Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Herd Stupidity dan Kesadaran dalam Psikologi

24 Juni 2021   14:16 Diperbarui: 24 Juni 2021   14:22 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kegeraman, atau bisa jadi ekspresi keputusasaan nampaknya yang memicu sang epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono ketika beliau mengatakan bahwa Indonesia sudah lama dalam kondisi herd stupidity atau kebodohan komunal dalam atasi pandemi covid-19 ini (CNN Indonesia, Minggu 20/06/2021).

Kenaikan kasus covid-19 pasca arus mudik Lebaran menunjukkan, bagaimana semua pihak abai. Dari tidak adanya ketegasan pemerintah serta mereka yang tak peduli, cuek, dengan perilakunya sendiri yang justru mendorong replikasi virus, dan menjadi lebih mudah menular.

Ada istilah kebodohan itu gampang menular! Meskipun dalam diri setiap manusia memiliki kecerdasan yang telah diberikan Tuhan. Pertama, kecerdasan rasional (intelligence quotient), yaitu kemampuan untuk menghadapi masalah lingkungan di sekitar kita. Masalah lingkungan fisik kita. Lewat analisa, logika, sekaligus melakukan evaluasi. Kedua, kecerdasan emosional (emotional quotient), yaitu kemampuan untuk mengendalikan emosi kita. Dengan kesediaan bertanggung jawab, berkomitmen, dan juga berempati. Ketiga, kecerdasan spiritual (spiritual quotient), yaitu kemampuan untuk berhubungan dengan dimensi lain (non material). Kemampuan untuk mengakses jiwa kita yang paling dalam. Yang  ditunjukkan dengan perilaku rendah hati, toleran, dan bermakna bagi orang lain.

Intinya kecerdasan itu menggambarkan bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk sempurna dan yang paling piawai dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Namun segala kemampuan kecerdasan itu akan menjadi sia-sia, mubazir, manakala virus 'kebodohan' sudah menulari jiwanya.

Secara psikologis, gejala herd stupidity (kebodohan komunal/berjamaah) ini sesungguhnya tak lepas dari kondisi kejiwaan yang sedang 'sakit'. Pada kondisi manakah sesungguhnya kebebalan ini dalam perspektif ranah psikologi? 

Empat Gelombang Psikologi

Di era post truth sekarang ini kerap kita saksikan kebohongan, kepalsuan, acap dipuja layaknya sang pujaan. Sebaliknya kebenaran akan dianggap tidak benar ketika tidak bersesuaian dengan keinginannya, dengan kelompoknya. Dan mereka pun merasa happy. Bahagia dengan segala kepura-puraannya.

Kebahagiaan sejatinya adalah dambaan setiap orang. Namun seringkali kita terperangkap dalam keinginan yang tak pernah terpuaskan. Ketika dahaga keinginan tak sesuai dengan kenyataan, maka di situlah kejiwaan mulai terganggu. Sakit.

Para psikolog mencoba mengurai perilaku-perilaku kejiwaan ini yang dalam perkembangannya terbagi menjadi empat gelombang mazhab.

1. Psikologi behavioris, aliran ini meneliti tingkah laku manusia (behaviour) sebagai sesuatu yang bisa diukur dan dilihat. Mazhab ini menekankan pada proses pelaziman (conditioning learning). Sebab segala perilaku kita itu sebenarnya tidak ditentukan oleh jiwa, tetapi oleh kelaziman atau kebiasaan kita sendiri.

Ivan Pavlov (1849-1936) menjelaskan itu dengan baik lewat eksperimen seekor anjing yang dilihatnya selalu mengeluarkan air liur (saliva) ketika makanan datang. Dibuatlah kondisi di mana setiap terdengar bel, makanan datang, dan sang anjing akan mengeluarkan air liur. Begitu terus-menerus. Selanjutnya ketika bel dibunyikan, makanan tidak disajikan, air liur anjing itu tetap keluar. Air liur inilah  yang jadi alat ukur kebiasaan.

Kita lazimnya akan selalu melakukan kebiasaan yang memberi keuntungan kepada kita itu secara terus-menerus. Ketika keinginan itu 'dihalangi' maka akan terjadi perlawanan. Jadi sebuah pelaziman baru pun bisa direkayasa dengan memberi efek keuntungan/kebahagiaan baru. 

Dari sinilah kaum behavioris percaya dengan keampuhan 'duo malaikat', yaitu reward (hadiah) dan punishment (hukuman) sebagai sarana pelaziman itu.

2. Psikoanalisis, aliran ini meyakini bahwa yang memengaruhi kita adalah alam bawah sadar kita yang tidak kita sadari/ketahui. Dan menjadi tugas psikolog-lah untuk membongkar masa lalu dari alam bawah sadar yang mengganggu jiwa itu. Ajaran ini dikenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939) yang menolak pandangan mazhab behavioris terhadap manusia yang tak ubahnya sebagai makhluk homo mechanicus. Manusia mekanis. Manusia tanpa jiwa.

Menurut Freud, kita ini sebenarnya sedang 'mengingau' karena ada dorongan hawa nafsu -sering disebut dengan libido sexual meski tak melulu berkaitan dengan sexual- yang tidak terpuaskan. Yang ketika semakin ditekan maka akan semakin mengalami gangguan kejiwaan. Maka dari itu bebaskanlah!

Namun yang terjadi justru ketika menuruti hawa nafsu agar tersadar dari 'igauan' malah terjerembab menuju 'igauan' berikutnya. Karena hawa nafsu tak kan pernah terpuaskan.

