Adalah unggahan dari status WA dosen agama Islam tentang renungan saat menghadapi wabah pandemi yang semakin 'menggila' ini. Tak dipungkiri karena ada dari kita telah abai dan menganggap remeh. Dan akhirnya ketika virus ini menggurita, kepanikan mulai melanda. Sang dosen mencontohkan bagaimana sebaran virus itu diibaratkan seperti dalam permainan tradisional masa kanak-kanak tempo dulu. Permainan congklak.
Congklak dan Arti Kehidupan
Congklak diduga merupakan (papan) permainan tertua yang pernah ada. Menurut para ahli, permainan ini berasal dari wilayah Timur Tengah yang kemudian menyebar ke Afrika hingga Asia. Para pedagang Arab-lah yang mengenalkan permainan ini di bumi Nusantara.Â
Menurut AJ Resink-Wilkens dalam Het Dakonspel (Permainan Dakon) seperti ditulis Historia, permainan ini biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan dari kalangan bangsawan.Â
Dan masyarakat Jawa Kuno juga menggunakan dakon/congklak untuk menghitung musim tanam dan musim panen. Sedangkan di beberapa tempat lainnya, permainan ini hanya dimainkan pada saat-saat tertentu saja. Seperti di Sulawesi, permainan ini dahulu digelar justru pada saat berkabung.
Nama congklak sendiri mempunyai sebutan yang beragam di berbagai tempat. Orang Melayu menyebutnya congkak, mirip dengan bahasa Sunda yaitu congklak. Sementara masyarakat Jawa menamai permainan ini dengan dakon atau dakonan. Di Lampung disebut dentuman lamban. Sedangkan di Sulawesi mempunyai banyak nama, mulai dari nogarata, makaotan, aggalacang, dan manggaleceng. Di negara tetangga, Filipina dikenal dengan nama sungka. Dalam bahasa Arab sendiri, congklak ini disebut mancala yang kemudian diserap ke dalam bahasa inggris dengan penyebutan yang sama.
Congklak, dahulu terbuat dari papan kayu. Mulai dari yang sederhana hingga penuh ukiran dan warna khas daerah masing-masing. Pada masa sekarang, congklak terbuat dari plastik yang dicetak warna-warni.
Ukuran papan congklak kurang lebih 50 cm x 15 cm, dengan tinggi/ketebalan 3 cm. Bisa lebih besar dari itu tergantung model dari ciri budaya setempat. Pada papan congklak tersebut terdapat 16 buah lubang yang terdiri dari 14 buah lubang kecil (masing-masing 7 buah yang saling berhadapan) serta 2 buah lubang besar di kiri kanan ujung papan.
Dalam setiap lubang kecil akan diisi dengan masing-masing 7 buah biji. Jadi dibutuhkan 98 buah biji yang pada masa lalu berupa kuwuk (cangkang kerang), biji-bijian yang dikeringkan (biji sawo), atau batu kerikil. Kini bijinya adalah kerang-kerangan plastik.
Secara filosofis, permainan yang dimainkan berdua -biasanya anak perempuan- itu menggambarkan sikap hidup kita. Dikutip dari Biro Humas Pemerintah Kabupaten Bengkalis, Riau, dijabarkan beberapa makna dari permainan tradisional ini:
Jumlah angka 7 (dari masing-masing 7 buah lubang kecil yang saling berhadapan dan 7 buah biji) itu menandakan jumlah hari dalam seminggu. Kemudian ketika biji diambil dari salah satu lubang dan mengisi lubang yang lain, bermakna bahwa setiap hari yang dijalani akan menentukan hari berikutnya. Sekaligus menentukan atau berpengaruh pada hari orang lain.Â
Apa yang dilakukan saat ini dapat berpengaruh pada masa depan diri sendiri dan orang lain. Setiap hal yang dilakukan dapat bermakna bagi orang lain bahkan dapat memperburuk orang lain.
Biji congklak yang diambil kemudian dimasukkan ke lubang yang lain, lantas diambil lagi dari lubang yang lain, memberikan makna bahwa hidup ini harus memberi dan menerima (take and give). Ada masa kita mengambil, ada masa kita memberi. Sebagai wujud keseimbangan hidup.
