Apa yang paling asik dinikmati kala turun hujan? Ya, ngopi-lah. Apalagi tinggal di Kota Bogor yang dikenal dengan sebutan sebagai Kota Hujan. Warganya pasti suka minum kopi. Jadi tak heran, meskipun merupakan kota kecil (11,850 Ha) dengan 6 (enam) kecamatan dan 68 (enam puluh delapan) kelurahan serta dihuni oleh lebih dari 1 juta penduduk, namun kota ini punya empat nama besar produsen kopi yang menjadi kebanggaan urang Bogor. Salah satunya yang paling tua adalah kopi bubuk Bah Sipit Cap Kacamata yang berlokasi di Kelurahan Empang, Bogor.
Dengan tingkat curah hujannya yang terbilang tinggi, Kota Bogor secara geografis bukanlah penghasil kopi seperti halnya daerah Lampung, Toraja, Gayo, Malabar, atau pun Bali. Mungkin kita bisa meminjam analogi negara AS yang bukan negara penghasil kopi seperti halnya Brazil, namun memiliki brand kopi yang sangat terkenal ke seluruh dunia. Bahkan menjadi bagian dari gaya hidup kalangan 'crazy rich'.
Dalam tataran lokal, seperti itulah yang terjadi di Kota Bogor yang bukan daerah penghasil kopi, tapi bisa memiliki lebih dari satu brand kopi terkenal yang masing-masing mempunyai penggemar fanatiknya sendiri. Seperti kopi Bah Sipit Cap Kacamata ini.
"Keberadaan kopi Bah Sipit Cap Kacamata ini sangat terkait erat dengan pemukiman peranakan Arab di wilayah Empang yang secara tradisi gemar minum kopi," ungkap Abdullah Batarfie, pemerhati sejarah dan kebudayaan Empang sekaligus penggemar fanatik kopi Bah Sipit.
          ***
Etnis Arab memang tak bisa dipisahkan dengan sejarah kopi, hingga salah satu varietas kopi pun dinisbatkan dengan namanya, yaitu kopi Arabika (coffea arabica). Konon varietas kopi yang asalnya dari Ethiopia itu selain disebut sebagai kopi Arab, juga disebut kopi gunung atau kopi semak Arab, dan merupakan spesies kopi pertama yang dibudidayakan bangsa Arab di wilayah Yaman.
Sementara etnis Cina/Tionghoa sangat identik dengan tradisi minum teh (cha dao). Bahkan ada ritual upacara minum teh (gongfu cha) yang begitu rumit sejak masa Kekaisaran Shen Nung (300 SM). Begitu kuatnya tradisi minum teh di kalangan etnis ini hingga Lu Yu (733-804), sang penulis Klasika Teh sampai didapuk sebagai Dewa Teh.
Di sinilah keunikan itu terjadi. Kepiawaian peranakan Cina/Tionghoa dalam membaca peluang berbisnis kopi di Kota Hujan ini. Salah satunya adalah Yoe Hong Keng (1902-1985) alias Babah Sipit yang meski secara tradisi, mereka lebih dekat dengan tradisi minum teh-nya.
Keberadaan komunitas Arab dan Sunda yang gemar minum kopi, membuat lelaki bermarga Yoe ini mulai berjualan kopi di rumahnya yang sekaligus menjadi gerai/toko kopinya.
Sejak pertama kali dirintis pada tahun 1925, dan sudah menjelang satu abad usianya, kopi ini tetap eksis dan menjadi salah satu kopi kebanggaan warga Kota Bogor, khususnya warga Empang dan sekitarnya. Ciri khas tokonya masih mempertahankan gaya toko tempo doeloe dengan lemari-lemari kayu sebagai rak atau etalase untuk jejeran kopi-kopi dalam berbagai ukuran.
Asal Mula Cap Kacamata
Awalnya penjualan kopi bubuk dari jenis Arabika dan Robusta itu dijual dengan bungkus yang polos tanpa merk. Namun orang-orang kerap menyebutnya dengan nama kopi Babah Sipit atau Bah Sipit, sapaan akrab Yoe Hong Keng. Karena sang penjual yang peranakan Cina/Tionghoa secara fisik dikenal bermata sipit, selain berkulit kuning langsat. Pada saat itu lumrah orang menyebut dengan ciri fisik tanpa bermaksud merendahkan.
Hal ini dibenarkan oleh Nancy Wahyuni Yusuf, ST yang merupakan generasi ketiga dari pemilik toko kopi ini dengan mengabadikannya sebagai nama toko kopinya.
