Kampung kami hanya berbilang satu RW untuk menuju Sungai Ciliwung, serta berbilang tiga kampung untuk menuju Kebun Raya Bogor yang mendunia itu. Keduanya memiliki kedekatan 'kesejarahan' akan kenangan terhadap makhluk nokturnal. Sang mamalia terbang. Kelelawar, yang telah menjadi ikonik dengan tokoh fiksi superhero Hollywood. Batman!
Sebagai bocah kampung yang mandi dan mainnya di sungai, ada moment yang tetap tersimpan menjadi arketip. Setiap pagi usai mandi di Ciliwung yang masih jernih kala itu, langit yang masih belum terang benar akan dipenuhi oleh iring-iringan kelelawar dari arah girang (hulu) menuju Kebun Raya.
Entah ratusan atau mungkin ribuan. Berarak bak mega hitam yang membentuk formasi gambar-gambar dari noktah hitam yang terus bergerak.
Yang lebih seru tentunya di waktu petang menjelang magrib. Ketika rombongan kelelawar melintas dari arah Kebun Raya menuju hulu.
Serempak kita yang tengah asik berenang akan naik ke atas batu-batu dan serentak bernyanyi mengiringi kelelawar-kelelawar yang berangkat hendak mencari makan itu.
Nyanyian yang entah karangan siapa, karena tahu-tahu kita hafal secara turun-temurun. Lagu yang liriknya seolah mengusir hewan yang dianggap hama itu agar tak hinggap di kampung kami. Penulis tak mungkin menyajikan nyanyian yang terkesan kasar tersebut.
Kata Nenek, di girang -tempat matahari terbit- banyak tumbuh beragam jenis buah-buahan yang merupakan sumber makanan bagi kalongking.
Sebutan untuk kelelawar besar dalam bahasa Sunda. Yang membedakannya dengan lalay, sejenis kalong kecil pemakan serangga yang kerap 'berumah' dalam lubang-lubang bambu yang menjadi atap rumah kami.
Rombongan kelelawar yang pergi-pulang itu sudah pasti akan melintasi kampung kami. Dengan rentang waktu hampir mencapai satu jam lamanya, arak-arakan itu menghiasi langit. Dan ada saja satu dua, bahkan belasan kelelawar yang tertinggal rombongannya. Baik pergi maupun pulang.
Lewat Ciliwung pula, kita para bocah senang melihat kelelawar-kelelawar yang tidur menggantung di pohon-pohon besar dalam Kebun Raya.
Ya, karena kita suka ngalun, yakni mengarungi arus deras sungai dengan ban dalam bekas truk. Masuk ke Kebun Raya lewat kolong jembatan Otista dan berakhir di jembatan Sempur. Menikmati keindahan hutan kota dengan kelelawarnya di atas alunan sungai.