Biji yang dimasukkan haruslah satu persatu, tidak boleh mengisi sekaligus ataupun melewati lubang lain, bahkan melewati lubang milik lawan. Ini mengajarkan kejujuran dalam hidup. Sementara biji yang diletakkan dalam lubang besar milik sendiri memiliki arti dalam hidup harus menabung. Baik menabung secara materi maupun kebaikan setiap harinya.
Membagi biji secara bertahap adalah simbol bahwa ketika memiliki rejeki harus dapat mengelolanya untuk masing-masing kebutuhan. Tidak boleh hidup secara berlebihan.Â
Setiap kebutuhan dilambangkan dengan dengan lubang, yang mana setiap lubang itu adalah kebutuhan yang memiliki jatahnya sendiri. Sehingga tidak boleh menghabiskan rejeki yang dimiliki dalam satu kali belanja. Juga berbagi untuk lubang kecil milik lawan, dalam hal ini diibaratkan sebagai sesama saudara. Bukan musuh.Â
Namun lubang besar milik lawan tidak boleh diisi, karena hal tersebut merupakan kewajiban pemilik lubang besar sendiri untuk memenuhi dan menghidupi kehidupannya sendiri.
Pemenang dari permainan congklak ini adalah pemain yang berhasil mengumpulkan biji paling banyak di lubang besar. Yang menang hakikatnya adalah yang amal baiknya paling banyak dan hidupnya bermanfaat bagi orang lain.
Melonjaknya kasus covid-19 yang mencemaskan akhir-akhir ini, salah satunya adalah akibat dari sikap yang kurang peduli, yang mendorong replikasi virus ini semakin menjadi dan cepat menular.
Langkah yang diambil dengan kebijakan PPKM darurat ini pun terlihat masih centang perenang. Belum lagi dengan masih banyaknya sebagian dari kita yang ngeyel tak tertib prokes.
Belajar dari permainan congklak, semoga menjadikan kita tambah aware (sadar), peduli, akan keselamatan diri dan orang lain di masa pandemi ini. Karena salah satu makna dari permainan itu disebutkan bahwa apa yang kita lakukan saat ini akan berpengaruh pada masa depan diri sendiri maupun orang lain. Bahkan bisa memperburuk orang lain.
Diibaratkan satu biji yang terpapar virus ada dalam satu lubang dan menulari biji-biji lain dalam lingkarannya, maka ketika satu persatu biji itu berpindah lubang akan terjadi penyebaran penularan yang semakin banyak.Â
Karena ia akan berpindah terus dan terus. Secara sederhananya, ketika 1 biji menulari, taruhlah ada 5 biji lain dalam satu lubang dan berpindah ke lubang lain yang berisi 7 biji, maka kemungkinan yang akan tertular menjadi 8 biji di lubang kedua.Â
Padahal itu baru 1 biji yang berpindah. Bagaimana dengan 5 biji lain yang satu persatu akan masuk lubang berikutnya? Pada akhirnya pertumbuhan penyebaran virus itu semakin berlipat banyak. Wajar saja penyebaran virus ini semakin meluas.
Pertumbuhan dalam sebaran virus itu bukanlah sekedar penjumlahan dari suatu pertambahan, tapi perkalian yang bisa berkali lipat. Inilah yang disebut dengan pertumbuhan eksponensial.
Dan pertumbuhan eksponensial ini juga berlaku dalam pertumbuhan koloni bakteri, termasuk virus covid ini. Untuk 1 bakteri dapat membelah diri menjadi 2, kemudian 2 bakteri masing-masing membelah diri menjadi 4, lalu 8, 16 dan seterusnya dengan kelipatan terakhir. Mengerikan bukan?
Apa yang sebaiknya kita lakukan? Anggaplah lubang-lubang kecil itu kita ibaratkan lingkaran terdekat kita. Sebaiknya untuk sementara waktu kita 'mengunci' anggota dalam lingkaran agar tidak keluar lubang. Artinya kita hanya selalu bertemu dalam satu lingkaran yang sama. Itulah yang paling ideal untuk saat ini. Untuk sementara ini. Satu lingkaran saja. Yakni keluarga. Kalau pun terpaksa harus keluar lingkaran, tetap patuhi protokol kesehatan dan menghindari ruangan tertutup.
Sejatinya kita harus selalu saling menjaga, saatnya memberi manfaat dan berguna bagi lain. Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Bagi sesama. Sebagaimana esensi dari permainan congklak yang sederhana itu.
Bogor, 7 Juli 2021Â Â
 Â
 Â
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H