Bagi anak-anak kampung yang tumbuh di era 70-an, bulan suci Ramadan merupakan salah satu pembuktian masa akil baligh mereka. Mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Saatnya pembelajaran kejujuran, baik terhadap lingkungan maupun diri sendiri.
Pada masa itu, datangnya bulan yang penuh berkah ini sudah 'diwanti-wanti' di saat mengaji dengan beberapa hafalan doa. Mulai dari doa makan sahur, niat puasa, niat tarawih, dan doa buka puasa. Tak lupa pula doa mandi untuk membersihkan seluruh tubuh sehari menjelang puasa.
Mandi bersih-bersih inilah yang paling disuka dan seluruh peristiwa yang berhubungan dengan tempat ini tak mungkin terulang oleh anak-anak kampung generasi sekarang. Kenapa? Karena tempat yang menjadi acara ini berlangsung sudah tak memungkinkan dan layak seperti dahulu.
Ya, semua penduduk kampung akan berduyun-duyun ke sungai dengan membawa wadah berisi air berwarna hitam yang merupakan air rendaman dari batang padi yang dibakar (sekam bakar) untuk membilas rambut. Yang di masa sekarang digantikan dengan shampo.
Tradisi mandi dengan 'shampo alami' itu seakan menjadi bagian dari ritual menyambut datangnya bulan suci yang harus disambut pula dengan tubuh yang bersih sebagai perlambang kesucian.
Yang tak sempat mandinya di waktu pagi, biasanya akan mandi di siang atau pun sore hari.
Bagi anak-anak, acara mandi di sungai itu tentunya juga kesempatan bermain menjadi lebih dominan. Ngalun, menyusuri aliran sungai yang saat itu memang jernih, belum ternodai polusi sampah dan limbah. Hari itu pula sebagai awal membuat kombongan, semacam jebakan ikan yang disusun dari batu-batu dengan satu celah pintu masuk untuk menggiring ikan-ikan mampir ke 'kamar-kamar'. Kombongan yang selalu diintip setiap ngabuburit dan akan dibuka di akhir Ramadan sebagai tambahan untuk lauk di hari Lebaran.
Puasa di hari pertama biasanya dirasakan sangat berat hingga aktifitas kami sebagai anak-anak lebih banyak tidur di tepas tajug (musala berbentuk panggung dengan tambahan bale-bale). Terutama sehabis salat zuhur. Meskipun angin musim kemarau meninabobokan kami untuk tidur, tak urung rasa dahaga membuat kami tak benar-benar tidur sempurna. Tubuh terasa lemas.
Ketika satu kawan mengajak untuk ngalun alias berenang, maka akan disambut dengan sukacita. Menghamburlah kami menuju sungai. Byur, byur, melompat dengan penuh semangat setelah melepas sarung dan pakaian. Segar menyerubungi seluruh tubuh.
Disinilah kenakalan kita tergoda. Sambil berenang, menyelam, kita diam-diam minum! Ya, minum air sungai agar tidak dahaga. Dan kita pun berpuas diri bermain air.
Kita tetap mengaku belum batal puasa hingga jelang berbuka. Dan itu dilakukan tidak hanya sekali dua kali. Kadang minum di pancuran pinggir sungai ketika berwudu.
Sebenarnya, baik guru ngaji dan juga orang tua kita bukan tidak tahu akan kenakalan itu. Karena itu kerap disinggungnya saat mengaji di waktu asar. Pun bapak dan ibu yang mengingatkan di waktu berbuka. Agar jujur karena Allah menyaksikan.
Sebagai anak-anak memang ada sebagian dari kami yang cacap (tidak batal satu hari pun) sebulan penuh puasanya. Ada juga yang bolong-bolong. Entah satu hari, dua hari, bahkan seminggu!
Sebenarnya didikan untuk berpuasa diberikan oleh orang tua kita secara bertahap. Kami boleh berpuasa hingga sampai zuhur, hari berikutnya meningkat sampai asar, hingga akhirnya full sampai magrib. Namun setelah akil baligh, biasanya awal SMP Â sudah berkewajiban berpuasa dengan benar.
Beraktifitas di luar rumah selama bulan puasa menjadi keseharian kami karena tiadanya hiburan televisi seperti sekarang. Apalagi youtube. Yang memiliki televisi saja tidak lebih dari hitungan sebelah jari tangan. Radio mungkin banyak yang punya. Tapi rata-rata tak ada acara yang menarik minat anak-anak.
Kita tetap terhibur dengan permainan kolektif. Sehabis tarawih, kami (lelaki-perempuan) kerap bermain gala asin. Usai sahur kalau tidak main gerelengan keliling kampung, kadang mancing belut di susukan (anak sungai) atau solokan. Bubaran mengaji sambil ngabuburit, anak perempuan akan bermain lompat tinggi, sondah, atau pande. Anak lelaki bermain gatrik, kelereng, atau ke sungai mengintip ikan-ikan di kombongan.
Puncaknya di malam takbiran. Usai panen ikan tawes, senggal, atau lele dari kombongan pada pagi harinya, dilanjutkan dengan menyalakan lodong atau meriam bambu di pinggir sungai yang juga menjadi hiburan milik semua umur. Tumplek 'berperang' dengan kampung tetangga di seberang sungai.
Kegembiraan yang berlanjut dengan tambahan hadiah di hari Lebaran selain baju baru. Yaitu: telur asin satu besek dan minuman Orson atau Dekron bagi anak yang puasanya cacap. Entah puasa  yang dimulai sampai zuhur, asar, terus ke magrib. Asal tidak berbohong. Kalau sekarang hadiah itu pasti ditambah dengan Sarung Al-Hazmi, Sarung Khas Kudus Jawa Tengah.
Bogor, 14 Maret 2022Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H