siasat agar tetap punya "hiburan", melepaskan sejenak dari kepenatan memenuhi kebutuhan hidup akhirnya diperoleh dari sebuah kotak sederhana pembuat rokok. Sebuah kotak kayu yang sekian puluh tahun lalu, saat Rizal masih bocah kerap melihatnya di rumah Aki Usin yang setiap pagi membuat rokoknya sendiri di teras rumah.

"Dan saya kadang disuruh Aki beli tembakau sama kertasnya di toko Babah Bun Tong," kenang Rizal.

Entah deja vu atau bukan, bagi Rizal ini tak ubahnya ibarat mesin waktu yang mundur kembali. Membeli kelengkapan pembuatan rokok "tempo doeloe" namun lewat kecanggihan alat komunikasi.

"Dengan HP kita pesan alat cetak tembakau, filter, dan kertasnya. Kalau ga ada pulsa ya pergi ke Empang," tukas Rizal sambil menyebutkan bahwa toko di kawasan peranakan Arab Kota Bogor itu adalah salah satu toko yang paling lengkap untuk kebutuhan membuat rokok mandiri.

Secara hitungan kasar,  membuat rokok manual memang jauh lebih murah. Mereka tak pusing harus menyisihkan pendapatan hari itu untuk sebungkus rokok yang harganya bisa seperempat atau setengah dari pendapatan harian mereka yang tak menentu.

Pengeluaran terbesar memang terjadi di awal, seperti pembelian alat cetak yang 25 ribu rupiah itu. Namun itu sudah diantisipasi di antara sesama teman perokok.

"Intinya dengan modal 35-40 ribu, rata-rata akan habis dalam satu bulan. Tapi biasanya kita tidak menunggu benar-benar habis. Sebab kalau ada uang lebih, bisa dibelanjakan tembakau lagi. Sesuai kebutuhanlah," pungkas Rizal. Artinya mereka hanya keluar  uang untuk rokok rata-rata di kisaran kurang dari seribu lima ratus rupiah per harinya.

Kini mereka mulai bisa kembali sedikit menghibur diri di tengah himpitan ekonomi yang makin tak menentu. Cukup puas bisa  meyiasati kenaikan harga tanpa harus teriak-teriak menuntut keadilan.

Sementara di tempat lain, ada yang tengah gundah dan gelisah. Karena hiburan mereka lewat flexing, pamer gaya hedon di medsos kini tak lagi leluasa, salah-salah bisa "dirujak" netizen.

"Cobain Kang, ga beda jauh ko dengan rokok-rokok di warung," Rizal menawarkan rokoknya yang sudah tersusun rapi di wadah kaleng merk rokok ternama.

Wajah Rizal dan dua temannya tampak bahagia. Bersiap-siap dengan hiburan lain yakni mancing ikan di Sungai Cisadane.

Bogor, 27 Maret 2023

     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun