Sungguh sang raja tak menginginkan putera mahkotanya harus menjalani takdirnya sebagai orang bijak yang hebat. Ia ingin penerus wangsanya tetaplah sebagai raja. Maharaja yang tak hanya berkuasa, tapi maharaja yang hebat.
Raja tak berkenan dengan ramalan sang pertapa. Sang yogi. Yang meramalkan bahwa, puteranya kelak akan menjadi 'antara' seorang maharaja yang hebat atau seorang bijak yang hebat.
Menjadi seorang bijak, meskipun hebat bisa dicapai oleh siapapun. Bisa dijalani siapa saja. Termasuk seorang raja. Tetapi menjadi seorang raja, apalagi raja yang hebat, tak sembarang orang bisa memperolehnya. Raja hanya milik golongan tertentu. Kasta terpilih. Berdarah biru.
Kenapa harus ada antara? Kenapa tidak salah satu saja? Atau keduanya sekaligus. Menjadi maharaja yang hebat dan bijak. Titik! Kalau harus menjadi seorang bijak yang hebat semata, berarti puteranya bakal menempuh laku seorang pertapa. Seorang yogi. Menanggalkan kedudukannya sebagai raja. Penerus dinasti dan leluhurnya.
Raja yang gundah, khawatir, lalu menjaga dan mengikat anaknya dari kemungkinan 'antara' yang begitu mengganggunya. Yang tak diinginkannya. Pengikatan itu dilakukan dengan segala pemberian kesenangan dan kemewahan yang tiada tara. Makanan terbaik. Pakaian terbaik. Tunggangan terbaik.
Siddharta Gautama. Sang pangeran itu benar-benar 'dijaga ketat' dengan segala kesenangan duniawi agar terhindar dari kutuk 'antara' dua takdir.
Belum genap usia 20 tahun, Pangeran Gautama dinikahkan dengan perempuan tercantik seantero negeri. Ditempatkanlah mereka di istana 'terpencil' yang jauh dari dunia masyarakat sekitar. Tetap dengan pemenuhan segala kemewahan. Agar sang pangeran benar-benar menjadi seorang raja sesuai keinginannya. Sebagai penerusnya. Tidak tergoda untuk menjalani laku spiritual. Sebagai pertapa, dan menjadi orang bijak yang hebat.Â
                                             ***
Pangeran Gautama yang mulai gempal, subur, karena sangat dimanjakan itu suatu hari ingin jalan-jalan. Melihat-lihat 'kota'. Ia merasa jenuh dengan segala rutinitas istana yang penuh hura-hura. Â Yang sebatas makan-minum, pesta, dan (ter)tidur.
Kereta terbaik pun dipersiapkan. Lengkap dengan pengawalan. Dan mulai bergerak melewati batas istana 'terpencilnya'. Melintasi lebatnya hutan. Menyusuri jernihnya sungai-sungai. Hingga hiruk-pikuknya jalanan, pasar, serta debu yang memerihkan mata. Memberinya pengalaman yang berbeda. Sekaligus pandangan baru dalam hidupnya!
Pandangan yang belum pernah ditemuinya selama ini. Matanya mulai melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Apa yang terjadi padanya?" katanya sambil menunjuk seorang lelaki tua di pinggir jalan. Yang bungkuk.Tertatih-tatih dengan tongkatnya.
"Oh, dia hanya lelaki tua, Tuan," jawab sang kusir.
"Bagaimana hal itu terjadi?"
"Setiap orang akan menua suatu hari nanti, Tuan."
Pangeran Gautama melihat dirinya yang muda, gagah, sehat, dan tampan. Apa aku pun akan demikian?
"Ya, semua tanpa kecuali!" ujar sang kusir kemudian.
Kereta terus bergerak. Debu berterbangan semakin pekat. Sepekat pergumulan batin sang pangeran.
Nampak kini di depannya sesosok tubuh, berselimut lusuh, terbaring lemah di bawah pohon besar.Â
"Kenapa pula dengan orang itu?"
"Oh, dia sedang sakit, Tuan."
"Apa artinya?"
"Tubuh kita tidak selamanya selalu sehat. Kadang menjadi sakit. Dan itu bisa terjadi pada siapapun!"
Siapapun? Termasuk aku. Seorang pangeran. Oh, aku bisa seperti itu?
Pikirannya semakin terganggu. Batinnya semakin resah.
Sampailah kereta sang pangeran melewati area pemakaman. Ada serombongan orang membawa keranda. Hendak menguburkan jenazah. Usai diupacarai, mayat pun dikuburkan. Pangeran Gautama melihat itu semua dari balik kereta.