Psychoanalitical school, merupakan sempalan dari aliran Freud yang dikembangkan oleh Carl Gustav Jung (1875-1961). Jung berselisih faham karena menurut dia yang memengaruhi kita bukanlah hawa nafsu (libido sexual), tetapi jiwa kolektif kita (collective consciousness). Kesadaran kolektif.

Jung dianggap berjasa sebagai orang yang memperkenalkan jiwa dalam ranah psikologi. Jiwa manusia yang tersambung dengan alam semesta yang hadir dalam bentuk arketival atau perlambang-perlambang. Apakah itu lewat mimpi, karya seni, dan juga nilai-nilai keagamaan (kepercayaan).

Ada krisis spiritual dalam jiwa-jiwa manusia modern. Tetapi akankah fenomena 'kesadaran beragama' belakangan ini sebagai kesadaran kolektif, ketika malah mengantarkannya pada sikap eksklusif golongan?

3. Psikologi humanistik, aliran ini percaya bahwa kebahagiaan bisa tercapai apabila kita mampu mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan, yaitu cinta kasih dan kepedulian kepada sesama. 

Mazhab ini melihat bahwa kaum psikoanalisis mempunyai kelemahan karena terlalu fokus pada orang-orang yang sakit jiwa.

Abraham Maslow (1908-1970) merumuskan capaian kebahagian itu dalam apa yang dikenal dengan hierarki kebutuhan manusia, yang terbagi dalam lima tingkat kebutuhan. Yakni: kebutuhan fisiologi (pangan, sandang), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki (kasih sayang), kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri.

Ada yang menarik dengan kebutuhan akan rasa aman ini. Disebutkan  bahwa kita butuh rasa aman secara fisik, yaitu: ketergantungan pada stabilitas dari tindak kriminalitas, teror, perang, kerusuhan, hingga bencana (alam). Nah, bukankah pandemi ini juga bencana? Sementara rasa aman secara psikis adalah yang mengancam kondisi kejiwaan. Entah itu perudungan ataupun pembunuhan karakter.          

Menurut Maslow, mereka yang merasa tidak aman biasanya akan bertingkah laku seakan-akan selalu dalam keadaan terancam besar!

Psikologi Maslow ini kerap disebut juga sebagai psikologi pertumbuhan (growth psychology) yang mengajarkan kita untuk menjadi diri sendiri. Be yourself. Sebagai bentuk aktualisasi diri.

Be yourself ini tentu saja berbeda konteks dengan  Up yourself yang kerap diumbar tanpa risih. Demi mengejar popularitas dan elektabilitas semata.

4. Psikologi transpersonal, aliran ini mencari jawaban pada kesadaran spiritual. Membangkitkan kesadaran jiwa lewat kontemplasi, tafakur, meditasi, serta senantiasa membaca buku-buku, literatur, yang bisa memberi inspiring. Pencerahan. Sebagai sarana atau cara untuk memperoleh kebahagiaan serta mengatasi setiap permasalahan. Karena yang membuat kita bahagia maupun menderita adalah terletak pada makna yang kita berikan.

Manusia bisa tahan hidup tanpa memiliki segala kemewahan, tetapi manusia tidak bisa tahan hidup tanpa bisa memberi makna.

Mazhab ini sebenarnya kelanjutan dari aliran humanistik, karena para tokohnya (Abraham Maslow, Victor Frankl, Stanislav Grof) ikut membidani kelahiran The Journal of Transpersonal Psychology yang digagas Anthony Sutich di tahun 1969. Dari sinilah akhirnya berkembang apa yang dikenal sebagai kecerdasan spiritual (spiritual qoutien). 

Ketidakpercayaan

Dari pembahasan di atas, kita bisa menarik benang merah dengan kondisi 'sakit'-nya bangsa ini. Lahirnya Orde Reformasi tentunya memunculkan utopia di sebagian masyarakat akan hadirnya era keadilan, kesejahteraan, bahkan kebebasan (berbicara).

Bak kotak pandora, kebebasan (berbicara) yang selama Orde Baru dibungkam secara sistematis akhirnya membuncah,  juga dengan cara-cara yang tak kurang sistematis. Apakah ini seperti yang digambarkan mazhab psikoanalisis sebagai alam bawah sadar yang selama ini ditekan? Yang justru terjerembab kembali pada alam bawah sadar berikutnya?

Atau kita sebenarnya masih di fase behavioris yang senantiasa akan patuh karena ada reward dan punishment? Bukan karena kesadaran, kepedulian, seperti yang dianjurkan kaum humanistik? Atau mungkin karena kita sebenarnya masih berada di level  fisiologi?

Kalau Jung menganggap ada krisis spiritual pada manusia modern, maka di sini justru ada krisis moral yang akhirnya bermuara pada ketidakpercayaan (distrust). Karena tak sedikit pejabat yang mempertontonkan kebodohan dengan hadir di acara perhelatan yang mengundang kerumunan, sementara di sisi lain masyarakat diminta untuk menghindari kerumunan. Bahkan ada yang tega-teganya melakukan korupsi bansos, masker, di tengah bencana pandemi ini.

Krisis kejiwaan ini seolah antitesa dari kesadaran kolektif sebagai bentuk arketival yang hadir dengan perlambang-perlambang baru. Labeling baru. Entah kadrun, aseng-asing, nusantara, hingga PKI. Tergantung kepada 'siapa' makna itu kita berikan. Bukan pada 'apa' yang kita berikan. Kalau kesadarannya hanya sebatas itu, yah wajarlah sang epidemiolog ini berujar seperti itu.

Bogor, 24 Juni 2021    

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun