Bagi warga Jakarta, tentu tak asing dengan nama Jalan Surya Kencana -yang kini tengah direvitalisasi- sebagai salah satu tujuan wisata kuliner di akhir pekan. Apalagi di era medsos sekarang dengan banyaknya tayangan konten-konten jajanan hingga konten yang 'serius' mengangkat tema sosial di kawasan pecinan tersebut.
Sebelum era medsos hadir, kuliner 'jalanan' itu pernah diangkat oleh FX Puniman, kontributor harian Kompas dengan menyajikan liputan berjudul "Comro Termahal dari Bogor" yang terbit pada Selasa, 20/11/2005. Sejak itulah jajanan kaki lima di sepanjang Jalan Surya Kencana - Jalan Siliwangi menghiasi harian-harian lokal dan nasional. Dari mulai soto kuning Pak Salam hingga nasi goreng pete Guan Tjo.Â
Kehadiran para pedagang makanan di tempat itu tidaklah serta merta begitu saja. Ada riwayat panjang yang mengiringi perjalanannya. Yang kini seringkali dianggap eksotis di era yang serba instagramable. Dari jenis makanan, nama, sajian, hingga lingkungannya yang identik dengan warga keturunan itu.
Menjadi Ciri Identitas
Pada masa kolonial Belanda, struktur masyarakat terbagi dalam tiga kelas. Sebagaimana tertuang dalam Indische Staatsregeling Pasal 163, yang mengatur pembagian golongan dalam masyarakat. Pertama, golongan Eropa; kedua, golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab, India); dan ketiga, golongan Bumiputera.
Pembagian ini tentunya bukan sekedar aturan hukum semata, namun juga sarat bermuatan politis. Sebab orang Jepang justru dimasukkan sebagai golongan Eropa hanya karena ada ikatan perjanjian dagang di antara mereka pada tahun 1896.
Secara sosial, dampak dari aturan ini adalah dibangunnya koloni-koloni untuk masing-masing komunitas agar mudah dalam hal pengawasan maupun kelancaran sektor dan jalur perniagaan. Koloni-koloni ini dipimpin oleh seorang 'kapitan' dari komunitasnya sendiri yang ditunjuk langsung pemerintah kolonial.
Tak terkecuali dengan wilayah Bogor yang dulu disebut Buitenzorg, terambil dari nama Istana Buitenzorg -kini disebut Istana Bogor- yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Belanda, Gustaaf Willem Baron van Imhoff pada tahun 1744 sebagai tempat bagi para pembesar kolonial untuk menikmati liburan dan beristirahat.
Kawasan yang diperuntukkan secara khusus itulah yang sekarang masih bisa kita saksikan. Seperti wilayah Empang dan sekitarnya sebagai basis komunitas Arab yang secara langsung bersanding dengan komunitas Tionghoa yang mendiami wilayah Lawang Saketeng dan sekitarnya. Sementara daerah Sempur dan Taman Kencana sekarang merupakan wilayah golongan Eropa, yang kini hanya tersisa berupa bangunannya saja.
Tempat-tempat itu sekarang menjadi ciri khas dan identik dengan komunitasnya. Termasuk di dalamnya adalah bangunan-bangunan tempo dulu yang seharusnya masuk kategori cagar budaya, di luar masjid dan kelenteng sebagai heritage (warisan budaya) Kota Bogor.
Budaya Niaga
Pada masa kolonial pula, penerapan sistem cultuurstelsel atau tanam paksa (1830-1870) telah memiskinkan para petani golongan Bumiputera, baik secara struktural maupun kultural. Begitu sengsara dan kelamnya periode tanam paksa, sampai muncul sindiran di kalangan orang Sunda: ti lahir, rarabi, nepi ka maotna di huma (dari lahir, menikah, dan mati pun di ladang).
Tekanan kesengsaraan yang begitu kuat tak pelak menumbuhkan 'kekuatan lain' sebagaimana yang dikemukakan sosiolog Herbert Spencer (1820-1903), yaitu sikap survival of the fittes. Keluar dari zona budaya agraris yang membesarkannya. Budaya yang sudah mendarah daging dan mendidik mereka menjadi pekerja keras. Ketiadaan harapan sebagai petani miskin membuat sebagian mencoba mengadu nasib ke 'perkotaan' yang mulai ramai. Entah menjadi kuli atau pun berdagang hasil bumi.
Tak berbeda jauh dengan golongan Timur Asing yang juga dituntut untuk tetap survive di negeri baru, akhirnya mulai tumbuh jiwa-jiwa usaha. Berniaga. Perubahan sosial ini lazim terjadi di mana-mana.
Kawasan Lawang Saketeng dan Empang pun menjadi 'magnet' bagi penduduk pribumi akibat kegiatan niaga yang dijalankan oleh orang-orang Tionghoa dan Arab. Terutama dengan berkembangnya Lawang Saketeng sebagai sentra ikan asin sekaligus pasar yang menjadi tumpuan dan pusat kebutuhan masyarakat. Hingga jalan yang sekarang dikenal dengan Jalan Surya Kencana dahulu dinamai sebagai Jalan Perniagaan, karena merupakan lalu lintas perdagangan/perniagaan.
Tak sekedar hubungan perniagaan saja akhirnya yang tumbuh. Interaksi sosial dan budaya antar bangsa ini pun memunculkan aneka jenis makanan yang merupakan perpaduan antar budaya. Terutama budaya Tionghoa yang mengenalkan mie, bihun, dan tahu misalnya yang akhirnya melahirkan toge goreng, laksa, soto mie, bahkan bubur. Sementara unsur Arab dan India melahirkan soto kuning/santan dan martabak. Meski yang berjualan martabak justru dari etnis Tionghoa, termasuk pembuatan aneka roti yang menjadi konsumsi orang Eropa.
Modifikasi dari perpaduan inilah yang terus berkembang dan semakin bervariasi, seperti asinan dan baso yang bersanding dengan makanan lokal yang masih tetap eksis sepanjang zaman.
Sampai menjelang tahun 2000-an, kawasan Jalan Surya Kencana belumlah setenar sekarang ini. Masifnya pemberitaan yang menampilkan keunikan jajanan seperti comro, otak-otak, cakwe, es pala, bir kocok, soto kuning, cungkring, toge goreng, laksa, lumpia, ketupat sayur, hingga mie ngohiang akhirnya mengorbitkan jalan itu sebagai ikon Kota Bogor.
Pemkot Bogor pun mencoba mengangkat kembali kawasan ini menjadi kawasan tematik yang benar-benar bernuansa pecinan. Meski harus tetap diingat bahwa pembangunan fisik itu tak 'meminggirkan' para pelaku usaha yang melegenda dengan sentra ikan asin-nya serta para pedagang jajanan yang telah mengharumkan salah satu sudut kota hujan itu.
Bogor, 3 Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H