"Apa yang terjadi dengan orang itu?"
"Oh, dia baru saja meninggal dunia, Tuan."
"Apa artinya?"
"Itu akan menimpa pada semua orang, tanpa kecuali!"
Oh, apa yang sudah kulakukan selama ini? Hanya makan. Bersenang-senang. Dengan segala hal-hal yang tak penting. Apa yang kuperbuat dengan diriku, kalau akhirnya harus mati?
Peristiwa itu terus membayanginya hingga ia kembali ke istana.
Pangeran Gautama benar-benar terganggu pikirannya sejak melihat-lihat 'kota'. Sejak keluar dari tembok kokoh istana yang memberinya kenikmatan duniawi.
                                                      ***Â
Keresahan dan kegelisahannya akan ke-tidak kekal-an diri tubuh manusia, akan perjalanan hidup manusia, beraduk dengan kenyataan bahwa dia anak seorang raja. Yang kini sudah pula dikaruniai buah hati. Sang bayi yang lucu, menggemaskan. Penerus dirinya kelak. Memimpin kerajaan.
Akhirnya Pangeran Gautama tak kuasa lagi menahan segala kegelisahan batin. Di tengah malam, bak seorang pencuri, ia menyelinap keluar istana. Meninggalkan isteri dan anak tercinta. Menanggalkan segala kemewahan putera seorang raja. Ia pergi untuk selamanya.
Budha. Itulah tujuannya. Mencari kenyataan sejati tentang hidup. Pergi ke ashram-ashram, ke pusat-pusat yoga, ke para yogi, ke pertapa. Melihat pengalaman hebat dari setiap samadhi. Namun semuanya tetap tak membebaskannya. Tak menemukan apa yang dicarinya. Tak menjawab segala keresahan batinnya.
Hingga akhirnya ia menjadi seorang samana. Berjalan dan terus berjalan. Tubuhnya mulai menyusut. Kurus kering. Karena ia tak pernah meminta makanan. Apalagi mengejar makanan.
Prinsip seorang samana, tidak pernah mengejar naluri bertahan hidup. Mengalahkan insting fundamental dari bertahan hidup. Bagaimanapun, siapapun, akan selalu mengejar makanan untuk bertahan hidup.Â
Seorang samana hanya mendapat makanan dari pemberian orang-orang yang sengaja memasak untuk dipersembahkan kepada pelaku spiritual itu. Apakah di jalan, di hutan, di bukit, atau pun di goa. Mereka melayani para samana dengan sepenuh hati.
Pangeran Gautama. Sang samana itu, terus berjalan dan berjalan. Hingga ia pun sampai di tepi sebuah sungai. Sungai Niranjana.
Tangan kurusnya meraih batang pohon. Mencoba derasnya arus sungai. Tubuhnya benar-benar lemas. Tak berdaya. Mustahil dirinya mampu menyeberangi sungai itu. Ia sudah tak memiliki tenaga. Tak mempunyai kekuatan.
Apa yang aku cari? Untuk apa aku mengembara seluruh negeri? Pergi dari satu ashram ke ashram lain. Belajar segala hal tentang samadhi. Sementara hidup ini terus berjalan. Yang harus kulakukan hanyalah menghilangkan hambatan-hambatan yang tidak memungkinkan aku mengalami hal itu.Â
Entah berapa lama samana yang kurus dan lemah itu terdiam. Bagi orang yang lemah, sekian menit bisa terasa sekian jam. Bahkan mungkin seharian. Karena begitu lemahnya dan tak punya lagi daya.Â
Namun, Pangeran Gautama bukanlah jenis orang yang pantang menyerah. Ketika dia menyadari bahwa segala sesuatu ada dalam dirinya, tiba-tiba dia memiliki kekuatan, energi, untuk mengambil langkah berikutnya. Melangkah dan terus melangkah.
Sungai Niranjana pun berhasil diseberangi. Sang pangeran. Sang samana, lantas duduk bersila. Samadhi di bawah pohon bodhi. Bermeditasi mengalahkan budhu, diri yang senantiasa berada di bawah keinginan, yang membuat orang selalu dalam derita tanpa henti. Ia pun mencapai kesempurnaan budhi dalam wujud Sang Budha yang agung.
Sang Budha yang tak hanya dikenal sebagai seorang bijak yang hebat, namun juga 'melahirkan' maharaja yang hebat. Dari Asoka hingga wangsa Syailendra.
Bogor, 28 Juni 2021 Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H