Hingga berangkat remaja dan dewasa, kita masih bisa melihat kelelawar-kelelawar yang bersiap tidur itu saat lari pagi di hari Minggu. Malah lengkingannya kerap terdengar.
Entah karena berebut tempat atau tengah bercengkrama. Dan intensitas arak-arakan kelelawar yang melintasi kampung kami tiap pagi dan petang pun mulai berkurang. Sebelum akhirnya tiada terlihat lagi.
Termasuk yang menggantung tidur di pohon-pohon besar dalam Kebun Raya. Semuanya tinggal memori seperti yang terpajang di dalam Museum Zoologi.
Mungkinkah karena di girang sudah tak ada lagi buah-buahan karena lahannya sudah beralih fungsi menjadi perumahan?
Kenangan kembali dengan kelelawar, kala pulang dari Bali diminta membuat editorial tentang hewan eksotik tersebut untuk keperluan desain. Untuk mencari data di awal tahun 2000 itu tentunya tak semudah sekarang yang tinggal bertanya ke Mbah Google. Penulis pun dengan semangat pergi ke Museum Zoologi. Museum yang oleh orang-orang tua di kampung sering disebut dengan 'Kantor Bulao' itu.
Walakin, data yang didapat di museum tersebut sangat minim. Akhirnya dilanjutkan ke Museum LIPI yang di Kantor Batu. Dari sana dianjurkan ke museum yang di Bakosurtanal Cibinong.
Kini, aktivitas lari pagi mengelilingi Kebun Raya setiap hari Minggu tetap berjalan. Yang tentunya dengan melupakan sang kelelawar yang memang sudah benar-benar dianggap  'punah'.
Sampai suatu hari, penulis mendapat kiriman WA Group tentang wisata malam Kebun Raya berikut surat terbuka dari para mantan Kepala Kebun Raya Bogor. Serta bentangan spanduk penolakan dari berbagai elemen masyarakat Kota Hujan di pagar masuk Kebun Raya.
Pangkal persoalannya adalah wisata malam dengan atraksi cahaya lampu (GLOW) yang dianggap akan mengganggu beberapa habitat atau biota hewan penyerbuk yang beraktivitas di malam hari.
Inilah yang mengusik kembali akan ingatan pada kelelawar. Sang nokturnal, hewan penyerbuk yang membantu penyebaran berbagai jenis tanaman. Hewan yang telah lama tak berumah lagi di Kebun Raya. Bukankah mamalia ini pun habitatnya terganggu, yang salah satunya bisa karena polusi cahaya?
Seperti yang dilansir baru-baru ini oleh Deutsche Welle, medio 19 juni 2021. Media ini menurunkan tulisan yang membahas efek buruk dari polusi cahaya bagi kelelawar. Menurut Dr. Kamiel Spoelstra, ilmuwan Belanda yang melakukan riset terhadap beberapa spesies kelelawar menyebutkan bahwa, "Kelelawar memberikan reaksi ekstrem terhadap cahaya, terutama karena takut pada predator. Jadi, Â jika kelelawar terbang lambat, berarti hewan itu lebih suka tidak menampakkan diri dalam cahaya karena risikonya tinggi. Tapi jika kelelawar terbang sangat cepat dan sangat tangkas, berarti hewan itu tidak ketakutan."