Menurut keterangan Abdullah Batarfie kembali, pada tahun 1950-an ketika muncul alat cetak dan trend bungkus dengan merk yang dicetak, Babah Sipit menemui sahabatnya, Muhammad Bawael. Kebetulan rumah mereka tidak begitu jauh jaraknya. Kepada karibnya yang memiliki usaha cetak itu, Babah Sipit menceritakan maksudnya. Dia ingin bungkus kopinya pun dicetak namun belum tahu capnya apa. Saat itu istilah yang digunakan untuk sebuah merk dagang adalah cap.
Akhirnya Muhammad Bawael mengusulkan, bagaimana kalau kacamata Babah Sipit sendiri yang digunakan sebagai merk dagang atau capnya. Karena kacamata itu mengingatkan pada panggilan akrab Babah yang matanya sipit. "Jadilah Cap Kacamata menjadi trade mark-nya kopi Bah Sipit hingga kini," tutur Abdullah. "Dan menjadi kopi andalan peranakan Arab yang ada di daerah Empang ini," tambahnya lagi.
Kopi ini akhirnya memiliki penggemar fanatik yang tak hanya mereka yang tinggal di kawasan Empang semata. Namun juga dari daerah Ciapus dan Pamoyanan, karena adanya pertemuan antar pedagang dan pembeli di Pasar Empang yang sekarang menjadi alun-alun Empang itu.
Di antara para penggemar fanatiknya adalah pemilik pusat gamelan Gong Home-Pancasan serta May Sumarna, penyanyi terkenal era 70-an yang juga berasal dari Pancasan.
"Bahkan dulu harus rela antri menunggu toko buka demi mendapatkan kopi Bah Sipit Cap Kacamata ini," ujar Abdullah kembali. "Kini, kita bisa ngopi langsung di tempatnya," sambungnya sambil memamerkan gelas kopi bergambar Babah Sipit.
"Ini adalah konsep baru yang kita tawarkan untuk mereka para penggemar kopi," kata Nancy.
Tetap Mempertahankan Ciri Khas
Seiring perkembangan zaman dan trend yang serba kekinian, coba dijawab oleh Nancy sebagai penerus usaha dari merk kopi yang sudah punya nama di hati penggemarnya itu.
Seperti minum di tempat dengan gelas kopi bergambar sang pendiri sambil menikmati nuansa tempo doeloe dengan memorabilia kacamata Bah Sipit serta molding cetakan awal untuk bungkus kopi yang terpajang di lemari kayu.
Cukup dengan merogoh lembaran lima ribu rupiah, Anda sudah bisa menikmati segelas kopi legendaris yang buka dari pukul 9.00 hingga pukul 17.00 ini.
Selain membuat kemasan premium, Â juga dibuat kemasan sachet-an untuk satu gelas baik yang dengan maupun tanpa gula. Namun tetap tak meninggalkan kemasan lama dengan ciri khas bungkus kertas berwarna coklat yang mirip dengan sampul buku itu.
"Karena kemasan lama kalau sudah dibuka tidak bisa ditutup lagi. Dengan kemasan baru yang premium ini bisa buka tutup dengan praktis," ujar Nancy  lagi. "Juga yang sachet agar mudah dibawa kemana-mana dan tinggal langsung seduh."Â
Selain itu kemasan sachet juga untuk memenuhi selera pasar di mana kini banyak warung kopi dan penjual kopi keliling yang memakai kopi sachet karena lebih praktis.
"Dan pastinya untuk lebih dikenal oleh masyarakat serta lebih luas jangkauan pemasarannya. Tidak hanya di sekitar wilayah Empang dan Kota Bogor saja," harap Nancy.
"Karena selama ini kalau ingin beli kopi Bah Sipit Cap Kacamata, orang harus  datang ke Empang," tukas Abdullah.
Kemasan dengan berbagai ukuran ini pun sudah bisa dipesan secara online. Menurut Nancy pula, dengan kemasan baru tersebut rasa tetap tidak ber-ubah.
Seperti tak ber-ubahnya jalinan keakraban antara peranakan Cina/Tionghoa, Arab, dan Sunda yang telah terajut lama lewat sebungkus kopi bernama Cap Kacamata.
Bogor, 27 Agustus 2022
Ctt: Artikel ini ditulis satu hari menjelang puasa Ramadan 2022 atas persetujuan pemilik channel Kang Puniman karena sebagian menyadur dari liputan toko kopi legendaris ini.   Â
 Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H