Pada masa kolonial pula, penerapan sistem cultuurstelsel atau tanam paksa (1830-1870) telah memiskinkan para petani golongan Bumiputera, baik secara struktural maupun kultural. Begitu sengsara dan kelamnya periode tanam paksa, sampai muncul sindiran di kalangan orang Sunda: ti lahir, rarabi, nepi ka maotna di huma (dari lahir, menikah, dan mati pun di ladang).
Tekanan kesengsaraan yang begitu kuat tak pelak menumbuhkan 'kekuatan lain' sebagaimana yang dikemukakan sosiolog Herbert Spencer (1820-1903), yaitu sikap survival of the fittes. Keluar dari zona budaya agraris yang membesarkannya. Budaya yang sudah mendarah daging dan mendidik mereka menjadi pekerja keras. Ketiadaan harapan sebagai petani miskin membuat sebagian mencoba mengadu nasib ke 'perkotaan' yang mulai ramai. Entah menjadi kuli atau pun berdagang hasil bumi.
Tak berbeda jauh dengan golongan Timur Asing yang juga dituntut untuk tetap survive di negeri baru, akhirnya mulai tumbuh jiwa-jiwa usaha. Berniaga. Perubahan sosial ini lazim terjadi di mana-mana.
Kawasan Lawang Saketeng dan Empang pun menjadi 'magnet' bagi penduduk pribumi akibat kegiatan niaga yang dijalankan oleh orang-orang Tionghoa dan Arab. Terutama dengan berkembangnya Lawang Saketeng sebagai sentra ikan asin sekaligus pasar yang menjadi tumpuan dan pusat kebutuhan masyarakat. Hingga jalan yang sekarang dikenal dengan Jalan Surya Kencana dahulu dinamai sebagai Jalan Perniagaan, karena merupakan lalu lintas perdagangan/perniagaan.
Tak sekedar hubungan perniagaan saja akhirnya yang tumbuh. Interaksi sosial dan budaya antar bangsa ini pun memunculkan aneka jenis makanan yang merupakan perpaduan antar budaya. Terutama budaya Tionghoa yang mengenalkan mie, bihun, dan tahu misalnya yang akhirnya melahirkan toge goreng, laksa, soto mie, bahkan bubur. Sementara unsur Arab dan India melahirkan soto kuning/santan dan martabak. Meski yang berjualan martabak justru dari etnis Tionghoa, termasuk pembuatan aneka roti yang menjadi konsumsi orang Eropa.
Modifikasi dari perpaduan inilah yang terus berkembang dan semakin bervariasi, seperti asinan dan baso yang bersanding dengan makanan lokal yang masih tetap eksis sepanjang zaman.
Sampai menjelang tahun 2000-an, kawasan Jalan Surya Kencana belumlah setenar sekarang ini. Masifnya pemberitaan yang menampilkan keunikan jajanan seperti comro, otak-otak, cakwe, es pala, bir kocok, soto kuning, cungkring, toge goreng, laksa, lumpia, ketupat sayur, hingga mie ngohiang akhirnya mengorbitkan jalan itu sebagai ikon Kota Bogor.
Pemkot Bogor pun mencoba mengangkat kembali kawasan ini menjadi kawasan tematik yang benar-benar bernuansa pecinan. Meski harus tetap diingat bahwa pembangunan fisik itu tak 'meminggirkan' para pelaku usaha yang melegenda dengan sentra ikan asin-nya serta para pedagang jajanan yang telah mengharumkan salah satu sudut kota hujan itu.
Bogor, 3 Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H