Sebagai mantan tukang cuci piring di sebuah resto, penulis mengetahui bagaimana sisa-sisa makanan terbuang percuma ke tempat sampah. Dan itu menjadi suatu hal yang lumrah. Sedikit beruntung ketika ke-mubazir-an itu berkurang saat teman kerja 'menampungnya' untuk pakan bebek dan ikan.Â
Termasuk sang bos sendiri yang rajin  mengais sisa-sisa daging dan tulang untuk anjingnya yang berjumlah belasan. Namun sampah sisa makanan itu tetap saja menggunung.
Teringat akan almarhum nenek yang sangat keras melarang kami anak cucunya memasak atau membuat nasi goreng sebagai menu makan. Pamali, ujarnya. Jadi jangan harap pada masa itu kami bisa menikmati enaknya nasi goreng. Selain peringatan untuk tidak membuang nasi karena akan membuat sang nasi menangis!
Pesan moral dari alasan almarhum nenek adalah mengingatkan kita untuk tidak melakukan hal-hal mubazir, berlebihan. Larangan membuat nasi goreng pada saat itu, dugaan penulis adalah upaya untuk berhemat di jaman yang serba susah. Apalagi kalau sampai tidak menghabiskan nasi yang kita makan. Itu adalah pantangan. Makanlah sesuai porsinya. Secukupnya.
Berbanding terbalik dengan mereka yang perilakunya 'hedonis' terhadap makanan. Yang makan bukan karena lapar atau sudah waktunya makan, tetapi sekedar memenuhi kebutuhan akan gaya hidup.
Gaya Hidup dan Cara Hidup
Generasi sekarang bukanlah generasi yang mudah dilarang lewat kisah mitos dan dongeng. Apalagi keampuhan kata pamali. Siapa yang peduli akan tangisan nasi? Peduli pada tangisan mereka yang masih kekurangan saja sepertinya sudah tak lagi peka.
Kepekaan pada lingkungan pernah menjadi trend di seluruh dunia dengan slogan 'back to nature'. Kampanye untuk penyelamatan lingkungan hidup marak di mana-mana.Â
Terkait ancaman pemanasan global dan sampah plastik. Namun tak ada upaya yang signifikan  mengajak masyarakat untuk melihat ancaman yang datang dari balik meja makan kita sendiri. Pada sisa-sisa makanan yang kita anggap biasa. Apalagi berbahaya.
Mengurangi penggunaan kantong, sedotan, wadah, maupun benda-benda berbahan plastik adalah baik. Namun alangkah lebih baik juga dibarengi dengan cara hidup yang benar dalam menyikapi makanan.
Lihatlah kebiasaan mereka yang selalu menyisakan makanan sebagai sebuah gaya hidup. Karena bagi mereka menghabiskan makanan, apalagi kala nongkrong di kafe atau resto akan dianggap norak. Gak keren.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!